Evakuasi 20 WNI Korban Perdagangan Orang di Myanmar Terhambat
Mereka berada di daerah konflik bersenjata antara militer Myanmar dengan pemberontak Karen. Meski demikian, evakuasi terus diupayakan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Reserse Kriminal Polri mengusut kasus perdagangan orang terhadap 20 warga negara Indonesia di Myanmar. Hingga kini, para korban itu masih berada di Myanmar. Upaya evakuasi oleh otoritas setempat terhambat karena korban berada di wilayah konflik.
Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ini dilaporkan pihak keluarga ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Pelaporan kasus didampingi Diplomat Muda Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Rina Komaria dan Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno.
“Terkait kasus ini, sudah ada laporan polisi dan Bareskrim sejak berita viral, (kami) sudah melakukan penyelidikan dan kemarin pihak keluarga korban membuat laporan polisi,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan secara tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Penyidik Bareskrim telah meminta keterangan dari orangtua korban. Menurut mereka, korban diberangkatkan oleh sponsor dengan negara tujuan Thailand, tetapi korban dipindahkan ke Myanmar. Korban saat ini masih berada di Myanmar. Setelah berita korban viral, komunikasi terputus.
Oleh karena itu, kepolisian akan melanjutkan proses hukum terhadap perekrut, sponsor, serta pihak yang memberangkatkan para korban. Gelar perkara akan dilaksanakan segera, sehingga kasus bisa ditingkatkan ranah penyidikan sekaligus menetapkan tersangka.
Menurut Ramadhan, pihak Kemenlu telah meneruskan pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangon, Myanmar. Setelah itu, nota diplomatik dikirimkan pada Kemenlu Myanmar. “KBRI juga sudah berkoordinasi dengan aparat setempat dan KBRI Yangon telah berkomunikasi dengan para korban,” ujar Ramadhan.
Persoalannya, seluruh korban berada di Myawaddy, daerah konflik bersenjata antara militer Myanmar dengan pemberontak Karen. Hal itu menghambat otoritas Myanmar untuk mengevakuasi para korban.
Meski demikian, Ramadhan mengatakan, Kemlu telah berkoordinasi dengan berbagai pihak agar dapat menyelamatkan para WNI. Beberapa diantaranya berkoordinasi dengan Kantor Pendukung Regional (RSO) Bali Process di Bangkok, Badan Internasional untuk Migrasi (IOM), dan Badan Misi Keadilan Internasional (IJM).
Mengutip laman SBMI, perekrut mengiming-imingi para korban bekerja sebagai operator komputer di salah satu perusahaan bursa saham di Thailand. Gaji berkisar Rp 8-10 juta per bulan. Seluruh akomodasi ditanggung dengan ketentuan pinjaman, sehingga korban akan menggantinya dengan potong gaji. Mereka diberangkatkan ke Myanmar melalui Bangkok, Thailand dengan kapal.
Sesampainya di sana, korban disekap, bekerja secara paksa untuk melakukan penipuan daring (online scam) selama 17 jam per hari. Mereka disiksa psikis dan fisik, bahkan pemukulan serta penyetruman.
Makin marak
Ketua Aliansi Migran Internasional Eni Lestari mengatakan, kasus perdagangan orang makin marak, terutama setelah pandemi Covid-19 terjadi. Penyebabnya, banyak negara kini menutup pasarnya untuk pekerja migran, jika pun ada, jumlahnya terbatas, karena kondisi ekonomi yang terguncang akibat pandemi. Di tengah situasi ini, ada yang melakukan penipuan massal.
Penipuan ini tak hanya menyasar kalangan masyarakat yang berpendidikan rendah, tetapi juga kelompok terpelajar setingkat sekolah menengah atas (SMA) hingga pendidikan Master (S2). Sebagai contoh, ada yang dijanjikan bekerja hingga iming-iming sponsor pendidikan, tetapi saat di negara tujuan, mereka justru dipekerjakan sebagai koki, awak kapal (pelayaran), dan perkebunan. Negaranya pun beragam, seperti Kanada, Selandia Baru, dan Belanda.
“Jadi, human trafficking(perdagangan manusia)sudah mengarah ke semua lini, bukan hanya mereka berpendidikan rendah, tapi juga berpendidikan tinggi, bahkan profesional itu sendiri. Itu menjadi tren baru yang sekarang sebenarnya menjera Indonesia,” tutur Eni.
Ia mengimbau masyarakat agar tak membabi buta menerima tawaran atau mencari pekerjaan di negeri orang. Masyarakat dituntut untuk lebih kritis di tengah meningkatnya penipuan skala global dengan berbagai modus, termasuk asmara.
Masyarakat harus mengecek kebenaran informasi ke organisasi migran atau pihak pemerintah, baik di negara asal maupun tujuan. Hal ini dapat dilakukan secara daring.
Selain itu, kelompok dan tokoh masyarakat dapat berperan menjadi fasilitator untuk berbagi informasi kebenaran lapangan kerja. Mereka juga bisa membantu cek prosedur keberangkatan ke luar negeri guna mencegah terjadinya perdagangan manusia. Sebab, kejahatan itu telah menjadi sindikat global.