Selangkah Lagi Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Diratifikasi
Persetujuan ratifikasi perjanjian ekstradisi RI-Singapura di tingkat I diwarnai catatan dari Fraksi PKS. Fraksi lain menilai banyak manfaat dari ratifikasi itu. Salah satunya, mempersempit ruang gerak buron.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Singapura tentang Ekstradisi Buronan tinggal selangkah lagi diratifikasi.
Ratifikasi RUU itu dinilai mendesak untuk memperkuat instrumen penegakan hukum, memberi efek jera, dan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana. Meski demikian, efektivitas perjanjian dipertanyakan.
Pada Senin (5/12/2022), Komisi III DPR menyetujui pengesahan tingkat I RUU tersebut dalam rapat kerja dengan pemerintah di Kompleks Parlemen, Jakarta. Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly. Dengan persetujuan tersebut, RUU itu tinggal dibawa ke pembahasan tingkat II atau dimintakan persetujuan untuk disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Pemberian persetujuan pengesahan berjalan mulus. Semua fraksi, berjumlah sembilan fraksi, menyetujui pengesahan. Hanya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberikan catatan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Achmad Dimyati Natakusumah, mengatakan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura menunjukkan upaya diplomasi hukum belum maksimal. Efektivitas perjanjian pun dipertanyakan. Pasalnya, perjanjian itu hanya dapat menjangkau tindak pidana yang terjadi 18 tahun sejak perjanjian disepakati.
”Pemberian limitasi tersebut membatasi efektivitas pemberlakuan perjanjian ini. Buronan yang telah divonis dengan kekuatan hukum tetap, misalnya, tidak bisa diekstradisi karena tindak pidana terjadi sebelum tahun 2004,” ujar Dimyati.
Sebelum rencana pengesahan RUU itu, persisnya pada 25 Januari 2022, Yasonna H Laoly dan Menteri Hukum Singapura K Shanmugam telah menandatangani perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura di Bintan, Kepulauan Riau. Perjanjian ekstradisi itu memiliki masa retroaktif atau berlaku surut selama 18 tahun ke belakang karena menyesuaikan dengan ketentuan maksimal kedaluwarsa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Adapun bentuk kejahatan yang disepakati untuk dapat dijadikan dasar ekstradisi mencakup 31 tindak pidana, termasuk pencucian uang, pendanaan terorisme, dan korupsi. Cakupan jenis tindak pidana ini masih memungkinkan diubah karena kedua negara sepakat untuk menggunakan prinsip open ended. Hal ini untuk mengantisipasi kejahatan lain di masa mendatang.
Berbeda dengan PKS, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Supriansa, menyampaikan, perjanjian ekstradisi merupakan keberhasilan pemerintah dalam berdiplomasi. Keberhasilan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan upaya ratifikasi. Tujuannya, agar RUU dapat segera dirasakan manfaatnya oleh publik. Selain itu, agar secara legalitas berlaku dalam yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Santoso, juga menilai perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura merupakan langkah progresif guna mempercepat eksekusi dan penanganan hukum pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke Singapura. Dengan perjanjian itu, Indonesia tak perlu lagi meminta bantuan ke Australia untuk penerbitan red notice. Red notice adalah permintaan kepada penegak hukum di semua negara di dunia untuk membantu mencari dan menangkap seseorang untuk sementara waktu hingga dilakukan ekstradisi ke negara yang mengirimkan permintaan.
Perjanjian itu juga diharapkan dapat memperkuat instrumen penegakan hukum Indonesia dan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana, terutama tindak pidana korupsi. Perjanjian juga diharapkan memberi efek jera bagi pelaku tindak pidana.
”Serta mengantisipasi muslihat pelaku tindak pidana, seperti perubahan kewarganegaraan. Perjanjian ini juga diharapkan dapat mendukung percepatan pemulihan aset dan kerugian negara oleh para koruptor yang melarikan diri ke Singapura,” ujar Santoso.
Yasonna menyampaikan, perjanjian kerja sama terkait ekstradisi buronan tak lepas dari posisi Singapura sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Intensitas warga Indonesia ke negara tersebut juga tinggi lantaran ada kebijakan bebas visa. Akibatnya, Singapura kerap menjadi tujuan akhir ataupun tujuan transit pelaku kejahatan untuk melarikan diri.
Harapannya, perjanjian kerja sama ekstradisi memudahkan aparat penegak hukum Indonesia dalam menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya berada di Singapura. ”Perjanjian kerja sama ini akan mendukung penegakan hukum dan memberi kepastian hukum serta keadilan bagi kedua negara,” ucap Yasonna.
Pembetulan:
Terdapat kesalahan di paragraf ketiga berita ini sebelumnya. Dari semula disebut Komisi I DPR menyetujui pengesahan, seharusnya yang menyetujui adalah Komisi III DPR. Dengan demikian, kesalahan kami perbaiki dan mohon maaf atas kesalahan tersebut.