Perempuan Penodong Senjata di Depan Istana Masih Bungkam
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, kasus seorang perempuan yang membawa pistol di depan Istana Merdeka pada Selasa lalu kini ditangani Densus 88.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan penodong senjata yang diringkus di depan Istana Merdeka hingga saat ini disebut masih bungkam dan belum kooperatif. Meski tidak sampai menjadi aksi teror, peristiwa tersebut diharapkan mendorong pihak terkait untuk terus melakukan upaya deradikalisasi.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan, Jumat (28/10/2022), mengatakan, kasus seorang perempuan yang membawa pistol di depan Istana Merdeka pada Selasa (25/10) lalu kini sepenuhnya ditangani oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Menurut Ahmad, hingga saat ini perempuan bernama Siti Elina (SE) tersebut masih bungkam.
”Proses pemeriksaan masih terus berjalan. Namun, hingga saat ini yang bersangkutan, saudari SE, masih diam dan belum kooperatif,” kata Ahmad.
Sebagaimana diberitakan, pada Selasa pagi, seorang perempuan dengan pakaian gamis bercadar berjalan kaki mendekati pagar Istana Merdeka. Pelaku kemudian sempat mengeluarkan senjata api jenis FN dan menodongkannya ke arah petugas yang berjaga. Pelaku kemudian segera diamankan petugas.
Proses pemeriksaan masih terus berjalan. Namun, hingga saat ini yang bersangkutan, saudari SE, masih diam dan belum kooperatif.
Dari hasil pemeriksaan sementara, SE mengaku sudah tiga kali datang ke wilayah Istana Merdeka. Kepada Presiden Joko Widodo, ia ingin menyampaikan bahwa Indonesia salah karena dasarnya bukan Islam. Adapun senjata pistol jenis FN tersebut merupakan milik pamannya yang diambil tanpa sepengetahuan pamannya.
Selain itu, SE diduga terhubung dengan akun media sosial yang terindikasi organisasi radikal eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Negara Islam Indonesia (NII). Dari pemeriksaan akun, ditemukan dua orang lainnya yang juga terhubung dengan kelompok NII Jakarta, yaitu seorang dengan atas nama BU dan seorang lagi atas nama JM yang disebut sudah berbaiat kepada amir atau kepada Negara Islam Indonesia.
Ada kecenderungan SE ingin melukai dirinya sendiri dan juga berteriak-teriak. Dari situ, penyidik menyimpulkan untuk meminta bantuan ahli kejiwaan ketika akan memeriksa SE.
Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Komisaris Besar Aswin Siregar mengatakan, sejauh ini SE bersikap diam. Meski demikian, ada kecenderungan SE ingin melukai dirinya sendiri dan juga berteriak-teriak. Dari situ, penyidik menyimpulkan untuk meminta bantuan ahli kejiwaan ketika akan memeriksa SE.
Menurut Aswin, permintaan penyidik itu sudah dilayangkan ke instansi terkait. Namun, hingga saat ini pihaknya belum memastikan kapan hal itu akan dilakukan. ”Secepatnya, tapi kita belum monitor lagi (dilaksanakan) hari ini atau Senin pemeriksaannya. Tapi, permintaan dari penyidik sudah dikirimkan,” kata Aswin.
Terkait dengan status SE beserta BU dan JM, kata Aswin, hingga saat ini mereka masih dalam status penangkapan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Penyidik Densus 88 Antiteror Polri memiliki waktu 14 hari untuk menentukan status mereka.
Sejauh ini, menurut Aswin, SE diketahui mendapatkan doktrin berupa kajian umum tentang NII, bukan terkait dengan penyerangan. Sementara kedatangannya ke Istana Merdeka disebut berdasarkan keinginan sendiri atau motivasi internal yang berasal dari mimpi.
