Mendefinisikan Ujaran Kebencian
Di negara yang majemuk seperti Indonesia, tak mudah definisikan ujaran kebencian. Mengingat rawan terjadi di tahun politik dan bisa memicu polarisasi, ujaran kebencian perlu diantisipasi menjelang Pemilu 2024 ini.
Hingga saat ini, belum ada definisi yang jelas tentang ujaran kebencian di peraturan perundang-undangan Indonesia. Padahal, ujaran kebencian sifatnya sangat subyektif. Sesuatu yang diucapkan di daerah tertentu bisa jadi efeknya biasa saja. Namun, ketika diucapkan di daerah lain maknanya bisa sangat peyoratif atau bahkan menyinggung perasaan kelompok masyarakat.
Itulah kesimpulan yang diperoleh selama dua hari pelatihan mengenai ujaran kebencian, disinformasi, dan hasutan perbuatan kekerasan yang diadakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bekerja sama dengan Asia Pacific Partnership for Atrocity Prevention (APPAP) di Bandung, Jawa Barat, awal Maret 2023 lalu.
Para peserta pelatihan merasa kesulitan mendefinisikan secara tegas tentang ujaran kebencian. Dalam terminologi “Strategi dan Rencana Aksi Menangkal Ujaran Kebencian” didefinisikan ujaran kebencian adalah segala jenis komunikasi dalam ucapan, tulisan, atau perilaku yang menyerang atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif yang mengacu pada seseorang atau kelompok berdasarkan siapa mereka. Dengan kata lain, berdasarkan identitas agama, suku, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin, atau faktor identitas lainnya.
Adapun di pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa ujaran kebencian adalah setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Di dalam pelatihan yang diikuti oleh unsur pemerintah, staf ahli DPR, masyarakat sipil, dan media itu juga muncul kesimpulan bahwa seharusnya tidak semua ujaran kebencian layak diproses hukum. Hanya ujaran kebencian yang bereskalasi menjadi kekerasan massal atau konflik lah yang perlu diproses hukum. Sebab, beberapa bentuk ekspresi ujaran kebencian mungkin tidak memiliki niat jahat (mens rea).
Baca juga: Ujaran Kebencian dan Politik Identitas di Tahun Politik Perlu Diwaspadai
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Alif Satria memberikan contoh salah satu kasus ujaran kebencian yang memicu kekerasan massa adalah pengusiran penganut Syiah di Madura, Jawa Timur, yang terjadi sejak 2006. Konflik itu dimulai dari asimetri informasi di mana penganut Syiah dianggap berperilaku ekstrem oleh komunitas Islam Sunni. Ini diperparah dengan maraknya kampanye bahwa Syiah adalah aliran Islam yang sesat oleh kelompok tertentu.
Studi kasus
Stigmatisasi Syiah sebagai aliran sesat, menurut Alif, telah terjadi pada 1983 dan 1984. Kala itu, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia menerbitkan surat edaran dan imbauan kepada seluruh umat Islam untuk berhati-hati terhadap keberadaan dan perkembangan Syiah.
Salah satu kasus ujaran kebencian yang memicu kekerasan massa adalah pengusiran penganut Syiah di Madura, Jawa Timur, yang terjadi sejak 2006.
Kendati ada edaran demikian, hingga sebelum Reformasi, komunitas Syiah masih bisa hidup tenang, termasuk komunitas Syiah di Madura. Mereka hidup berdampingan bersama masyarakat setempat dengan damai. Ketegangan baru muncul menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur 2008 dan meruncing menjelang Pilkada 2012. Salah satu calon kepala daerah saat itu menyuarakan kampanye ujaran kebencian terhadap komunitas Syiah untuk merebut suara ulama.
Ketegangan itu menyebabkan komunitas Syiah di Sampang, Madura, diusir dari kampung halamannya sehingga mereka diungsikan di rumah susun di Sidoarjo, Jatim. Hingga kini, mereka belum bisa kembali ke kampung halamannya yang berada 100 kilometer dari Sidoarjo.
Alif melihat, karena konflik tersebut tidak diselesaikan secara tuntas, ada potensi bisa menjadi pemicu lagi apabila pelatuknya ditarik kembali. Pelatuk yang dapat menjadi trigger ujaran kebencian menjadi konflik adalah politisasi.
Baca juga: Membendung Ujaran Kebencian agar Tak Menjadi Kekerasan
Alif Satria melihat potensi itu juga terlihat nyata karena ada perhelatan akbar Pemilu Serentak 2024. Dia khawatir momentum itu bisa menjadi ajang politisasi ujaran kebencian di daerah-daerah. Sebab, di tahun yang sama juga akan ada Pilkada Serentak 2024 di 548 daerah.
“Politik identitas itu paling mudah digunakan untuk memobilisasi orang untuk melakukan kekerasan. Dan, pilkada serentak menjadi masa-masa rentan karena data menunjukkan bahwa konflik kerap terjadi pada masa tersebut,” jelas Alif.
