Korban Pelanggaran HAM Berat Inginkan Pelurusan Sejarah
Bukan sekadar menghentikan stigma, pelurusan sejarah dibutuhkan untuk mengungkap kebenaran. Yang pada akhirnya adalah mengusut pelaku dan lakukan penegakan hukum.
JAKARTA, KOMPAS — Korban pelanggaran hak asasi manusia berat berharap pemerintah tidak berhenti pada pengakuan dan penyesalan terhadap 12 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Hal itu harus diikuti dengan mengungkap kebenaran sehingga bisa dilakukan pelurusan sejarah untuk memutus mata rantai stigmatisasi dan diskriminasi para korban.
Pengungkapan kebenaran itu pada akhirnya membuka pintu untuk mengusut pelaku dan melakukan penegakan hukum, mengidentifikasi korban serta memulihkan hak-hak korban. Selain itu juga untuk evaluasi dan reformasi kebijakan, hukum dan institusi, untuk mencegah berulangnya peristiwa serupa di masa mendatang,
Pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Bedjo Untung saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (12/1/2023), mengatakan, korban Peristiwa 1965-1966 mengapresiasi pengakuan dan penyesalan resmi dari Presiden Joko Widodo. Itu merupakan salah satu dari tuntutan korban. Meskipun demikian, korban berharap langkah pemerintah tidak berhenti sampai di situ.
”Yang paling penting bagi kami adalah supaya negara betul-betul mengungkapkan kebenaran. Kami ingin kejelasan peristiwanya. Sudah banyak temuan yang ditulis dari peneliti dalam dan luar negeri tentang kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Itu bisa digunakan sebagai sumber-sumber meluruskan sejarah,” kata Bedjo.
Pada Rabu (11/1/2023), Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu setelah menerima rekomendasi Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta. Presiden juga bersimpati dan berempati kepada korban dan keluarga korban.
Cabut aturan diskriminatif
Bedjo menyampaikan, pengungkapan kebenaran terhadap Peristiwa 1965 dibutuhkan untuk menghentikan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap korban. Selama ini, korban tidak bisa berorganisasi karena masih ada sejumlah peraturan diskriminatif yang dibuat oleh rezim Orde Baru.
Peraturan diskriminatif yang dimaksud itu adalah TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), serta larangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid pernah mengusulkan pencabutan aturan itu. Namun, sampai sekarang peraturan itu masih berlaku.
Bedjo meminta agar aturan usang itu dicabut. Setelah itu, ia meyakini, para korban baru bisa melakukan rekonsiliasi. ”Kami mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan mencabut peraturan yang dibuat oleh rezim Orde Baru yang penuh dengan kebohongan,” ucapnya.
Hal serupa juga disampaikan penyintas tragedi 1965-1966 lain, Effendi Saleh (84). Ia menginginkan agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu dituntaskan. ”Jangan hanya politik etis. Perlu ada tindakan nyata, seperti menghukum pelaku serta memulihkan hak korban dengan pelurusan sejarah dan perbaikan nama baik,” ucapnya.
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) juga menyatakan, negara seharusnya tidak menemui kesulitan untuk menuntaskan semua perkara pelanggaran HAM berat secara yudisial.
JSKK lewat surat terbuka yang ditandatangani, antara lain oleh Suciwati (istri aktivis HAM, Munir Said Thalib) dan Maria Sumarsih (ibu korban Semanggi I, Bernardus Realino Norma Irawan), meminta Presiden Jokowi memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan perkara pelanggaran HAM berat dari Komisi Nasional HAM. Selain itu, menuntut Presiden memerintahkan Jaksa Agung membentuk Tim Penyidik ad hoc sesuai mandat Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Alih-alih disesali, pelanggaran HAM berat itu harus dipertanggungjawabkan di Pengadilan HAM ad hoc.
Maria Sumarsih mengatakan, alih-alih disesali, pelanggaran HAM berat itu harus dipertanggungjawabkan di Pengadilan HAM ad hoc.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, juga berpandangan, pengakuan negara seharusnya membuka pintu bagi langkah selanjutnya, yaitu mengusut pelaku dan melakukan penegakan hukum. ”Mengidentifikasi korban, memulihkan hak-hak korban, serta mengevaluasi dan reformasi kebijakan, hukum dan institusi untuk mencegah berulangnya peristiwa (serupa) di masa mendatang,” ujarnya.
Sementara itu, pemerintah menyatakan pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat masa lalu tidak akan menegasikan penyelesaian yudisial. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, penyelesaian melalui jalur yudisial tentunya akan tergantung pada data dan bukti-bukti yang ada.
Menurutnya, upaya yang dilakukan saat ini, sesuai rekomendasi Tim PPHAM, adalah penyelesaian kasus melalui jalur nonyudisial terlebih dulu. ”Ini sekarang kita nonyudisial dulu. Ini, kan, yang membuat keputusan ini orang-orang yang sangat kredibel,” ujarnya.
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh Masthur Yahya menuturkan, pengakuan negara atas sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi penguat bagi kerja KKR Aceh dalam mengumpulkan dan mendata pelanggaran HAM di Aceh. Sejauh ini telah terkumpul 5.264 data dari hasil pengungkapan kebenaran. ”Kami meminta PPHAM agar data tersebut turut menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti dalam kebijakan nasional,” katanya.
Jalankan rekomendasi
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, skema pemulihan yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah peningkatan ekonomi hingga penerbitan dokumen kependudukan yang selama ini terkendala. Bantuan itu diberikan tanpa seleksi.
Dalam waktu dekat ini, lanjutnya, Presiden akan menugaskan sejumlah menteri untuk menjalankan rekomendasi dari tim PPHAM. Jika target tidak berjalan, Presiden juga akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk mengawal implementasi rekomendasi tersebut.
Pemenuhan hak-hak korban, menurut dia, juga tidak akan menegasikan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial. Penyelesaian secara yudisial merupakan ranah tanggung jawab dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Untuk peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, DPR akan memutuskan dan meminta kepada presiden untuk melakukan pengadilan HAM ad hoc masa lalu.