Penggabungan RUU Narkotika dan RUU Psikotropika untuk Atasi Kelebihan Penghuni Lapas
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, meminta Komisi III DPR menunda pembahasan RUU Narkotika. Alasannya, karena RUU itu akan digabung dengan RUU Psikotropika.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Narkotika dan Rancangan Undang-Undang Psikotropika akan dilebur menjadi satu. Konsep besar penggabungan dua RUU ini adalah merehabilitasi pengguna narkotika, bukan memidananya. Dengan begitu, diharapkan persoalan kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan bisa segera teratasi.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023), meminta kepada Komisi III DPR agar menunda pembahasan RUU tentang Narkotika. Sebab, pemerintah ingin RUU tersebut digabung dengan RUU Psikotropika.
Keputusan menunda pembahasan RUU Narkotika pun disetujui. RUU ini sebenarnya merupakan RUU usulan pemerintah. RUU ini juga telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menegah periode 2020-2024.
”Jadi, (penggabungan RUU Narkotika dan RUU Psikotropika) itu sudah keputusan dari Komisi III dan pemerintah supaya ini betul-betul satu capaian signifikan, termasuk di dalamnya penguatan integrated criminal justice system. Selain itu, supaya juga definisi dari nanti di UU Narkotika dan Psikotropika menjadi satu,” ujar Yasonna.
Baca Juga: LP Kelebihan Penghuni, UU Narkotika Diusulkan untuk Direvisi
Yasonna berharap, penggabungan dua RUU itu bisa diselesaikan sebelum periode pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir pada 2024. Jika dapat segera disahkan, RUU tersebut bakal menjadi salah satu peninggalan penting dari pemerintahan dan anggota DPR periode 2019-2024.
Jadi, (penggabungan RUU Narkotika dan RUU Psikotropika) itu sudah keputusan dari Komisi III dan pemerintah, supaya ini betul-betul satu capaian signifikan, termasuk di dalamnya penguatan integrated criminal justice system. Selain itu, supaya juga definisi dari nanti di UU Narkotika dan Psikotropika menjadi satu.
Ia menyebut, pemerintah juga sudah menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) dari seluruh fraksi di DPR terkait RUU itu. Terhadap masukan-masukan dari seluruh fraksi di DPR tersebut, pemerintah akan mengkajinya.
”Nanti kami lihat. Kalau nanti sejalan atau sudah sesuai dengan prinsip penggabungan UU Narkotika dan UU Psikotropika, kami inkorporisasi saja dalam ayat-ayat dan pasal-pasalnya nanti,” ucap Yasonna.
Yasonna mengungkapkan, dengan digabungnya RUU Narkotika dan RUU Psikotropika, pemerintah dan Komisi III DPR sudah bersepakat agar ke depan pengguna narkotika dapat direhabilitasi, bukan dipidana. Sebab, jika mereka dipidana dan akhirnya masuk penjara, ini akan semakin menambah persoalan di lembaga pemasyarakatan. Namun, akan diatur pula ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai proses rehabilitasi tersebut.
”Selain soal penghuni lapas yang sudah melebihi kapasitas, pemakai (narkotika) di dalam (lapas), lama-lama menjadi kurir, lama-lama menjadi master. Jadi, lebih bagus, kami rehab. Tentunya nanti, harus kami pikirkan juga anggaran-anggaran rehabilitasi, memberdayakan rumah sakit-rumah sakit daerah, termasuk untuk panti-panti pembinaan rehabilitasi pengguna. Kalau tidak ditangani, ini makin hari, makin mengerikan,” tutur Yasonna.
Berdasarkan data Kemenkumham per 24 Maret 2023, hingga saat ini, terdapat 526 lapas dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia dengan kapasitas 140.424 warga binaan. Namun, penghuni lapas dan rutan saat ini berjumlah 265.897 warga binaan. Artinya, terjadi kelebihan penghuni sebesar 89,35 persen.