Strategi pencegahan
Oleh sebab itu, menurutnya, negara harus melakukan upaya intervensi agar ujaran kebencian tidak dinormalisasi oleh masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan membuat alat untuk memonitor peningkatan ujaran kebencian.
Aparat kepolisian di level wilayah yaitu Bhabinkamtibmas maupun Babinsa bisa didengarkan informasi awalnya. Ketika sudah ada potensi, dibutuhkan itikad baik dan niat politik dari pemerintah untuk mencegah atau memadamkan ujaran kebencian agar tidak menjadi kekerasan massal atau konflik.
Sementara itu, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho berpandangan, selama pelatihan, ditemukan bahwa ujaran kebencian secara spesifik menyasar kelompok yang secara sistem termarginalisasi. Namun, situasi itu menjadi sulit didefinisikan di negara majemuk seperti Indonesia. Agama tertentu bisa menjadi mayoritas di sebuah provinsi, kemudian menjadi minoritas di provinsi lain. Selain itu, konten atau ekspresi yang berbau Suku, Agama, Ras, dan Antarkelompok (SARA) juga rawan menjadi bentuk ekspresi ujaran kebencian.
“Kami harapkan keserampangan definisi ini tidak terjadi terus pada upaya penegakan hukum di Indonesia. Semua pihak harus sama-sama belajar sehingga tidak serta-merta dan serampangan melabeli sebuah konten dengan ujaran kebencian karena berkonsekuensi melanggar hak asasi orang lain,” jelasnya.
Baca juga: Waspadai Politik Identitas Lewat Manipulasi Opini Jelang Pemilu 2024
Karena saat ini, DPR sedang membahas revisi UU ITE, Septiaji juga berharap produk legislasi itu bisa lebih tegas dan jelas dalam mendefinisikan ujaran kebencian. Sebab, saat ini definisi yang ada di UU ITE belum terlalu jelas dan tegas.
Mantan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyarankan untuk mempertegas definisi ujaran kebencian, akan lebih baik jika ada petunjuk teknis yang dibuat oleh kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Petunjuk teknis ini bisa menjadi semacam protokol untuk menangani kasus-kasus ujaran kebencian agar tidak menjadi pasal karet yang mengkriminalisasi masyarakat. Ini dinilai bisa menjadi solusi di saat UU ITE belum secara jelas mendefinisikan ujaran kebencian sebagai pelanggaran hukum.
“Aturan soal ujaran kebencian idealnya juga tidak boleh membatasi kebebasan berekspresi. Kami harapkan aparat penegak hukum lebih mengutamakan pendekatan restorative justice dalam perkara ini. Jangan langsung serta merta memidanakan,” kata Beka.
Mantan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyarankan untuk mempertegas definisi ujaran kebencian, akan lebih baik jika ada petunjuk teknis yang dibuat oleh kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
Septiaji sepakat bahwa hal itu perlu diterapkan terutama di tahun politik jelang Pemilu 2024. Dia khawatir seiring dengan suhu politik yang memanas, ujaran kebencian akan meningkat, hoaks juga akan meningkat.
Septiaji mengatakan, Mafindo sendiri saat ini juga gencar melakukan intervensi di level masyarakat melalui program vaksinasi hoaks. Program yang dibuat adalah semacam debunking atau menyanggah informasi hoaks yang tersebar di masyarakat. Dengan program itu diharapkan masyarakat bisa lebih kebal dan tahan terhadap serangan hoaks yang diprediksi marak jelang pemilu.
“Kami mendampingi kelompok masyarakat seperti misalnya lansia untuk mengenali apa itu konten hoaks. Supaya mereka lebih kebal dan bertahan, sehingga terhindar dari manipulasi hoaks,” katanya.
Baca juga: Menjaga Indonesia dari Politik Identitas
Septiaji berharap intervensi dari pemerintah itu dilakukan dengan serius karena seperti yang terjadi di Brasil awal tahun 2023 ini, rangkaian kampanye, pemilu, hingga aksi penolakan berujung pada kerusuhan. Para pendukung mantan Presiden Jair Bolsonaro melakukan aksi kerusuhan di Praca dos Tres Poderes, Brasil pada 8 Januari 2023 lalu. Kesuruhan yang terjadi di alun-alun kota itu berada di dekat tiga gedung kekuasaan negara yaitu Three Powers Plaza, yang meliputi gedung Kongres Mahkamah Agung, dan Istana Kepresidenan.
Sebelum puncak kerusuhan itu terjadi, dalam 10 minggu sebelumnya para pendukung mantan Presiden Jair Bolsonaro juga melakukan demonstrasi protes dengan berkemah di luar markas Angkatan Darat Brasil. Mereka menuntut agar hasil pemilu presiden yang memenangkan Luiz Inacio Lula da Silva dibatalkan, (Kompas.id, 13 Januari 2023).
Situasi tersebut sudah semestinya menjadi pelajaran berharga bagi negara manapun yang akan menyelenggarakan sistem elektoral. Tak terkecuali Indonesia. Semua pihak berharap pesta demokrasi tidak terciderai dengan politisasi identitas melalui media sosial yang justru memicu polarisasi bahkan konflik di masyarakat.