DKPP diharapkan dapat menyusun data dan informasi yang sudah tersebar terkait dugaan kecurangan pemilu sebagai dasar untuk mengambil keputusan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu diharapkan mampu bertindak obyektif dan independen dalam memeriksa dan mengadili perkara dugaan pelanggaran etik sejumlah komisioner Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun daerah, terkait dengan dugaan kecurangan dalam tahapan verifikasi faktual partai politik beberapa waktu lalu. Pihak-pihak yang terbukti terlibat dalam kecurangan tersebut harus diberi sanksi tegas berupa pemberhentian tetap.
Putusan DKPP yang obyektif tersebut diharapkan mampu sebagai ruang koreksi terhadap kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif yang diduga sudah terjadi. Hal ini seyogianya juga dijadikan momentum untuk menata kembali penyelenggaraan pemilu yang lebih jernih, bersih, jujur, dan demokratis. Harapannya, pemilu ke depan lebih dapat dipercaya publik.
”Tidak lama lagi kita akan mendengar bagaimana sikap DKPP, selaku penjaga etik penyelenggara pemilu, terkait dengan dugaan praktik kecurangan yang sebenarnya sudah terang benderang, jelas, selama tiga bulan terakhir. Dan, itu sudah tersebar di berbagai pemberitaan, baik berupa video testimoni dari para penyelenggara pemilu di daerah maupun bukti-bukti dokumen yang sudah tersebar luas di tengah masyarakat. Tentu kami berharap puzzle-puzzle yang sudah tersebar itu dapat disusun oleh majelis pemeriksa DKPP sehingga menyimpulkan benar adanya praktik kecurang pemilu, khususnya pada tahapan verifikasi faktual parpol,” tutur Kurnia Ramadhana dari Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih, dalam jumpa pers, Rabu (22/2/2023).
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mendampingi anggota KPU Sangihe, Sulawesi Utara, Jeck Stephen Seba, mengadukan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU RI, Idham Holik, dan sembilan anggota KPU daerah pada 21 Desember 2022. Mereka diduga mengubah status tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi memenuhi syarat (MS) dari Partai Gelora, Partai Garuda, PKN, dan Partai Buruh dalam proses verifikasi administrasi, verifikasi administrasi perbaikan, verifikasi faktual, dan verifikasi faktual perbaikan.
Berdasarkan peraturan internal DKPP, majelis pemeriksa DKPP akan menggelar rapat pleno pengambilan putusan paling lambat pada akhir Februari 2023. Ada sejumlah keganjilan dalam persidangan di DKPP. Misalnya, menurut Kurnia, adanya nuansa intimidatif yang dilakukan anggota KPU RI, Idham Holik, terhadap pelapor saat proses persidangan berlangsung. Itu ditunjukkan dengan adanya keinginan dari yang bersangkutan untuk memperkarakan secara hukum, khususnya terkait dengan bukti video elektronik yang diajukan pelapor.
Selain itu, ia juga mengkritik majelis pemeriksa DKPP yang bukannya mendalami video elektronik yang diajukan, tetapi justru mempertanyakan asal muasal video elektronik tersebut. Misalnya, salah satu anggota majelis pemeriksa tersebut menanyakan siapa yang merekam video dan sebagainya. Padahal, seharusnya yang didalami adalah substansi dari bukti video itu dan bagaimana video itu menggambarkan bahwa benar ada perintah hierarki untuk berbuat curang di tahap awal penyelenggaraan pemilu ini.
Tentu kami berharap puzzle-puzzle yang sudah tersebar itu dapat disusun oleh majelis pemeriksa DKPP sehingga menyimpulkan benar adanya praktik kecurang pemilu, khususnya pada tahapan verifikasi faktual parpol.
Ditambah lagi, sejumlah bukti elektronik berupa video yang isinya dapat membuktikan kecurangan yang terjadi tidak diputar secara utuh. Majelis pemeriksa DKPP beralasan sidang sudah melampaui batas waktu sehingga bukti tersebut tidak dapat disajikan dalam proses persidangan.
Keganjilan lain, lanjut Kurnia, tampak ketika majelis pemeriksa DKPP masih memberikan kesempatan kepada pihak teradu untuk menambahkan bukti ketika proses persidangan sudah selesai. Padahal, bukti tersebut harus diuji validitasnya di proses persidangan. ”Ini ganjil sekali,” ujarnya.
Anwar dari Kopel pun mencatat adanya ketidaksetaraan di dalam forum persidangan DKPP. Pengadu lebih banyak dicecar seperti ditanya dari mana asal muasal video, padahal hal tersebut kurang substansial. Sebaliknya, pihak teradu diberi banyak kesempatan untuk memberikan bantahan, termasuk menambahkan bukti baru di luar proses persidangan. ”Ini ketidakseimbangan dari majelis DKPP terhadap pengadu dan teradu,” ucapnya.
Mantan komisioner KPU, Hadar N Gumay, pun berharap majelis DKPP mempelajari video-video yang belum sempat ditayangkan selama proses persidangan. ”Karena di video tersebut jelas sekali siapa yang meminta dan menyuruh (dilakukannya perubahan hasil verifikasi parpol), dari tingkat pusat KPU RI. Nama-nama itu ada jelas. Oleh karena itu, gambaran ini menunjukkan betapa besarnya kecurangan yang dilakukan. Ini sangat mengancam kelancaran dan juga kepercayaan kita terhadap tahapan pemilu selanjutnya,”ungkap Hadar.
Lebih jauh Koalisi meminta DKPP tidak mengikutsertakan anggota majelis yang terlihat cenderung tidak netral dan obyektif dalam persidangan serta anggota DKPP yang merupakan anggota ex officio atau perwakilan dari KPU RI dalam pengambilan keputusan. Sanksi tegas pemberhentian tetap bagi para teradu diharapkan dijatuhkan.
Sebelumnya, Ketua DKPP Heddy Lugito menegaskan bahwa semua aduan diperlakukan sama. Tidak ada aduan yang diprioritaskan ataupun dianaktirikan, termasuk aduan tentang dugaan pelanggaran etik kecurangan pemilu. Semua aduan harus diproses dengan mekanisme atau prosedur yang berlaku.