Jika dirinci lebih jauh, bahkan sejumlah lapas kelebihan penghuni mulai dari 400 persen hingga 800 persen. Di Lapas Kelas II A Bagan Siapi-api, Riau, misalnya, terjadi kelebihan penghuni sebesar 845 persen. Kemudian, Lapas Kelas II A Labuhan Ruku, Sumatera Utara (576 persen) dan Lapas Kelas II A Banjarmasin, Kalimantan Selatan (491 persen).
Overpopulasi atau overkapasitas masih tetap mendominasi beberapa lapas kita, yang paling fatal itu, yang paling berat itu Lapas Kelas II A Bagan Siapi-api dengan overpopulasinya atau overkapasitasnya 845 persen. Itu berarti tempat 1 orang dihuni 8,4 orang. Jadi, memang sangat mengerikan.
”Overpopulasi atau overkapasitas masih tetap mendominasi beberapa lapas kita, yang paling fatal itu, yang paling berat adalah Lapas Kelas II A Bagan Siapi-api yang overpopulasinya atau overkapasitasnya 845 persen. Itu berarti tempat 1 orang dihuni 8,4 orang. Jadi, memang sangat mengerikan,” tutur Yasonna.
Namun, dalam waktu dekat, Kemenkumham bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat akan merampungkan pembangunan Lapas Kelas II Bagan Siapi-api. Jika lapas itu terbangun, diharapkan dapat menampung lebih dari 900 orang.
Tak makan waktu
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, sependapat dengan kebijakan menggabungkan RUU Narkotika dan RUU Psikotropika agar masalah kelebihan penghuni lapas ini dapat segera teratasi. Ia hanya mengingatkan kepada pemerintah agar beberapa DIM yang telah disampaikan oleh seluruh fraksi di DPR dapat langsung diakomodasi. Dengan begitu, pembahasan RUU ini tidak memakan waktu yang panjang.
Sebaiknya sudah langsung diakomodasi saja. Kami tidak membahas draf yang awal karena sudah ada kajian, masukan, dari fraksi-fraksi juga terkait RUU itu, mudah-mudahan bisa lebih efektif dan efisien lagi ketika membahas RUU Narkotika yang baru tersebut.
”Sebaiknya sudah langsung diakomodasi saja. Kami tidak membahas draf yang awal karena sudah ada kajian, masukan, dari fraksi-fraksi juga terkait RUU itu, mudah-mudahan bisa lebih efektif dan efisien lagi ketika membahas RUU Narkotika yang baru tersebut,” ujar Taufik Basari.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, juga sepakat soal mengedepankan pendekatan merehabilitasi pengguna dibandingkan langsung memidananya. Sebab, ia melihat,mayoritas dari penghuni lapas merupakan pengguna, penyalah guna, atau pencandu narkoba.
Untuk itu, jika hal ini dapat dicari jalan keluarnya, persoalan kelebihan penghuni lapas yang sudah menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari tahun ke tahun dapat segera teratasi. ”Orang sakit diobati, bukan dipenjara. Dia bukan penjahat. Mengapa menghukum orang yang sakit? Sekarang ini perlu kita pikirkan, apakah tidak lebih baik kita ubah kebijakan ini agar tidak menjadi sia-sia anggaran kita,” ucap Hinca.
Baca Juga: Revisi UU Narkotika Buka Peluang Atasi Kelebihan Kapasitas Lapas
Secara terpisah, Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika pun mendesak agar pemerintah dan DPR segera memikirkan ulang kebijakan narkotika. Jika tidak ada kebijakan yang tepat, dikhawatirkan cita-cita dunia tanpa narkotika tidak mungkin terjadi.
Kebijakan narkotika harus dengan dekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika untuk kepentingan pribadi. Pengguna harus menjadi domain kesehatan, bukanlah aparat. Namun, dekriminalisasi ini bukanlah legalisasi tanpa kontrol. Negara harus mengatur dan mengambil alih.
Pemerintah dan parlemen harus segera pula merevisi hukum acara yang memuat pengaturan penanganan perkara narkotika dalam hukum acara pidana, termasuk soal kewenangan teknik investigasi khusus perkara narkotika.