Pidato Kenegaraan Presiden dan Refleksi di Bulan Kemerdekaan
Bermula dari pidato Bung Karno di depan rakyat tiap tanggal 17 Agustus sejak tahun 1945-1966, lahir kebiasaan berupa pidato kenegaraan presiden di depan wakil rakyat tiap menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan.
Lebih dari dua dekade silam, tepatnya 16 Agustus 2000, Presiden Abdurrahman Wahid berpidato di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat. ”Konvensi ketatanegaraan yang kita pelihara selama ini, dengan presiden menyampaikan pidato di hadapan sidang pleno DPR yang terhormat pada setiap tanggal 16 Agustus, adalah sesuatu yang baik,” kata sosok yang akrab disapa Gus Dur tersebut ketika mengawali pidato yang disampaikannya sehari sebelum Hari Ulang Tahun Ke-55 RI.
Seperti dikutip dari laman Kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, dalam pidatonya tersebut Presiden Gus Dur mengatakan bahwa kesempatan ini bisa digunakan bersama untuk merefleksikan perjalanan kita sebagai bangsa. Tak lupa disampaikannya bahwa usia kebangsaan Indonesia jauh lebih tua dibandingkan dengan usia kemerdekaan negeri ini yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus.
Kebangsaan Indonesia telah lahir dan berproses mematangkan kehadirannya di bumi Nusantara ini jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan. Kelahiran itu berproses dari sejak bangkitnya kesadaran eksistensial para pendahulu untuk membentuk komunitas politik yang secara hakiki menolak kehadiran bangsa lain yang menjajah wilayah dan masyarakat Nusantara.
Proses penghayatan yang terus meluas dan menyebar inilah yang, menurut Gus Dur, kemudian membentuk kesadaran kolektif kita sebagai suatu bangsa. Dari sini terbukti bahwa kebangsaan atau nasionalisme bukanlah sesuatu yang terbentuk dan lahir secara alamiah, melainkan adalah produk dari pertumbuhan sosial dan intelektual masyarakat dalam suatu tahapan sejarah tertentu.
Baca Juga: Pidato Jokowi, Gemblengan Pandemi, dan Semangat Bangkit Kembali
Para pendiri republik ini sepakat meletakkan fondasi dari ikatan kebangsaan Indonesia pada kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita. Dengan nasib yang sama, terjalinlah ikatan emosional dan moral yang kuat, yang bisa disebut sebagai persaudaraan sebagai bangsa.
Selanjutnya, Gus Dur menuturkan, dengan cita-cita yang sama, terbentuklah solidaritas untuk menggalang kekuatan mengejar kemajuan, mendirikan negara, membentuk pemerintahan, menegakkan hukum, dan mengembangkan kehidupan di berbagai bidang.
Baca Juga: Makna Seputar Hari Kemerdekaan dan Orientasi Kerakyatan
Proklamasi itu sendiri dimaknai sebagai puncak dari kesepakatan bangsa Indonesia untuk mewadahi kehidupan bersamanya melalui pembentukan sebuah negara kebangsaan yang merdeka, berdaulat, dan demokratis.
”Para pendiri negara ini sejak awal telah bersepakat bahwa negara kebangsaan Indonesia yang demokratis itu bukanlah milik dari sekelompok orang, tidak terkecuali kelompok mayoritas, baik dalam artian suku, agama, maupun kelas dan kasta. Negara republik ini adalah milik bangsa Indonesia seluruhnya,” kata Gus Dur.
Apabila ditarik ke belakang, pada hari ketika negeri ini diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno, yang sehari kemudian dipilih sebagai Presiden pertama RI, juga sempat berpidato. Pidatonya singkat dari sisi durasi, tetapi bernas secara substansi. Kala itu, bertempat di rumah Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, Bung Karno berpidato dan mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Amanat proklamasi
Sejak saat itu, secara tradisi, pidato proklamasi pun diucapkan Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus setiap tahun hingga 1966. Pidato berisi amanat di masa revolusi fisik, yakni antara tahun 1945-1950, diucapkan di tiga tempat. Tempat dimaksud adalah Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56 Jakarta di tahun 1945; di Gedung Agung Ibu Kota Revolusi Yogyakarta tahun 1946, 1947, 1948, dan 1949; dan di Istana Merdeka Ibu Kota Jakarta mulai tahun 1950 dan seterusnya.