Gangguan kejiwaan
Menurut pengamat terorisme Al Chaidar, daerah tempat tinggal SE di Jakarta Utara memang menjadi basis pendukung NII. Sementara orang berinisial BU yang disebut memiliki keterkaitan dengan SE adalah suaminya. Mereka menikah sudah lima tahun yang lalu dan telah dikaruniai 2 anak. Namun, sudah 2 tahun terakhir mereka berdua berpisah dan sama sekali tidak berhubungan lagi. Akibat perpisahan itu, kata Al Chaidar, kemungkinan terjadi guncangan psikologis terhadap SE.
Sementara orang yang disebut JM tersebut merupakan seorang ustad. Namun, belum jelas afiliasi JM tersebut terkait dengan NII atau eks HTI, atau bahkan ada kemungkinan terkait dengan organisasi teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Namun, diketahui bahwa JM yang memberikan uang sebesar Rp 200.000 yang kemudian digunakan SE sebagai ongkos transportasi daring ke Istana Merdeka tersebut.
Menurut Al Chaidar, kasus yang menyangkut SE tersebut belum tergolong sebagai terorisme. Sebab, pistol jenis FN yang dibawanya tidak berisi peluru. Meski terdapat indikator ideologis berupa keinginannya untuk menyampaikan kepada Presiden bahwa Indonesia salah karena tidak berdasar Islam, hal itu justru memperlihatkan bahwa SE mengalami gangguan kejiwaan.
Justru ketika dia memberikan jawaban yang terlalu naif, hal itu memperkuat dugaan saya bahwa dia mengalami gangguan psikosis. Tidak ada gunanya juga dia diperiksa. Dia belum kooperatif karena memang mengalami gangguan kejiwaan.
”Justru ketika dia memberikanjawaban yang terlalu naif, hal itu memperkuatdugaan saya bahwa dia mengalami gangguan psikosis. Tidak ada gunanya juga dia diperiksa. Dia belum kooperatif karena memang mengalami gangguankejiwaan,” kata Al Chaidar.
Oleh karena itu, alih-alih diperiksa sebagai terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror Polri, Al Chaidar menyarankan agar SE pertama-tama ditangani oleh psikiater. Untuk pelanggaran pidananya dapat dikaitkan dengan pelanggaran membawa senjata api. Dengan demikian, SE dijerat dengan Undang-Undang Darurat Tahun 1951 tentang Penguasaan Senjata Api Ilegal, bukan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Secara terpisah, Country Director International Association for Counterterrorism and Security Professional (IACSP) Indonesia Rakyan Adibrata berpandangan, sosok SE terlihat memiliki kepribadian yang labil. Dalam konteks itu, dia menjadi sosok yang pas untuk dicekoki paham radikal yang bisa berujung pada aksi teror.
”Karena secara emosi tidak terkontrol, secara psikologis ia dapat dicekoki paham radikal. Terutama karena sudah punya fondasinya, yakni menginginkan perumahan fundamental sistem kenegaraan, dari demokrasi ke sistem khalifah,” kata Rakyan.
Meski demikian, menurut Rakyan, sosok SE tersebut belum bisa disebut sebagai pelaku aksi teror yang menjalankan aksinya sendirian atau lone wolf terrorism. Sebab, SE bukan pelaku tunggal yang menyiapkan semua, termasuk menyiapkan alat untuk aksi teror secara sendirian tanpa melibatkan siapa pun. Pelaku SE tersebut tidak dapat disamakan dengan aksi teror yang dilakukan seorang perempuan di Mabes Polri dan menodongkan pistol hingga kemudian tewas di tangan petugas.
Namun, lanjut Rakyan, bukan berarti peristiwa tersebut dapat dianggap remeh. Dalam kasus SE, hal itu justru memperlihatkan agar upaya deradikalisasi terus dilakukan sehingga kemungkinan terjadinya peristiwa semacam itu dapat diminimalisasi. ”Untuk memastikan bahwa radikalisme yang mengarah pada terorisme, seperti kasus SE kemarin, itu dapat ditekan probabilitasnya,” ujar Rakyan.