PN Jakpus Diharapkan Pertimbangkan Putusan Banding Gugatan Perdata Partai Prima
Dalam mengadili gugatan partai Berkarya, PN Jakarta Pusat diharapkan mempertimbangkan putusan banding gugatan perdata Partai Prima terhadap KPU. Sebelumnya, PT DKI menolak putusan PN Jakpus yang adili gugatan Prima.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam kasus gugatan Partai Berkarya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diharapkan mempertimbangkan putusan banding gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum. Dalam putusan banding itu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta secara tegas menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara sengketa administrasi pemilu.
Pada Senin (17/4/2023), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sedianya menggelar sidang perdana gugatan perdata Partai Berkarya terhadap KPU RI. Namun, sidang perdana itu ditunda karena dokumen kedudukan hukum (legal standing) penggugat dan tergugat belum lengkap.
”(Sidang ditunda ke) Kamis (4/5/2023) pukul 10.00 untuk kelengkapan legal standing penggugat dan tergugat,” ujar Hakim Ketua Bambang Sucipto di PN Jakpus, Senin.
Sebagai Ketua Majelis Hakim, Bambang didampingi oleh dua hakim anggota, yaitu Dulhusin dan Bernadette Samosir.
Dokumen kedudukan hukum yang dianggap tidak lengkap itu dari pihak penggugat Partai Berkarya adalah salinan fisik akta pendirian partai politik dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sementara itu, dari pihak KPU RI juga belum membawa salinan Keputusan Presiden RI terkait pengangkatan tujuh komisioner periode 2022-2027.
”(Sidang ditunda ke) Kamis (4/5/2023) jam 10.00 untuk kelengkapan legal standing penggugat dan tergugat”
Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat Partai Berkarya mendaftarkan gugatan ke PN Jakpus yang diregistrasi dengan Nomor 219/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst. Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Fauzan Rachmansyah mengungkapkan, pihaknya melayangkan gugatan tersebut untuk mencari keadilan. Dia menilai, KPU telah melakukan kezaliman atau perbuatan melawan hukum dalam melaksanakan proses tahapan pendaftaran dan verifikasi pemilu terhadap sejumlah partai, termasuk Berkarya.
Sebagai partai peserta Pemilu 2019, menurut Fauzan, Berkarya memiliki kepengurusan di daerah-daerah. Pihaknya mengklaim memiliki jumlah anggota 263.779 orang, melebihi target minimal 214.000 orang. Keanggotaan itu tersebar merata sesuai target masing-masing kabupaten/kota. Partai Berkarya juga mengklaim memiliki kepengurusan di seluruh provinsi. Kepengurusan di tingkat kecamatan 80 persen. Berdasarkan kondisi itu, Fauzan menilai persyaratan kepengurusan di daerah seharusnya telah sesuai dengan ketentuan.
”Di dalam sipol pada saat proses pendaftaran kami sudah 100 persen. (Kepengurusan DPW sudah 100 persen), kesekretariatan 100 persen. Ini yang sampai sekarang menjadi pertanyaan mengapa kami digagalkan dalam proses pendaftaran ini juga sungguh aneh bagi kami karena untuk menghadapi verifikasi administrasi, faktual itu kami sudah sangat siap.”
”Di dalam sipol pada saat proses pendaftaran kami sudah 100 persen. (Kepengurusan DPW sudah 100 persen), kesekretariatan 100 persen. Ini yang sampai sekarang menjadi pertanyaan mengapa kami digagalkan dalam proses pendaftaran ini juga sungguh aneh bagi kami karena untuk menghadapi verifikasi administrasi, faktual itu kami sudah sangat siap,” terang Fauzan seusai persidangan.
Tak mampu penuhi syarat
Namun, klaim sepihak partai yang dinakhodai oleh mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono itu dibantah oleh Komisioner pisi Teknis KPU Idham Holik. Idham mengatakan, berdasarkan catatan KPU hingga batas waktu akhir pemenuhan kelengkapan dokumen administrasi, Berkarya tidak mampu melengkapi syarat dokumen yang harus diunggah di Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).
Idham menjelaskan dalam proses penerimaan dokumen persyaratan pendaftaran parpol calon peserta pemilu pada tanggal 1-14 Agustus 2022, KPU pernah meminta kepada partai politik yang terdaftar di Kemenkumham agar mengunggah seluruh dokumen ke dalam aplikasi Sipol. Pada hari terakhir, yaitu 14 Agustus 2022 pukul 23.59, KPU juga telah memberikan kesempatan kepada parpol yang belum sempat mengunggah dokumen untuk membawa dokumen fisik ke KPU. Di situ, KPU akan mengecek ulang apakah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau tidak.
