Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menekankan pentingnya proses keadilan transisi komprehensif untuk memutus impunitas, pemulihan nasional, dan memperkuat demokrasi.
JAKARTA, KOMPAS - Langkah nyata pasca-pengakuan dan penyesalan negara atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat di 12 peristiwa masa lalu dinantikan. Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Hak Asasi Manusia secara khusus meminta pemerintah mengambil langkah lanjutan yang berbasis proses keadilan transisional yang bermakna, inklusif, dan partisipatif. Proses keadilan transisional yang komprehensif penting guna memutus impunitas dan pemulihan nasional.
Menurut mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan pemerintah pasca-pengakuan dan penyesalan negara atas terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dua hal itu adalah membentuk tim untuk menindaklanjuti rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) dan mengidentifikasi hal-hal yang bersifat konkret atau di depan mata.
Pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat salah satunya. ”Saya kira bahan-bahan, informasi, dan sebagainya sudah ada. Minimal modalitasnya ada. Itu bisa di-follow up secara konkret. Misalnya terkait mereka yang dulunya pegawai negeri sipil, lalu tiba-tiba diberhentikan tanpa diuji, apakah dia terlibat ataukah tidak dan sebagainya yang kita identifikasi sebagai korban. Itu bisa segera dipulihkan,” ujar Anam saat dihubungi, Minggu (15/1/2023).
Seluruh kementerian dan lembaga, lanjut Anam, harus turut mendukung pemenuhan hak-hak korban tersebut. Misalnya, Kementerian Kesehatan; Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Kementerian Sosial, dan sebagainya. ”Sesegera mungkin perlu dibuat rancang bangun untuk melakukan follow up,” tambahnya.
Pengakuan dan penyesalan negara atas terjadinya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu disampaikan Presiden Joko Widodo setelah menerima rekomendasi dari Tim PPHAM, Rabu (11/1).
Selain pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat masa lalu, Tim PPHAM merekomendasikan sepuluh poin lainnya kepada Presiden. Poin rekomendasi itu antara lain memulihkan hak korban, mendata kembali korban, menyusun ulang sejarah, dan membuat kebijakan negara untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM yang berat.
Selain itu, direkomendasikan pula pembuatan kebijakan reformasi struktural dan kultural di TNI/Polri, membangun memorabilia sebagai pengingat agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan, serta membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan Tim PPHAM.
Pada Jumat (13/1) malam, Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk HAM melalui juru bicaranya, Liz Throssell, juga mendorong Pemerintah Indonesia menjadikan momentum pengakuan dan penyesalan negara guna mengambil langkah lanjutan yang nyata dengan melakukan proses keadilan transisional yang bermakna, inklusif, dan partisipatif. Dalam pernyataan yang disiarkan melalui akun media sosial Twitter, @UNGeneva, tersebut, disampaikan pula harapan agar pemerintah senantiasa menjamin kebenaran, keadilan, reparasi, serta menjamin kasus serupa tidak terulang di masa depan.
”Proses keadilan transisional yang komprehensif akan membantu memutus siklus impunitas yang terjadi selama puluhan tahun, memajukan pemulihan nasional, serta memperkuat demokrasi di Indonesia,” kata Liz.
Langkah menggembirakan
Liz juga menyampaikan, Komisaris Tinggi PBB untuk HAM menyambut baik pengakuan dan penyesalan yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi.
”Sikap presiden itu merupakan langkah yang menggembirakan dalam perjalanan panjang menuju keadilan bagi para korban dan orang-orang yang mereka cintai,” ujar Throssel.
Atas pernyataan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, melalui akun Twitter-nya, Minggu, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memahami dan memberikan dukungan kepada Pemerintah Indonesia dalam penyelesaian kasus-kasus HAM berat masa lalu melalui Tim PPHAM. Mahfud menegaskan, kerja dari PPHAM yang ditindaklanjuti Presiden tidak akan menegasikan penyelesaian yudisial.
Pentingnya penyelesaian yudisial ini diingatkan pula oleh Choirul Anam. Ia berharap agar Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin turut menindaklanjuti pengakuan dan penyesalan negara tersebut.
”Jaksa Agung bisa mengambil peran dalam konteks mem-follow up pernyataan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat,” kata Anam.
Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jaksa Agung memegang peranan kunci mencari pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat. Kasus yang dinilai paling mudah diselesaikan melalui jalur yudisial, yang terjadi setelah tahun 2000.
Ungkap kebenaran
Secara terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur berpandangan, pengakuan dan penyesalan yang diungkapkan Presiden Joko Widodo terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masih belum jelas.
Menurut dia, Presiden tidak menjelaskan mengenai detail sejarah dan data yang diakui dan disesali, termasuk menyebut pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
”Karena memang tidak pernah ada pengungkapan kebenaran yang dijalankan, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial. Maka, kami mendesak dilaksanakannya mekanisme yudisial sebagai ruang untuk mengungkapkan kebenaran,” kata Isnur.
Menurut Isnur, pembentukan Tim PPHAM juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena hanya berupa keputusan presiden. Demikian pula 11 rekomendasi yang disampaikan Tim PPHAM juga tidak menyebut tentang penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat melalui Pengadilan HAM.
Oleh karena itu, Isnur justru mempertanyakan dasar pengakuan dan penyesalan Presiden terkait 12 kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Sebab, sampai saat ini pun tidak ada detail laporan tentang 12 peristiwa pelanggaran HAM berat ataupun peta jalan untuk menuntaskannya.
Dalam konteks itu pula, pernyataan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM menjadi penting untuk diperhatikan. Sebab, meski memberikan apresiasi, Dewan HAM PBB juga meminta agar Pemerintah Indonesia mengambil langkah nyata yang berkeadilan.
Selain itu, lanjut Isnur, ketika Presiden ataupun Mahfud MD menyatakan bahwa mekanisme non-yudisial tersebut tidak menegasikan penyelesaian melalui mekanisme yudisial, mestinya kedua jalur tersebut dilakukan bersamaan. Sebab, dikhawatirkan jalur non-yudisial yang dilakukan dengan pemberian bantuan bagi penyintas atau keluarga korban akan menghentikan mekanisme yudisial.
”Sebab, yang selama ini terjadi seperti itu. Jika hanya seperti itu, siapa yang bisa menjamin peristiwa serupa tidak terjadi lagi. Sebab, tanpa ada pengungkapan kebenaran, tiba-tiba ini lompat ke pengakuan dan penyesalan,” kata Isnur.
Di sisi yang lain, Isnur memahami bahwa para penyintas dan keluarga korban peristiwa pelanggaran HAM berat sudah puluhan tahun menderita dalam ketidakpastian. Oleh karena itu, pengakuan dan penyesalan Presiden tersebut bisa dianggap sebagai secercah angin surga yang menimbulkan harapan bagi mereka.