Cegah Kemunduran Demokrasi, Gerakan Masyarakat Sipil Perlu Diperkuat
Gerakan masyarakat sipil perlu bergandengan tangan untuk mengawal demokrasi di Indonesia. Penguatan internal kelompok masyarakat sipil juga penting dilakukan.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepengurusan baru Lembaga Bantuan Hukum Jakarta bertekad memperkuat gerakan masyarakat sipil. Penguatan dilakukan dengan konsolidasi antar-gerakan dan penerapan nilai-nilai demokrasi, seperti merangkul minoritas serta menghormati individu. Dengan gerakan bersama masyarakat sipil itu, diharapkan perburukan demokrasi di Indonesia dapat dicegah.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Citra Referandum, Jumat (9/12/2022), mengungkapkan, kematian demokrasi semakin dekat, terutama setelah pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Selasa lalu. Muatan RKUHP, seperti penghinaan terhadap presiden dan kewajiban pemberitahuan penyelenggaraan unjuk rasa, dinilai mengancam demokrasi. Kendati demikian, kata Citra, ada harapan tecermin lewat kehadiran gerakan masyarakat sipil.
”Secara substansial, negara sudah bobrok. Namun, masyarakat mampu menciptakan tatanannya sendiri. Itu yang harus dikuatkan. Gerakan masyarakat sipil harus saling bergandengan tangan, harus bersolidaritas, untuk menguatkan demokrasi,” kata Citra dalam acara pisah sambut Direktur LBH Jakarta.
Citra memegang tampuk kepemimpinan LBH Jakarta untuk periode 2022-2026. Ia menggantikan direktur periode sebelumnya, Arif Maulana.
Secara substansial, negara sudah bobrok. Namun, masyarakat mampu menciptakan tatanannya sendiri. Itu yang harus dikuatkan. Gerakan masyarakat sipil harus saling bergandengan tangan, harus bersolidaritas, untuk menguatkan demokrasi.
Menurut Citra, kemunduran demokrasi di Indonesia sudah tampak dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, misalnya, catatan akhir tahun LBH Jakarta menunjukkan ada banyak pelemahan demokrasi.
Sepanjang tahun itu, LBH Jakarta menerima pengaduan kasus-kasus yang bersinggungan dengan pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sebanyak 18 kasus. Sebanyak 6 pengaduan berhubungan dengan represi unjuk rasa, 9 pengaduan terkait ekspresi di dunia maya (media sosial), dan 2 sisanya terkait ekspresi yang dilakukan oleh serikat pekerja.
Kondisi demokrasi di Indonesia juga dapat dilihat dari Indeks Demokrasi 2021 yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU), awal Februari 2022. Laporan itu menunjukkan, skor rata-rata Indonesia pada indeks tersebut mencapai 6,71. Dari skala 0-10, makin tinggi skor, makin baik kondisi demokrasi suatu negara.
Skor itu membuat Indonesia naik peringkat dari posisi ke-64 menjadi peringkat ke-52 dari 167 negara. Namun, Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).
Terlepas dari itu, Citra menambahkan, LBH Jakarta akan berupaya menjadi fasilitator bagi gerakan masyarakat sipil agar sama-sama mengawal demokrasi. Selain itu, LBH Jakarta juga akan mengupayakan penguatan nilai-nilai demokrasi dalam gerakan masyarakat sipil. Misalnya, dengan merangkul keberagaman, terutama terkait jender dan orientasi seksual, serta menerapkan nol torelansi terhadap pelaku kekerasan seksual dalam gerakan.
”Apabila kita menginginkan negara yang demokratis, maka kita juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi,” ucap Citra.
Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati, juga mengingatkan perlunya penguatan gerakan masyarakat sipil. Pasalnya, saat ini muncul pertentangan antar-gerakan yang justru merugikan.
Ia mencontohkan, gerakan masyarakat sipil di dunia digital dipertentangkan dengan gerakan masyarakat sipil yang turun langsung untuk unjuk rasa. Atau, gerakan masyarakat urban yang dipertentangkan dengan gerakan masyarakat perdesaan atau pesisir.
Padahal, lanjut Asfinawati, tidak perlu ada pertentangan tersebut lantaran semua gerakan sama penting dan perlu dilakukan. "Semua harus menyatu. Menyatu saja belum tentu menang, apalagi saling mendikotomi. Semuanya harus ada, semuanya harus disokong," tutur pengajar hukum pidana di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.
Adapun menurut jajak pendapat Litbang Kompas, pengawasan masyarakat sipil terhadap kinerja pemerintah dinilai stagnan dan cenderung melemah dalam dua tahun terakhir. Dalam jajak pendapat yang dilaksanakan pada 7-12 Maret 2022 di 34 provinsi di Indonesia itu, sebanyak 373 orang dari 1.002 responden menilai pengawasan masyarakat sipil pada kinerja pemerintah kian melemah sepanjang periode pandemi. Sebanyak 313 orang menilai menguat dan sisanya menganggap pengawasan masyarakat kepada pemerintah tidak jauh berbeda.
Salah satu penyebab melemahnya pengawasan masyarakat sipil terhadap kinerja pemerintah adalah sikap pragmatis dari aktivis itu sendiri. Hampir dua pertiga responden menilai, pada akhirnya aktivis yang kritis akan bergabung ke dalam pemerintahan. Setelahnya, suara kritis aktivis itu tak terdengar lagi. Akibatnya, muncul pandangan sikap kritis bahwa aktivis hanyalah alat untuk naik ke kekuasaan, bukan sebuah perjuangan esensial untuk memperjuangkan kepentingan publik (Kompas.id, 28/3/2022).