Baca Juga: Pena Bung Karno dan Kata-kata Abadi yang Dituliskannya
Buku berjudul Dari Proklamasi sampai Resopim yang diterbitkan Departemen Penerangan menghimpun pidato proklamasi yang diucapkan Presiden Soekarno dari 1945-1961. Wakil Menteri Pertama Menteri Penerangan Muhammad Yamin saat memberi pengantar buku tersebut menuturkan, antara lain, lima sifat pokok yang menyebabkan amanat-amanat kenegaraan tiap tanggal 17 Agustus menarik perhatian dan memiliki arti besar.
Para pendiri negara ini sejak awal telah bersepakat bahwa negara kebangsaan Indonesia yang demokratis itu bukanlah milik dari sekelompok orang, tidak terkecuali kelompok mayoritas, baik dalam artian suku, agama, maupun kelas dan kasta. Negara Republik ini adalah milik bangsa Indonesia seluruhnya.
Pertama, mengandung sifat kerakyatan, yakni membawakan suara rakyat yang berevolusi. Kedua, merupakan analisis dan diagnosis tajam terhadap revolusi dari tahun ke tahun. Ketiga, menggariskan trace (jejak) revolusi Indonesia dengan jelas. Keempat, pembabakan revolusi Indonesia dengan jelas. Dan, kelima, memelihara terus berkobarnya api revolusi dan jiwa proklamasi.
”Dengan menerbitkan karangan-karangan Proklamasi ini, perpustakaan dunia bertambah kaya, seperti pernah diperkaya oleh pujangga-pujangga raksasa seperti Jefferson, Lenin, Mao Tse Tung, dan Churchil, kini oleh Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi Kemerdekaan Indonesia,” kata Muhammad Yamin.
Inti Idayu Press yang bekerja sama dengan Yayasan Pendidikan Soekarno pun menerbitkan buku Amanat Proklamasi yang di jilid ke-IV memuat pidato Presiden Soekarno pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari tahun 1961-1966. Beberapa frasa inti atau judul pidato di kurun tersebut terkenal dan sering dikutip.
Sebut, misalnya, pidato berjudul ”Re-So-Pim, Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional” yang disampaikan Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1961. Selain itu juga pidato berjudul ”Tahun Vivere Pericoloso” pada 17 Agustus 1964, ”Capailah Bintang-bintang di Langit” pada 17 Agustus 1965, dan—tentu saja—pidato berjudul ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” pada 17 Agustus 1966. Pidato terakhir itu kelak mewujud dan menjadi akronim populer, yakni Jasmerah.
Baca Juga: Gaya Akronim dalam Penyampaian Pesan
Berikutnya, di era Presiden Soeharto dan seterusnya, tiap tanggal 17 Agustus, bendera pusaka dan kemudian duplikatnya masih selalu dikibarkan pada upacara Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka, Jakarta. Namun, berbeda dengan di era Bung Karno, tidak ada lagi pidato 17 Agustus yang disampaikan oleh presiden.
Sebagai sulihnya, di tahun 1967, menjelang hari kemerdekaan, Soeharto—posisinya sebagai Pejabat Presiden RI kala itu—menyampaikan pidato kenegaraan di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR).
”Pidato Soeharto yang diucapkan secara berterus terang berlangsung tiga jam lamanya. Satu laporan yang semata-mata menguraikan fakta. Ia menguraikan segala segi kehidupan nasional dari Pancasila sampai pada persoalan indeks ongkos hidup sehari-hari,” tulis OG Roeder dalam buku berjudul Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto (Penerbit Gunung Agung, 1982).
Pidato kenegaraan
Melintasi tahun demi tahun, tradisi kepala negara berpidato menjelang peringatan HUT RI pun terus dilestarikan hingga sekarang, saat Presiden yang tengah menjabat menyampaikan pidato kenegaraan di dalam Sidang Bersama DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo pun telah berdiri di podium gedung parlemen di Senayan untuk menyampaikan pidato kenegaraan tersebut menjelang peringatan proklamasi.
Sejak tahun 2015, presiden tidak hanya menyampaikan pidato kenegaraan, tetapi juga pidato yang berisi laporan kinerja lembaga-lembaga negara dalam Sidang Tahunan MPR. Setiap tahun, Sidang Bersama DPR dan DPD dengan agenda utama pidato kenegaraan dalam rangka HUT RI serta Sidang Tahunan MPR digelar bersamaan di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta.
Di masa kepemimpinan Presiden Jokowi, tradisi penyampaian pidato kenegaraan ditambah dengan penggunaan baju daerah. Pada pidato kenegaraan ketiga, di 2017, Presiden mulai mengenakan baju adat tradisional.
