Jatuh Bangun PDI-P Menuju Puncak Kejayaan
PDI-P menapaki jalan terjal di era Orde Baru. Pasca-reformasi, PDI-P pun sempat selama 10 tahun di luar pemerintahan. Namun, di dua pemilu terakhir, kondisi berbalik, dan bisa tetap jaya di Pemilu 2024. Apa syaratnya?
> Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri berulang kali menekankan target partainya untuk mencetak hattrick di Pemilu 2024.
> Turun ke bawah diyakini Megawati sebagai metode yang paling efektif untuk membangun ikatan dengan masyarakat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
> Pengamat politik mengingatkan, jika keliru menentukan figur capres akan berbuah petaka bagi hasil pemilu legislatif PDI-P.
Air mata menetes di ujung mata Megawati Soekarnoputri saat berpidato di hadapan belasan ribu kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P yang berkumpul di Hall A, Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Selasa (10/1/2023) siang. Orasi politik peringatan Hari Ulang Tahun Ke-50 partai yang semula terdengar lantang tiba-tiba melemah dan sedikit bergetar. Tangis Ketua Umum PDI-P itu tak tertahan saat mengisahkan sulitnya partai mengorganisasikan basis massa di akar rumput pada era Orde Baru.
Era Orde Baru (Orba) memang bukan masa yang mudah bagi para simpatisan Soekarno, Presiden Pertama RI. Apalagi, aktivitas politik yang dilakukan oleh keluarga Bung Karno. “Dulu sejarah PDI (Partai Demokrasi Indonesia sebelum diubah menjadi PDI-P menjelang Pemilu 1999) memang berliku, seperti mau turun ke bawah saja benar-benar sulit karena mesti minta izin dengan polisi. Banyak anak-anak yang ditangkap oleh polisi,” kata Megawati yang juga putri kandung Bung Karno.
Tak hanya harus meminta izin, seluruh gerak-gerik Megawati dan aktivitas kepartaiannya pun diawasi aparat. Suatu hari, ia pernah mencuri dengar adanya pengawasan, bahkan sandi khusus untuk menyebut dirinya dan para simpatisan PDI melalui portofon (handy talkie/HT) milik pengawalnya. Rakyat yang terasosiasi dengan PDI disebut “semut merah” sedangkan Megawati dijuluki “ratu preman”.
Di tengah pembatasan dan pengawasan itu, PDI yang berasal dari penggabungan Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) pada tahun 1973 itu tak banyak dikenal orang. Perolehan suara partai dalam lima kali pemilu tak pernah signifikan. Pada Pemilu 1977, PDI meraih 8,6 persen dari total suara sah nasional; 7,8 persen pada Pemilu 1982; 10,8 persen pada Pemilu 1987; 14,8 persen pada Pemilu 1992; dan 2,9 persen pada Pemilu 1997. Dari tiga partai politik (parpol) peserta pemilu di era Orba, PDI selalu menempati peringkat terakhir di bawah Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Megawati mengakui, PDI bisa tetap hidup berkat sokongan rakyat. Dalam salah satu kunjungannya ke Jawa Tengah, misalnya, ketika sedang dilanda kebingungan mencari warga yang harus diorganisasikan, seorang warga justru meminta Megawati untuk datang ke rumahnya. Di tempat itu, Megawati dipertemukan dengan sekitar 50 laki-laki paruh baya yang hanya menanyakan satu hal, apakah benar dia adalah putri Bung Karno. Rupanya, mereka adalah simpatisan PNI (partai yang didirikan Soekarno pada 1927) yang sudah lama menantikan kehadiran parpol dan pemimpin yang terafiliasi dengan Bung Karno. “Ibu tidak usah susah payah mikir, kita akan bantu terus,” tuturnya menirukan ucapan sejumlah warga.
Keberadaan massa yang militan, kata Megawati, tak akan bisa diketahui jika rakyat tidak ditemui secara langsung. Ia pun meyakini, turun ke bawah merupakan metode yang paling efektif untuk membangun ikatan lahir dan batin dengan masyarakat. Sejak saat itu, turun ke bawah untuk menemui akar rumput menjadi prioritas partai.
Secara struktural, upaya untuk mendekatkan diri dengan rakyat juga diwujudkan dengan membentuk struktur partai hingga tingkat kecamatan. Meski di setiap kecamatan hanya ada satu atau dua orang yang bersedia menjadi pengurus partai, mereka akan tetap dilantik secara resmi. Pada tahap berikutnya, pengurus itu yang bertanggung jawab untuk mencari kader lain. “Ini terobosan, supaya dari situ kita bisa menjangkau rakyat benar, akar rumput yang di bawah,” kenangnya.
Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI secara de facto melalui Kongres Luar Biasa PDI di Sukolilo, Jawa Timur, 1993. Keterpilihan itu mengejutkan pemerintah Orba sehingga pencalonan Megawati pada Kongres PDI di Medan, Sumatera Utara, 1996, dijegal. Hal itu berdampak pada perpecahan dan terjadinya dualisme kepemimpinan, yakni PDI yang dipimpin Megawati dan PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi. Pada 27 Juli 1996, terjadi penyerangan kantor partai yang ditempati Megawati dan para pendukungnya di Menteng, Jakarta, yang juga dikenal sebagai Peristiwa Kudatuli. Peristiwa itu berbuah simpati besar publik pada Megawati dan parpol yang dipimpinnya.
