Perppu Cipta Kerja yang diputuskan Presiden sebetulnya hukum keadaan darurat yang didasarkan pada penilaian subyektif presiden berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Perppu diterbifkan setelah semua yang diputuskan MK dipenuhi
Jelang akhir Desember 2022, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan cacat formal, dianggap selesai dan final revisinya. Sosialisasi oleh Satuan Tugas UU Cipta Kerja yang dibentuk pemerintah pada Februari 2022 pun berjalan di sejumlah daerah sembari UU Cipta Kerja direvisi.
Dalam amar putusannya, MK yang sebelumnya mengabulkan sebagian permohonan uji formil pada 25 November 2021 menyebutkan, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tak dimaknai ”tak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan”. Jika selama tenggang waktu itu tak diperbaiki, undang-undang itu inkonstitusional permanen.
Sejauh ini ada tiga poin putusan MK yang perlu ditindaklanjuti. Selain DPR dan pemerintah diminta mengakomodasi metode omnibus law dalam perubahan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diubah dengan UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, prosedural pembentukan UU Cipta Kerja juga harus diperbaiki. Berikutnya, pemerintah harus menangguhkan segala kebijakan/tindakan strategis dan tak diperbolehkan menyusun aturan turunan undang-undang tersebut.
Siapa menjamin
Presiden Joko Widodo pun mengundang rapat terbatas, Senin (26/12/2022), untuk membahas UU Cipta Kerja. Rapat internal yang dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin digelar di Istana Merdeka, Jakarta. Rapat membahas plus-minusnya jika UU Cipta Kerja, yang selesai direvisi terkait ketenagakerjaan, sertifikasi halal dan sumber daya air, tetap diajukan ke DPR, harus selesai sebelum November 2023, seperti diminta MK.
Sementara, saat itu, DPR yang tengah reses baru memulai sidang berikutnya, Selasa (10/1). Jika dihitung dengan penyusunan daftar isian masalah undang-undang tersebut, berikut pembahasan dan masa reses lain dan lainnya, dibutuhkan waktu sekitar 10 bulan. ”Siapa yang bisa menjamin revisi UU Cipta Kerja selesai sebelum 25 November mendatang?” tanya Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej kepada Kompas, Kamis (5/1).
”Siapa yang bisa menjamin revisi UU Cipta Kerja selesai sebelum 25 November mendatang?”
Di sisi lain, saat rapat digelar, ada kegentingan yang memaksa, yang harus diketahui publik bahwa kegentingan itu tidak hanya politik, sosial, dan ekonomi. ”Karena itu, pada rapat tersebut, usai dibahas, didiskusikan, dan ditelaah, Presiden mengambil keputusan mengambil opsi perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Mengapa kita putuskan perppu? Karena ada kegentingan ekonomi dalam koteks ekonomi global yang terjadi tahun ini, dan sekarang sudah dirasakan imbas resesinya di seluruh dunia,” ungkap Edward.
Namun, mengapa yang diminta revisi undang-undang, justru terbitkan perppu? ”Yang penting dari putusan MK ada proses dan substansi yang harus diperbaiki. Soal undang-undang atau perppu, sebenarnya hanya soal ’baju’ hukumnya, dipastikan substansi undang-undang diperbaiki dengan perppu,” kata Edward.
”Dengan inkonstitusional bersyarat, semua aturan UU Cipta kerja tak bisa dilaksanakan. Padahal, ini sangat mendesak. Aturan yang ada tak memadai jika tak ada peraturan pelaksanaannya, juga tidak ada kepastian hukum”
Dengan perppu, menurut Edward, kepastian hukum menghadapi krisis ekonomi global akan bisa dihadapi. Tentang adanya keputusan MK pada 2009 yang menyatakan salah satu alasan dikeluarkan perppu mesti ada kegentingan yang memaksa, Edward menyatakan, hal itu jika ada persoalan hukum, atau ada aturan hukum yang tak memadai, atau aturan yang ada tak menjamin kepastian hukum. ”Dengan inkonstitusional bersyarat, semua aturan UU Cipta kerja tak bisa dilaksanakan. Padahal, ini sangat mendesak. Aturan yang ada tak memadai jika tak ada peraturan pelaksanaannya, juga tidak ada kepastian hukum,” ujarnya.
Menurut Edward, dengan alasan ini, Presiden berkepentingan mengeluarkan perppu. ”Perppu ini juga bisa memberi tantangan political review di DPR untuk disetujui atau ditolak. Jika lolos di DPR, pun, jika ada yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar masih bisa judicial review. Silakan seperti hari ini, ada yang daftar ke MK,” ucapnya.
”Perppu ini juga bisa memberi tantangan political review di DPR untuk disetujui atau ditolak. Jika lolos di DPR, pun, jika ada yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar masih bisa judicial review. Silakan seperti hari ini, ada yang daftar ke MK”
Karena itu, menurut Edward, tidak ada kaitan penerbitan perppu ini dengan kesewenangan Presiden Jokowi berupaya tiga periode pemerintahan dan kepentingan-kepentingan Presiden lainnya, kecuali kepentingan ekonomi dan kesejahteraan dengan mencegah krisis dan membangkitkan investasi. ”Inilah yang disebut unfair prejudice atau persangkaan yang tak wajar, terlalu dibawa ke mana-mana (soal perppu). Perppu itu sebetulnya hukum keadaan darurat yang didasarkan pada penilaian subyektif presiden berdasarkan Pasal 22 UUD 1945,” ujarnya.
Jangan sampai terjadi seperti dituturkan pejabat lain di Istana jika membaca artikel analis ekonomi Amerika Serikat, Paul Krugman di The New York Times, Senin (2/1), berjudul ”We’re Going to Miss Greed and Cynicism”. Kondisi ekonomi dunia tahun 2023 ini tak diketahui seperti apa. Yang diketahui justru yang tidak diketahui. ”It’s 2023. What will the new year bring? The answer, of course, is that we don’t know.”... for example, nobody really knows how hard it will be to reduce inflation or whether the US economy will experience a recession. There are also unknown unknowns”.”Di sinilah perppu ditujukan adanya kepastian hadapi krisis bilamana terjadi,” ujar Edward.