Kesejahteraan prajurit ini sangat memengaruhi masa depan anak-anaknya. Tak sedikit dari mereka harus menanggung risiko keterbatasan yang dialami orangtuanya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keterbatasan membuat sebagian prajurit memutar otak untuk menyejahterakan keluarganya, terutama memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Istri mereka turun tangan memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini perlu diperhatikan karena pemenuhan kesejahteraan prajurit pada akhirnya akan memengaruhi masa depan baik dan buruk anak-anaknya.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dijalankan 9-12 Agustus lalu mengungkap bahwa publik menaruh perhatian khusus terhadap nasib pendidikan anak-anak prajurit. Sebanyak 23,7 persen responden, menempati urutan teratas untuk pertanyaan permasalahan krusial pada pemenuhan kesejahteraan prajurit, menyatakan bahwa perlu ada kemudahan bagi anak tentara untuk masuk ke jenjang pendidikan tinggi.
Di kalangan prajurit, perhatian publik itu tergambarkan nyata. Seperti ditemukan pada kehidupan Sersan Satu Suparman yang bertugas di wilayah teritorial TNI AD di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Meski telah memiliki rumah di Desa Bantir, Kabupaten Semarang, keterbatasan masih membelitnya. Rumahnya yang ditempati pun tampak memprihatinkan, sebagian dindingnya dari batu bata dan sebagian lagi dari tripleks, dengan lantainya masih tanah.
Namun, masalah tempat tinggal rupanya tidak menjadi prioritas Suparman saat ini. Dengan gajinya sebesar Rp 4,5 juta per bulan, ia lebih mengutamakan membiayai kuliah anaknya di Malang, Jawa Timur. Apalagi, mengingat setahun lagi ia akan pensiun, mulai timbul kekhawatiran dibenaknya bahwa anaknya tak akan bisa melanjutkan kuliah.
“Memang kalau dipikir bingung bagaimana mau menyekolahkan anak saya karena sebentar lagi (saya) mau pensiun. Ini tugas saya untuk memikirkan kesejahteraan keluarga,” katanya yang ditemui pertengahan September lalu.
Dorongan menuntaskan pendidikan anak di akademi perawat sekitar lima tahun lalu juga membuat Pembantu Letnan Satu Ahmad Sapari yang bertugas di Barak Tentara Bantir, Kabupaten Semarang, ini memutar otak. Gajinya saat itu yang hanya Rp 4,5 juta tak cukup untuk membiayai kuliah anaknya yang sulung dan adiknya yang sekolah menengah pertama.
Untuk mengatasi hal itu, Istri dan anaknya, Maudy, membantu Sapari mengembangkan ternak bebek petelur. Karena sebagai prajurit, Sapari dilarang berbisnis, sehingga peternakan itu dikendalikan oleh istri dan anaknya. Hingga kini, menurut Maudy, ternak yang dijalankan terus berkembang baik dan bisa mendatangkan omzet Rp 30 juta per bulan dari penjualan telur bebek.
Sapari mengungkapkan, adanya ternak tersebut membuat ia merasa tenang karena belum lama lagi ia akan pensiun. Menghadapi pensiun bagi prajurit, ia akui diberikan persiapan ketrampilan oleh TNI seperti kursus pertanian dan peternakan. Namun, beberapa temannya yang sudah pensiun lebih memilih bekerja sebagai petugas keamanan. “Saya bersyukur, istri dan anak sudah merintis ternak jauh hari sebelum saya pensiun,” ujarnya.
Ketua Umum Ormas Persatuan Putra Putri TNI AD, Isfan Fajar Satryo mengatakan, kesejahteraan prajurit ini sangat terkait dengan masa depan anak-anaknya. Isfan, salah satu anak Jenderal (Purn) Try Soetrisno ini mengungkapkan, tak sedikit anak-anak prajurit harus menanggung risiko akibat keterbatasan yang dialami orangtuanya.
“Anak-anak prajurit yang kurang sejahtera itu (ada saja yang) tumbuh menjadi pemberontak dengan jiwa bebasnya. Ini salah satunya disebabkan oleh pola asuh keras dan disiplin yang diterapkan orangtuanya di dalam rumah. Dengan keterbatasan ekonomi, mereka tak bisa mengekspresikan diri sehingga terjerumus pada hal-hal negatif,” tuturnya.
Isfan mengungkapkan, pihaknya pun tengah terus berupaya menggandeng anak-anak prajurit yang belum memiliki pekerjaan dibina untuk memiliki ketrampilan, seperti menjadi tenaga keamanan atau sopir. Anak-anak prajurit yang "nakal" jadi preman dan sebagainya kami bawa, kami didik supaya bisa jadi sekuriti, sopir, atau bekerja sesuai dengan keterampilan yang dia punya," katanya.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurrachman tak menampik jika ada saja prajurit yang melakukan pekerjaan sampingan, seperti ngojek dan beternak bebek. Untuk itu, pihaknya memberikan kemudahan bagi anak prajurit untuk masuk TNI AD. Adapun cara lain yang dapat dilakukan untuk meringankan beban prajurit, kata Dudung, adalah mengembalikan prajurit ke tempat asal atau tempat keluarganya berada.
Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas menyampaikan, saat ini sudah ada model-model mengembangkan kemampuan prajurit yang bisa dicontoh. Seperti di Inggris, setiap angkatan diberikan pelatihan untuk memiliki kompetensi tertentu dan bersertifikat. Ketika pensiun, mereka sudah memiliki keahlian. “Jadi, pensiunan prajurit tidak melulu menjadi kepala urusan keamanan,” kata Anton.