Baca juga: Caleg Perempuan Menembus Legislatif, antara Militansi dan Privilese
Pasca-lengsernya Soeharto pada 1998, PDI di bawah kepemimpinan Megawati semakin kuat. Berdasarkan Kongres PDI di Bali pada tahun yang sama, ia terpilih sebagai Ketua Umum PDI 1998—2003. Jelang Pemilu 1999, nama parpol tersebut diubah menjadi PDI Perjuangan (PDI-P). Megawati pun masih memimpin parpol tersebut berdasarkan hasil lima kali kongres yang telah dilakukan setiap lima tahun.
Pembuktian
Megawati melanjutkan, langkah turun ke bawah yang ia prioritaskan terbukti efektif secara elektoral. Hal itu terlihat dari kemenangan PDI-P pada Pemilu 1999. Dalam pemilu pertama pasca-reformasi, PDI-P memperoleh 33,7 persen dari total suara sah nasional dengan 153 kursi di DPR. Raihan itu sekaligus menempatkan PDI-P sebagai partai pemenang pemilu. Kendati menang di pemilu legislatif (pileg), persoalan demokrasi prosedural berakibat pada gagalnya Megawati menjadi presiden.
Hasil Sidang Umum MPR menunjukkan, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden RI, untuk mendampingi Presiden Keempat RI terpilih Abdurrahman Wahid. Namun, Megawati akhirnya naik menjadi Presiden Kelima RI pada 2001—2004, menggantikan Gus Dur yang dimakzulkan oleh MPR.
Pada 2004, demokrasi Indonesia memasuki era baru dengan diterapkannya sistem pemilihan langsung, baik untuk pileg maupun pemilihan presiden (pilpres). Di tengah tantangan baru itu, kemenangan PDI-P pada 1999 tak bisa dipertahankan. Pada Pemilu 2004, PDI-P menempati peringkat kedua dengan perolehan suara sebesar 18,5 persen dan mendapatkan 109 kursi di DPR. Megawati yang maju di Pilpres 2004 berpasangan dengan Hasyim Muzadi pun kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono—Jusuf Kalla.
Baca juga: Selubung Misteri Calon RI-1 di Pertemuan Batutulis
Lima tahun berikutnya, capaian PDI-P merosot ke peringkat ketiga. Perolehan suara pada Pemilu 2004 mencapai 14,03 persen suara sah nasional dengan 95 kursi di DPR. Megawati yang kembali maju di Pilpres 2009 bersama Prabowo Subianto dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Budiono.
Kalah dalam dua pemilu berturut-turut dan berada di luar pemerintahan selama 10 tahun mendorong PDI-P untuk bangkit. Pada Pemilu 2014 dan 2019, partai berlambang banteng itu menyapu bersih kemenangan baik di pileg maupun pilpres. Pada Pemilu 2014, PDI-P meraih 18,9 persen suara nasional dengan 109 kursi di DPR. Adapun pada Pemilu 2019, raihan suara mencapai 19,3 persen dan mendapatkan 128 kursi di DPR. Selama dua periode itu, PDI-P mengusung calon presiden yang sama, yakni mantan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, sekaligus Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo.
Tak hanya menjadi pemenang pemilu, capaian PDI-P pada Pemilu 2019 juga menempatkannya sebagai satu-satunya parpol yang memenuhi ambang batas pencalonan presiden. Undang-Undang Pemilu mengatur, parpol atau gabungan parpol harus memiliki setidaknya 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional sebagai syarat untuk mengusung calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres). Dengan begitu, PDI-P bisa mengusung pasangan capres dan cawapresnya tanpa berkoalisi dengan parpol lain.
Sekalipun hingga saat ini PDI-P belum mengumumkan capres yang akan diusung, Megawati berulang kali mengemukakan target partainya untuk mencetak hattrick atau meraih kemenangan berturut-turut untuk ketiga kalinya. Untuk itu, turun ke bawah untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan riil masyarakat juga terus ditekankan.
Baca juga: Tekad Bulat PDI-P Mengejar ”Hattrick” Kemenangan Pemilu
Capres yang tepat
Pengajar Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, mengatakan, PDI-P telah mencetak rekor berulang dalam perjalanan politik elektoralnya pasca-reformasi. Rekor dimaksud dimulai dengan kemenangan telak pada Pemilu 1999, yang merupakan momentum reaksi balik terhadap pemerintahan Orba. PDI-P tersimbolisasi sebagai pusat kekuatan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter, sedangkan Megawati menjadi tokoh antitesis Presiden Soeharto sebagai penguasa Orba.
“Megawati mencuat sebagai solidarity maker dengan pengalaman disengsarakan oleh kekuasaan Orba, PDI-P pun dengan cepat menjelma menjadi parpol yang identitas kepartaiannya sangat kuat,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (11/1).
