Pengemudi Ojek Daring Minta MK Batalkan Uang Pensiun Pejabat
Ahmad Agus Rianto, warga Surabaya, yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek sepeda motor daring, menilai, para mantan pejabat tidak berhak mendapatkan uang pensiun karena mereka hanya bekerja dalam waktu tertentu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta untuk membatalkan aturan mengenai dana pensiun untuk mantan pejabat negara, seperti presiden/wakil presiden, anggota MPR/DPR, pimpinan lembaga negara, gubernur/bupati/wali kota, dan lainnya. Dana untuk para mantan pejabat itu, menurut pemohon, akan lebih tepat jika dialokasikan untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan sehingga lebih bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Permohonan itu diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Ahmad Agus Rianto, warga Surabaya, Jawa Timur, yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek sepeda motor daring. Ia meminta MK membatalkan sejumlah pasal di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Permohonan diregister ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) pada Kamis (15/9/2022) dengan nomor 94/PUU-XX/2022. Hingga Jumat (16/9/2022), MK belum menetapkan jadwal sidang perdana untuk perkara tersebut.
Adapun yang dimaksud sebagai pejabat negara sesuai Pasal 11 UU No 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Pejabat Negara adalah: presiden/wakil presiden, anggota badan permusyawaratan/perwakilan rakyat, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, ketua/wakil ketua/ketua muda/hakim Mahkamah Agung, anggota Dewan Pertimbangan Agung, menteri, kepala perwakilan RI di luar negeri sebagai duta besar, gubernur/bupati/wali kota, dan pejabat lain yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Ahmad Agus Rianto merasa pasal yang mengatur dana pensiun untuk mantan pejabat negara merugikan dirinya. Sebab, retribusi dan pajak yang dibayarkannya seharusnya dipergunakan untuk peningkatan pelayanan dasar masyarakat dan pembangunan sarana prasarana umum yang bermanfaat pada masyarakat luas. Bukan dialokasikan untuk pensiun anggota lembaga negara.
Ia juga menilai, para mantan pejabat tersebut tidak berhak mendapatkan uang pensiun karena mereka hanya bekerja dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, DPR, menteri, kepala daerah hanya memangku jabatannya selama lima tahun.
”Tentu menjadi aneh jika bekerja dalam waktu lima tahun sudah mendapatkan hak pensiun. Bahwa menjadi enak, jika kerja cuma lima tahun, tetapi setelah tidak menjabat bisa mendapatkan hak pensiun seumur hidup dan dilanjutkan oleh ahli warisnya,” kata pemohon, seperti dikutip dari berkas permohonan.
Ia kemudian membandingkan dengan seorang pegawai negeri yang untuk mendapatkan hak pensiun harus minimal bekerja 10 tahun, bahkan tak sedikit yang bekerja hingga 30 tahun. Oleh karena itu, kebijakan pensiun untuk para pejabat negara merupakan pemborosan anggaran negara. Apalagi, para pejabat negara sudah mendapatkan gaji tinggi beserta tunjangan lain.
Ia menyinggung tentang kenaikan harga BBM jenis pertalite dari sebelumnya Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 dan harga solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800. Ia menilai hal itu terjadi karena kondisi keuangan negara sedang tidak baik-baik saja.
Pemohon tidak sependapat dengan putusan MK sebelumnya, yaitu putusan Nomor 41/PUU-XI/2013, yang menyatakan pensiun untuk pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara serta mantan pimpinan lembaga tertinggi/tinggi negara merupakan penghargaan atas jasa terhadap negara atau pemerintah yang bukan dimaksudkan untuk pemborosan anggaran negara.
Menurut dia, apabila Indonesia dalam keadaan baik-baik saja (misalnya tidak memiliki utang hingga Rp 7.000 triliun dan subsidi BBM tidak dicabut) dan kondisinya seperti Arab Saudi yang bisa menggratiskan pendidikan dan kesehatan warga, hal tersebut dapat dimaklumi. Namun, faktanya tidak demikian.
Menurut dia, apabila negara sudah kaya raya, di mana APBN sudah mampu menggratiskan biaya pendidikan hingga universitas dan biaya rumah sakit tanpa ikut BPJS, maka hak pensiun pejabat negara sebagai wujud terima kasih atas pengabdian kepada negara bisa diberikan.