Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejagung selaku penyidik kasus pelanggaran HAM berat menemui kendala dalam pembuktian. Dukungan dibutuhkan agar koordinasi di antara kedua lembaga lancar.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komnas HAM meminta pemerintah memberi dukungan politik lebih besar terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisal atau melalui pengadilan. Dukungan dibutuhkan agar koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung berjalan lancar demi terpenuhinya bukti pelanggaran HAM.
Sejauh ini, penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial menghadapi kendala. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (20/12/2022), mengatakan, kendala itu, antara lain, muncul lantaran ada perbedaan standar pemberkasan dan pembuktian antara Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku penyidik.
Atnike menambahkan, Komnas HAM sebenarnya sudah bertemu dengan Kejagung dan sama-sama berkomitmen membangun komunikasi lebih lanjut. Harapannya, agar Komnas HAM dan Kejagung dapat mencapai kesepakatan atas perbedaan keduanya. Namun, Atnike menekankan, upaya itu perlu juga didorong dengan dukungan politik yang lebih besar dari pemerintah.
”Kami berharap pemerintah, terutama Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), mendukung proses sinergi dan koordinasi Komnas HAM dan Kejagung dalam penyelesaian kasus HAM berat dengan memberi dukungan politik yang lebih besar. Sebab, kedua lembaga ini berada dalam koordinasi Kemenko Polhukam,” kata Atnike.
Menurut Atnike, dukungan politik itu penting terutama setelah pemerintah berkomitmen mendorong kasus pelanggaran HAM berat diselesaikan secara yudisial. Selain itu, pemerintah juga perlu mencari cara agar mekanisme yudisial dan non-yudisial bisa sama-sama memberikan keadilan bagi korban.
Terkait penyelesaian non-yudisial, pemerintah telah membentuk Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (Tim PPHAM). Tim itu dibentuk pada 21 September 2022 melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 dan akan berakhir masa kerjanya pada 31 Desember 2022. Secara umum, tugas dari PPHAM adalah mengungkap apakah kasus pelanggaran HAM berat itu terjadi atau tidak. Tim akan merekomendasikan agar negara mau mengakui kebenaran peristiwa itu.
Selain itu, tim PPHAM juga merekomendasikan langkah pemulihan korban. Terakhir, tim akan merekomendasikan juga kepada negara apa yang harus dilakukan supaya peristiwa pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi di masa depan.
Atnike mengatakan, Komnas HAM mendukung kerja PPHAM untuk memberikan pemulihan korban, tetapi dengan catatan. Salah satunya, mekanisme non-yudisial itu bersifat komplementer terhadap yudisial sehingga tidak meniadakan maupun memutihkan hasil penyelidikan Komnas HAM untuk penyelesaian lewat pengadilan.
”Kami juga berharap PPHAM memberikan rekomendasi yang konkret dan bermartabat bagi korban sehingga mekanisme ini memberikan keadilan dalam dimensi pemulihan korban,” tutur Atnike.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Senin (19/12/2022), menegaskan, mekanisme non-yudisial tidak menghapus proses yudisial. Terlebih. proses yudisial sudah diatur dalam undang-undang. Pelanggaran HAM berat tidak ada masa kedaluwarsanya dan harus diadili.
Mahfud mengatakan, kendalanya saat ini adalah tidak lengkapnya bukti yang dikumpulkan oleh Komnas HAM dan Kejagung. Akibatnya, banyak terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat lepas dari jerat hukum karena minimnya bukti di persidangan.
”Sampai saat ini, sudah 38 orang dibebaskan (dalam kasus pelanggaran HAM berat). Bukti-buktinya tidak cukup untuk dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Kasus tidak akan ditutup karena tidak boleh ditutup sebelum diadili. Itu ketentuan UU,” kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, Kemenko Polhukam telah menerima laporan kinerja Tim PPHAM. Tim melaporkan bahwa perkembangan kinerja mereka sudah sampai pada tahap finalisasi. Tim membutuhkan diskusi akhir dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di pondok pesantren milik Rais Aam PBNU Miftahul Akhyar di Surabaya, Jawa Timur.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur, penyataan Mahfud terkait penyelesaian yudisial perlu dibarengi dengan tindakan nyata. Sebab, ia melihat selama tiga tahun masa jabatan Mahfud maupun tujuh tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tidak ada kemajuan dalam pengungkapan kasus HAM berat.
Menurut Isnur, tindakan yang dapat dilakukan pemerintah, antara lain, menekan agar penyelesaian tidak hanya berhenti pada penyelidikan Komnas HAM, tetapi juga berlanjut pada penyidikan Kejagung. Pemerintah perlu mendukung Komnas HAM dan Kejagung agar melakukan pembuktian secara maksimal.
”Problem Komnas HAM, kan, tidak punya kemampuan upaya paksa untuk menggeledah atau menyita. Itu harus dilakukan Kejagung. Jadi, sebenarnya pembuktian ini seolah lemah, padahal memang tidak melakukan apa-apa. Di satu sisi, semakin lama, bukti tersebut semakin hilang,” ujar Isnur.