Ia melanjutkan, PDI-P juga mencetak rekor lain dalam sejarah kepemiluan Indonesia, yakni parpol pertama yang memenangi pileg dan pilpres secara berturut-turut pada 2014 dan 2019. Sekalipun kekuatan kelembagaan partai diperlemah oleh pemberlakuan sistem pemilu proporsional terbuka, PDI-P bisa melewatinya berkat keberadaan dua figur sentral, yakni Megawati dan Jokowi. “Kekuatan dua figur ini menjadi perekat identitas partai yang begitu kuat sekaligus menjadi penentu kemenangan PDI-P secara berturutan,” kata Haryadi.
Namun, menghadapi Pemilu 2024, PDI-P membutuhkan strategi khusus. Dalam eksperimentasi pemilu yang diselenggarakan secara serentak, hasil pileg akan dipengaruhi kuat oleh sosok capres yang diusung oleh parpol. “Salah dalam menentukan figur capres akan berbuah petaka bagi hasil pileg. Tepat dalam menentukan capres, akan berbuah pelonjakan hasil pileg,” ujar Haryadi.
Menurut Haryadi, PDI-P mendapatkan keuntungan di tengah konteks tersebut. Selain memiliki identitas kepartaian yang kuat, dua figur sentral yang menjadi perekat, ada pula kader yang memiliki kekuatan elektoral yang menonjol berdasarkan hasil survei elektabilitas sejumlah lembaga. Dengan bekal itu, PDI-P memiliki peluang kemenangan besar di atas kertas. “Semuanya berpulang kepada PDI-P, khususnya Megawati sebagai ketua umum partai yang memegang hak prerogatif dalam menentukan capres dari kadernya sendiri,” tuturnya.
Baca juga: Adu Kuat Daya Pikat Puan dan Ganjar Menuju 2024
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, memandang, PDI-P yang embrionya berasal dari PNI, salah satu parpol terbesar di awal kemerdekaan, didirikan oleh pendiri bangsa, dengan sendirinya sudah memiliki basis massa yang fanatik sehingga menjadi basis elektoral yang sangat besar. Meski sempat menjadi kerdil karena sistem yang dikondisikan selama Orba, parpol tersebut mulai kembali merangkak sejak kehadiran Megawati yang dianggap sebagai simbol Bung Karno. Kondisi itu diperkuat dengan adanya efek kejut dari Peristiwa Kudatuli, Reformasi 1998, serta lengsernya Presiden Soeharto. Rentetan kejadian itu pun berbuah capaian elektoral PDI-P, sebagai pemenang Pemilu 1999.
Namun, kemenangan itu tidak bisa dipertahankan pada dua periode pemilu setelahnya karena semangat perlawanan terhadap Orba yang memudar. Pamor Megawati sebagai antitesis pemimpin otoriter juga meredup. Hal itu terjadi bersamaan dengan berkembangnya pemasaran politik secara modern. Parpol lain saat itu merespons pemasaran politik baru dengan memanfaatkan peran lembaga survei, sedangkan PDI-P masih konservatif.
Era pemasaran politik modern melahirkan fenomena baru, yakni sosok capres dengan tingkat keterpilihan tinggi berdasarkan hasil survei atau yang kerap disebut sebagai magnet elektoral. Fenomena itu juga memunculkan konsep efek ekor jas atau tuah elektoral yang bisa didapatkan partai berkat sosok capres yang diusung. Keberhasilan pada Pemilu 2014 dan 2019, kata Yunarto, itu terjadi karena PDI-P mampu menemukan Jokowi sebagai magnet elektoral partai. “Kekuatan basis massa ideologis yang fanatik serta infrastruktur partai yang kuat dipadukan dengan magnet elektoral bernama Jokowi yang bisa diterima publik, itu yang menyebabkan PDI-P bisa menang dua kali berturut-turut,” kata Yunarto.
Menurut dia, jelang Pemilu 2024, PDI-P masih memiliki dua variabel kekuatan itu. Infrastruktur partai dengan basis massa ideologis masih terjaga. Kader dengan tingkat elektabilitas tinggi pun dimiliki oleh PDI-P.
“Jika PDI-P memilih untuk melepas magnet elektoral yang dimiliki dan hanya memaksimalkan infrastruktur partai, sama saja memilih untuk mengulang kekalahan pada 2004 dan 2009,” ujar Yunarto.
Baca juga: Menghitung Hari Pengumuman Capres PDI-P
Akan tetapi, optimalisasi dua variabel kemenangan itu saja tidak cukup. PDI-P harus mulai menjadi parpol yang berorientasi ke masa depan seiring dengan peningkatan jumlah pemilih muda dengan karakter yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Pemilih muda cenderung kritis, mendasarkan pilihannya pada kerja nyata partai dan kesesuaian program partai dengan aspirasi mereka. “Tantangan PDI-P adalah menerjemahkan kebesaran masa lalu dan beradaptasi dengan kebutuhan di masa mendatang,” tutur Yunarto.