Pemerintah mendorong percepatan pembahasan untuk pengundangan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana guna menggantikan KUHP yang telah berjalan hampir 60 tahun.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Hampir 60 tahun pemerintah dan masyarakat membahas dan merancang perubahan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pembahasan dan perancangan telah dilalui tim yang silih berganti dan mendapat arahan politik hukum dari tujuh presiden. Rancangan yang ada saat ini menjalani dialog publik agar lebih siap untuk diundangkan.
Demikian diutarakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat pidato dalam jaringan (online) dialog publik Rancangan Undang-undang KUHP di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (7/9/2022). Acara itu memulai rangkaian dialog publik RUU KUHP di 11 kota besar di Indonesia untuk sosialisasi sehingga dapat segera diundangkan dan diberlakukan.
Mahfud melanjutkan, sudah diketahui secara umum bahwa KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan masa kolonial Hindia Belanda. KUHP perlu diganti bahkan telah dibahas dan dirancang hampir 60 tahun. Dalam perspektif filsafat, sosiologi, politik, dan hukum, pembaruan KUHP diperlukan karena hukum ialah ”pelayan” masyarakat sehingga harus memuat peraturan yang secara tertulis sesuai dengan kehidupan masyarakat.
”Jika masyarakat berubah, maka hukum juga harus berubah agar sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat,” kata Mahfud. Indonesia telah berusia 77 tahun atau sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sepanjang hampir 60 tahun sudah ada kesadaran untuk pembahasan dan perancangan KUHP. Dalam perjalanan waktu itu, masyarakat telah banyak berubah sehingga perubahan KUHP menjadi keniscayaan.
Namun, menurut Mahfud, hukum harus merupakan cerminan kesadaran dan keinginan masyarakat. Inilah yang mendorong Presiden Joko Widodo kembali meminta lembaga negara dan masyarakat mendiskusikan lagi RUU KUHP. Dengan demikian, tercapai kesepahaman dan formulasi yang lebih pas dan diharapkan RUU tersebut bisa segera diundangkan untuk diberlakukan.
Jika masyarakat berubah, maka hukum juga harus berubah agar sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat.
Pujiyono, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro sekaligus anggota tim pembahasan RUU KUHP, dalam dialog publik menyampaikan, ada 14 isu krusial dalam rencana regulasi itu. Masing-masing penyerangan harkat dan martabat presiden/wakil presiden, santet, dokter/dokter gigi, unggas/ternak, contempt of court, advokat curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, dan perkosaan.
Dari 14 isu krusial itu, yang paling disorot dan dipertentangkan terutama di kalangan masyarakat ialah penghinaan terhadap presiden/wapres, penodaan agama, dan delik kesusilaan. Menurut Pujiyono, sebagian kelompok masyarakat mendorong agar pasal-pasal yang mengatur tiga isu krusial itu lebih dicermati lagi, bahkan ada desakan pembatalan. ”Padahal, isu-isu itu relevan dan keberadaannya mempertimbangkan pendekatan keseimbangan serta realitas hukum masyarakat,” katanya.
Pujiyono melanjutkan, penghinaan presiden/wapres ada pada Pasal 218. RUU mengatur perubahan dari delik yang bersifat biasa menjadi delik aduan untuk melindungi kepentingan presiden/wapres yang juga simbol negara. Hal ini tak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat atas kebijakan pemerintahan. Delik diajukan secara tertulis oleh presiden/wapres meski ada pengecualian jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Topo Santoso, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia yang juga anggota tim, menambahkan, ketentuan tentang penghinaan presiden/wapres bukan untuk mendorong keberadaan pemerintahan yang otoriter, melainkan perlindungan dan kepastian hukum kepada simbol negara. Bahkan, penghinaan terhadap orang yang sudah tiada juga diatur dan bisa diajukan oleh kerabat yang masih hidup karena menyangkut harkat dan martabat manusia.
”Norma dan hukum di masyarakat tidak ada yang mengakomodasi seseorang boleh menghina dan menyerang harkat martabat seseorang,” kata Topo.
Isu krusial lainnya tercantum dalam Bab 7 tentang tindak pidana terhadap agama, kepercayaan, dan kehidupan beragama. Pemerintah mengusulkan yang dimaksud penodaan agama misalnya menghina keagungan Tuhan, sifat-sifat-Nya, kitab suci, atau merendahkan nabi/rasul yang dapat menimbulkan keresahan di lingkungan umat beragama. Dalam ketentuan ini, uraian tertulis dan lisan yang disampaikan secara obyektif dan ilmiah mengenai suatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata atau frasa bersifat permusuhan atau penodaan bukanlah tindak pidana.
Topo mengatakan, perubahan penting dalam RUU KUHP ialah menganut sistem double track atau ada mekanisme pemidanaan yang mengutamakan keseimbangan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana bertujuan membuat jera, sedangkan tindakan pidana sebagai upaya rehabilitasi terhadap pelaku pidana. Adapun dua jalur pengenaan pidana belum diatur dalam KUHP yang masih berlaku dan notabene warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
RUU juga memberi tempat penting pada konsep restorative justice yang dianggap telah menjadi kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat. Hukum adat dan norma sebagai living law telah diakui dan juga telah menjadi kesadaran hukum masyarakat meski dalam implementasinya tetap harus mendasarkan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.