Menawarkan Formulasi Penuntasan Pelanggaran HAM Berat
Penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih di simpang jalan. Berbagai formulasi ditawarkan oleh para calon komisioner Komnas HAM untuk mengatasinya. Apa sajakah itu?
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
Penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih menghadapi bermacam hambatan. Permasalahan ini yang akan dihadapi para komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2022-2027. Berbagai formulasi untuk mengatasi permasalahan itu pun ditawarkan para calon komisioner Komnas HAM yang menjalani seleksi di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada Jumat (30/9/2022), Komisi III DPR mulai menggelar uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) untuk 14 calon anggota Komnas HAM periode 2022-2027, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Ke-14 calon itu berasal dari beragam latar belakang pekerjaan, mulai dari advokat, dosen, lembaga swadaya masyarakat, hingga pejabat lembaga pemerintahan. Selain itu, ada pula dua calon inkumben, yakni Amiruddin Al Rahab dan Beka Ulung Hapsara.
Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh mengatakan, uji kelayakan dan kepatutan dibagi menjadi dua hari, yakni Jumat dan Senin (3/10) pagi. Kemudian, pada Senin siangnya, diharapkan bisa langsung dilanjutkan dengan rapat pleno pengambilan keputusan calon anggota Komnas HAM periode 2022-2027.
”Semua proses tes ini, sampai pengambilan keputusan, harus selesai Senin besok karena akan dibawa ke rapat paripurna pada Selasa (4/10),” ujar Pangeran.
Pada Jumat, setidaknya 12 calon anggota Komnas HAM mengikuti uji kelayakan dan kepatutan. Adapun dua calon anggota Komnas HAM yang lain akan diagendakan pada Senin besok.
Ke depan, Komnas HAM perlu didorong untuk bisa lebih kuat dalam upaya proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tergantung kehendak politik
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah, dalam uji kelayakan dan kepatutan, menyampaikan, ke depan, Komnas HAM perlu didorong untuk bisa lebih kuat dalam upaya proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurut dia, hambatan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tesrebut bukan terletak pada persoalan teknis hukum semata, melainkan juga kehendak politik.
”Kasus-kasus itu harus bisa diselesaikan secara serius sehingga political will itu yang perlu didorong ke depan,” ujar Anis.
Menurut Anis, adanya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu menunjukkan kegelisahan Presiden Joko Widodo akibat proses pengadilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, yang berjalan cukup lama. Dengan begitu, Keppres No 17/2022 tersebut diharapkan menjadi alternatif atau solusi terhadap kasus-kasus yang sudah tidak mungkin dijangkau melalui proses pengadilan.
”Saya kira keppres ini bisa menjadi salah satu alternatif bagaimana setidaknya rehabilitasi kepada korban, kebutuhan-kebutuhan korban bisa disediakan oleh negara. Saya kira tegas, political will ada dan terukur, tinggal bagaimana membangun sinergi dengan tim yang sudah dibentuk Presiden dalam konteks rehabilitasi kepada korban,” tutur Anis.
Sebagai calon inkumben, Amiruddin menambahkan, kendala penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu bukan hanya terletak di Komnas HAM, melainkan juga keterbatasan ruang yang diberikan oleh undang-undang. Wewenang Komnas HAM sangat terbatas, yakni hanya berfungsi sebagai penyelidik.
”Jadi, ketika Jaksa Agung tidak bersedia menindaklanjuti, di situlah problem mulai muncul, sementara jalan lain yang diberi UU Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi tak kunjung ada,” kata Amiruddin.
Karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, Amiruddin mengaku terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mendorong penyidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dengan begitu, ada kepastian hukum langkah pengadilan.
”Jika itu tidak ditempuh, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi mesti dibuat. Terus di situ persoalannya,” ucap Amiruddin.
Saya berharap UU Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi itu akan ada.
Harus diselesaikan
Amiruddin pun menggarisbawahi bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu harus diselesaikan. Untuk itu, ia berkomitmen akan berusaha menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu apabila terpilih kembali menjadi anggota Komnas HAM, apakah ditempuh jalan pengadilan ataupun di luar pengadilan. ”Tetapi, saya berharap UU Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi itu akan ada,” ujarnya.
Terhadap paparan sejumlah calon anggota Komnas HAM tersebut, sebagian besar anggota Komisi III DPR yang hadir justru mempertanyakan bagaimana konsep detail penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, misalnya, khawatir, komitmen para calon justru menemui jalan buntu saat mereka menjabat sebagai komisioner Komnas HAM.
”Sebab, kalau bicara penyelesaian yudisial, jangan-jangan malah berujung air mata karena peristiwa sudah terlalu lama, alat buktinya juga tidak gampang dikumpulkan. Lha, nanti kalau dipaksakan yudisial, kemudian bebas, ribut lagi,” tutur Arsul.
Selain itu, Arsul juga mengingatkan kepada para calon komisioner Komnas HAM agar ke depan dapat lebih bersinergi dengan Komisi III DPR. Ia berpandangan, selama periode kemarin, hasil pemantauan dan penyelidikan tidak pernah dikomunikasikan kepada Komisi III DPR. Alhasil, banyak hasil pemantauan dan penyelidikan justru tidak ditindaklanjuti oleh institusi lain.
Padahal, lanjut Arsul, Komisi III bisa ikut juga menindaklanjuti dan mengawasi penanganan perkara yang menyangkut dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh institusi lain, misal aparat penegak hukum, terutama Polri.
”Jadi, itu yang kami harapkan, ada sinergisitas. Sudah tidak saatnya lagi kemudian Komnas HAM itu cukup dengan naik kuda atau merasa punya panggung sendiri. Kami, kan, arahnya harus maksimalisasi penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM,” ucap Arsul.