Baca Juga: Diplomasi Mode, dari Sepatu ”Mismatched” Bu Menlu hingga Jas Bertanda Jasa Bung Karno
Pada Sidang Tahunan MPR 2017 tersebut, Presiden Jokowi berpakaian adat Bugis lengkap dengan songkok Ta Bone (songkok orang Bone). Adapun Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenakan pakaian adat Jawa lengkap dengan blangkon.
Kebiasaan ini dilanjutkan pada 2019 dengan mengenakan pakaian adat suku Sasak, Nusa Tenggara Barat. Baju adat berwarna emas dilengkapi dengan penutup kepala khas serta keris. Di tahun ini, Wapres Kalla mengenakan baju adat Bugis.
Tahun 2020, pakaian adat Sabu menjadi pilihan Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato kenegaraan di Sidang Bersama DPR-DPD, sedangkan pakaian adat Baduy yang sangat sederhana digunakan di Sidang Tahunan MPR tahun 2021.
Pada 16 Agustus 2022 ini pun akan digelar Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD pada pagi hari. Kemudian, pada siang hari, akan digelar Rapat Paripurna DPR dengan agenda Pembukaan Masa Persidangan I Tahun 2022-2023 dan penyampaian pidato pengantar nota Rancangan Undang-Undang tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023 oleh Presiden Jokowi.
Bertempat di Istana Negara, Jakarta, Presiden Jokowi pada Jumat (12/8/2022) bertemu dengan para pemimpin lembaga tinggi negara, yakni Ketua MPR Bambang Soesatyo, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, Ketua Mahkamah Agung Syarifuddin, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Isma Yatun.
Baca Juga: Bertemu Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, Presiden Bahas Subsidi BBM
Terkait persiapan sidang tahunan, saat ditemui media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (12/8), Bambang Soesatyo menuturkan, kegiatan tersebut akan dimulai pukul 09.30 WIB dengan pembukaan oleh ketua MPR dan ditutup oleh ketua DPR. ”Di tengah-tengahnya, Presiden menyampaikan laporan kinerja tahunan, termasuk juga kinerja lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Setelah itu, pukul 13.30 WIB, baru (dilakukan) sidang paripurna nota APBN,” katanya.
Sebelumnya, secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah mengundang para menteri mengikuti sidang paripurna untuk menetapkan RAPBN tahun 2023. RAPBN tahun 2023 tersebut nantinya akan diserahkan oleh Presiden kepada DPR pada 16 Agustus 2022.
”Jadi, ini adalah arahan terakhir dari Bapak Presiden sebelum kita memfinalkan,” kata Menkeu Sri Mulyani saat menyampaikan keterangan pers seusai sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (8/8).
Pada sidang kabinet paripurna tersebut dibahas desain RAPBN 2023 dalam situasi perekonomian global mengalami guncangan dan gejolak serta ketidakpastian yang sangat tinggi. Oleh karena itu, APBN 2023 harus didesain agar tetap mampu menjaga fleksibilitas dalam mengelola gejolak yang terjadi.
”Ini kita sering menyebutnya sebagai shock absorber (peredam kejut/entakan/goncangan). Namun, di sisi lain, Bapak Presiden juga meminta agar APBN tetap dijaga supaya tetap kredibel dan sustainable (berkelanjutan) atau sehat sehingga ini adalah kombinasi yang harus dijaga,” kata Sri Mulyani.
Tahun lalu, saat menyampaikan pidato kenegaraan di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR, DPR, DPD, Senayan, Jakarta, pada 16 Agustus 2021, Presiden Jokowi menuturkan bahwa pandemi Covid-19 seperti candradimuka yang menguji, mengajarkan, sekaligus mengasah.
Baca Juga: Presiden Jokowi: Pandemi ibarat Kawah Candradimuka yang Mengasah Bangsa
Pandemi Covid-19 telah memacu kita untuk berubah, mengembangkan cara-cara baru, meninggalkan kebiasaan lama yang tidak relevan, dan menerobos ketidakmungkinan. ”Krisis, resesi, dan pandemi itu seperti api. Kalau bisa, kita hindari. Tetapi, jika hal itu tetap terjadi, banyak hal yang bisa kita pelajari,” kata Presiden Jokowi saat itu.
Seperti apa substansi pidato kenegaraan Presiden Jokowi menjelang peringatan proklamasi tahun ini? Mari kita tunggu pidato Kepala Negara pada Selasa, 16 Agustus 2022, tepat sehari sebelum HUT ke-77 negeri tercinta ini. Dirgahayu Indonesia!