”Sampai batas waktu akhir pendaftaran itu. Berkarya tidak mampu memenuhi syarat kelengkapan dokumen. Dan semua proses itu diawasi oleh Bawaslu," kata Idham.
Bawaslu RI juga pernah tidak menerima laporan dugaan pelanggaran administrasi pemilu yang dilayangkan oleh Partai Berkarya. Bawaslu saat itu berpandangan obyek pelanggaran yang dilaporkan Berkarya tidak jelas. Laporan dari Partai Berkarya dinilai Bawaslu tidak menyebutkan secara jelas perbuatan pelanggaran administrasi pemilu yang dilakukan oleh KPU. Bawaslu menyimpulkan laporan tersebut tak memenuhi syarat materiil, (Kompas.com, 25 Agustus 2022).
Pertimbangkan putusan banding
Idham menambahkan, sebagai penyelenggara pemilu, KPU harus menghormati hak hukum dari parpol calon peserta pemilu. Setali tiga uang, KPU pun juga harus menghormati lembaga pengadilan. Namun, menurut dia, putusan banding gugatan perdata Partai Prima kemarin, harus dipertimbangkan. Putusan itu menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan dan kompetensi untuk mengadili perkara administrasi pemilu. Hal itu seharusnya bisa jadi yurisprudensi hukum.
Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini berpandangan, pengadilan negeri seharusnya tidak lagi memproses gugatan yang berkait dengan sengketa proses pemilu pasca-putusan banding Partai Prima dibacakan kemarin. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu meneguhkan keberadaan skema penegakan hukum pemilu yang diaur di UU Pemilu.
Putusan itu semestinya bisa menjadi refleksi bagi hakim dan peradilan umum dalam menangani perkara-perkara pemilu yang datang pada mereka. Dengan pertimbangan supaya ada ketertiban hukum dan pemahaman yang lebih koheren, MA sebaiknya juga menindaklanjuti putusan banding itu dengan menerbitkan Surat Edaran tentang urgensi lingkungan peradilan untuk memedomani sistem penegakan hukum pemilu yang ada di rezim UU Pemilu. Surat edaran itu harus bisa membuat peradilan umum patuh pada pembatasan kewenangan absolut yang dimiliki oleh setiap institusi peradilan.
”Kalau pengadilan negeri terus memproses gugatan yang berkaitan dengan sengketa proses pemilu, apalagi sampai putusannya memengaruhi pelaksanaan tahapan pemilu, hal itu bisa mengganggu dan merusak skema keadilan pemilu serta bisa berdampak pada ketidakpastian pemilu."
”Kalau pengadilan negeri terus memproses gugatan yang berkaitan dengan sengketa proses pemilu, apalagi sampai putusannya memengaruhi pelaksanaan tahapan pemilu, hal itu bisa mengganggu dan merusak skema keadilan pemilu serta bisa berdampak pada ketidakpastian pemilu,” tegasnya.
Padahal, imbuhnya, kepastian hukum dan pelaksanaan prosedur pemilu yang tertib adalah prasyarat bagi penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Di satu sisi, keadilan pemilu memang harus diberikan kepada pihak yang merasa hak konstitusionalnya tercederai. Namun, hal itu tetap harus berada dalam rel desain penegakan hukum yang tersedia di UU Pemilu.
”Kalau institusi peradilan di luar skema keadilan pemilu tidak mampu menahan diri, itu akan membuat kekacauan hukum pemilu yang justru berdampak pada tidak terwujudnya keadilan pemilu itu sendiri,” katanya.
Titi menegaskan, Mahkamah Agung memang tidak boleh menolak perkara yang diajukan ke pengadilan. Namun, hal itu tidak bisa dilihat dengan kaca mata kuda dengan melanggar kompetensi absolut atau yurisdiksi kewenangan pengadilan. Para hakim harus memahami nilai-nilai dasar konstitusionalisme berdemokrasi. Sehingga, perkara pemilu bisa ditangani sesuai dengan desain penegakan hukum atau keadilan pemilu yang ada dalam kerangka hukum pemilu demokratis dan konstitusional.
”Hakim sudah semestinya paham batasan aktivisme yudisial yang mereka bisa lakukan,” ujarnya. (DEA)