Dorong Pemajuan HAM, Komnas HAM Desak Pembangunan Nasional Berperspektif HAM
Pemerintah tak menerima seluruh rekomendasi bagi pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia, salah satunya penghapusan hukuman mati. Namun, komitmen pembangunan negara tetap perlu didorong agar berperspektif HAM.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta pemerintah berkomitmen dalam pembangunan negara dengan berperspektif hak asasi manusia. Pemerintah juga didorong berkomitmen terhadap rekomendasi bagi pemajuan dan perlindungan HAM yang telah diterima saat pengesahan laporan adopsi atas rekomendasi Universal Periodic Review Indonesia siklus ke-4. Pengesahan sebelumnya digelar di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa Swiss, Senin (27/3/2023) lalu.
noted
supported
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memantau dan mendorong pemerintah melaksanakan komitmen terhadap 205 rekomendasi yang telah diterima. Selain itu, pembangunan dan hukum nasional perlu dilakukan dengan perspektif HAM.
”Kami mendorong beberapa hal ke pemerintah, seperti lebih memperhatikan pemajuan dan perlindungan hak perempuan, anak, penyandang disabilitas, pekerja migran, dan pekerja rumah tangga. Pemerintah perlu memperhatikan perlindungan kekerasan dan diskriminasi berbasis jender, akses terhadap kesehatan dan hak reproduksi seksual, pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan politik,” kata Atnike dalam keterangan tertulis, Jumat (31/3/2023).
Kemudian, soal lingkungan, Komnas HAM mendesak pemerintah segera berkomitmen mengambil langkah yang tepat dalam mengurangi dampak pertambangan terhadap lingkungan, khususnya pencemaran sumber daya tanah dan air. Selain itu, melanjutkan upaya mengatasi hambatan akses tanah oleh masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal.
”Kami mendorong beberapa hal ke pemerintah, seperti lebih memperhatikan pemajuan dan perlindungan hak perempuan, anak, penyandang disabilitas, pekerja migran, dan pekerja rumah tangga. Pemerintah perlu memperhatikan perlindungan kekerasan dan diskriminasi berbasis jender, akses terhadap kesehatan dan hak reproduksi seksual, pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan politik”
Adapun Komnas HAM secara khusus mendukung komitmen pemerintah agar terus menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi di Papua serta segera meminta pertanggungjawaban hukum kepada pihak yang bertanggung jawab. Pemerintah juga diminta menjunjung tinggi, menghormati, dan mempromosikan HAM di Papua, termasuk isu kebebasan berkumpul, berpendapat, berekspresi, serta hak-hak perempuan, anak, dan minoritas. Sekaligus memprioritaskan perlindungan warga sipil.
”Kami juga akan terus memantau implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan revisi KUHP dan reformasi hukum, berjalan sesuai dengan hukum dan kewajiban internasional,” tutur Atnike.
Perlindungan pembela HAM, termasuk lingkungan, aktivis, dan jurnalis juga dinilai perlu didorong. Pemerintah perlu mengadopsi kerangka hukum dan kebijakan komprehensif yang menyediakan mekanisme perlindungan pencegahan bagi pembela HAM. Lebih lanjut, kata Atnike, pemerintah perlu berkomitmen menyediakan sumber daya yang memadai bagi Kejaksaan Agung untuk menyelidiki dan menggelar persidangan secara adil, kredibel, independen, dan transparan atas pelanggaran HAM berat masa lalu.
Hukuman mati
Petugas Advokasi ASEAN SOGIE Caucus (ASC) Lini Zurlia, menilai, meskipun pemerintah telah menerima 205 rekomendasi bagi pemajuan dan perlindungan HAM, terdapat 59 rekomendasi yang ditolak secara halus. Sejumlah rekomendasi yang ditolak itu, sangat krusial bagi penegakan HAM di Indonesia, salah satunya Papua.
”Kalau dilihat, kasus-kasus itu, antara lain investigasi kasus penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan, kunjungan sekretaris jenderal HAM PBB maupun ahli independen ke Papua, moratorium hukuman mati, hingga penghapusan pasal-pasal bermasalah dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berdampak buruk bagi kebebasan pers kita”
”Kalau dilihat, kasus-kasus itu, antara lain investigasi kasus penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan, kunjungan sekretaris jenderal HAM PBB maupun ahli independen ke Papua, moratorium hukuman mati, hingga penghapusan pasal-pasal bermasalah dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berdampak buruk bagi kebebasan pers kita,” ujar Lini, saat dihubungi Jumat (31/3/2023).
”Tidak hanya melarang hukuman mati, tapi juga menghapus total itu (hukuman mati), bila negara menerima, maka mau tidak mau, suka tidak suka, negara harus patuh untuk menghapuskan hukuman mati”
Menurut Lini, rekomendasi yang ditolak tersebut membutuhkan komitmen nyata negara untuk secara langsung mengimplementasikan rekomendasi tersebut. Misalnya, mengadopsi perjanjian internasional Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (OP-ICCPR) atau Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang merupakan satu-satunya perjanjian yang melarang hukuman mati.
”Tidak hanya melarang hukuman mati, tapi juga menghapus total itu (hukuman mati), bila negara menerima, maka mau tidak mau, suka tidak suka, negara harus patuh untuk menghapuskan hukuman mati,” kata Lini.
Di sisi lain, rekomendasi tentang penghapusan hukuman mati belum sepenuhnya diterima pemerintah Indonesia, terutama kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang masih mengatur tentang hukuman mati hingga saat ini. Oleh sebab itu, Komnas HAM turut mendorong pemerintah menerapkan mekanisme peringanan hukuman bagi terpidana mati, selain mekanisme grasi.
Terlebih, KUHP baru telah menetapkan hukuman mati bukan lagi sebagai hukuman pokok, namun bersifat khusus untuk pidana tertentu dan memasukkan pengaturan masa percobaan 10 tahun penjara untuk mengubah putusan hukuman mati.