Menakar Sikap Presiden yang Dianggap Ikut ”Cawe-cawe” Soal Capres
Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa sebagai pejabat publik sekaligus pejabat politik wajar jika ia mengundang ataupun diundang ketua umum parpol lain. Sebagian kalangan melihat sikap itu wajar, tetapi juga tak etis.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan enam ketua umum partai politik di Istana Merdeka, Jakarta, memperoleh sorotan. Pertemuan tersebut dipandang sebagai bentuk intervensi Presiden terhadap dukungan untuk bakal calon presiden dan calon wakil presiden. Sorotan menguat ketika Partai Nasdem, salah satu partai koalisi pemerintah yang kini mendukung Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden, tak diundang di pertemuan itu.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menegaskan apa yang dilakukan Presiden Jokowi adalah proses dialog yang tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Dengan kondisi masyarakat yang cenderung feodal, menurut Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, preferensi Presiden Jokowi akan diikuti masyarakat di bawah, termasuk aparat negara di bawah Presiden.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati berpandangan, presiden memiliki calon yang didukung dalam pilpres merupakan hal yang wajar. Namun, itu tidak elok jika itu dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas negara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Keenam ketua umum parpol dimaksud adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhamad Mardiono.
Presiden Jokowi angkat bicara. Menurut dia, pertemuan itu wajar dilakukan olehnya karena ia adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik. Presiden pun menampik tudingan bahwa dirinya melakukan intervensi terhadap kewenangan parpol dalam menentukan bakal capres-cawapres yang akan diusung di Pemilihan Presiden 2024.
”Saya bukan cawe-cawe. Urusan capres-cawapres itu urusannya partai atau gabungan partai. Sudah bolak-balik saya sampaikan, kan. Namun, kalau mereka mengundang saya, saya mengundang mereka, boleh-boleh saja. Apa konstitusi yang dilanggar dari situ? Enggak ada. Tolonglah mengerti bahwa kita ini juga politisi, tetapi juga pejabat publik,” terang Presiden ketika ditanya wartawan, Kamis (4/5/2023).
Dalam kesempatan itu, Presiden mengatakan, Partai Nasdem tidak dundang karena sudah memiliki koalisi sendiri untuk dukungan terhadap bakal capres. Presiden juga menjelaskan bahwa pertemuannya dengan ketua umum enam parpol tersebut bermaksud untuk membangun kerja sama politik yang lain.
Dalam mendukung Anies sebagai bakal capres, Nasdem berkoalisi dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Kendati demikian, Nasdem bukan satu-satunya parpol di koalisi pemerintah yang telah membentuk koalisi untuk menghadapi Pemilu 2024. Partai Gerindra dan PKB, contohnya, keduanya tergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Untuk bakal capres, Partai Gerindra telah menegaskan mendukung Prabowo Subianto.
Sementara itu, Partai Golkar bersama PPP dan PAN sudah sejak 2022 tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Untuk bakal capres, Golkar mendukung Airlangga Hartarto. Adapun PPP menyatakan mendukung Ganjar Pranowo, bakal capres dari PDI-P.
Menurut Hasto, yang dilakukan Presiden Jokowi adalah proses dialog yang tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut, tidak diundangnya Partai Nasdem dalam pertemuan di Istana Merdeka itu memperlihatkan bahwa pertemuan tersebut membicarakan politik. Jika membicarakan pembangunan mestinya Partai Nasdem turut diundang sebagai partai koalisi pendukung pemerintah.
”Menurut saya, Presiden itu seharusnya seperti Bu Mega (Megawati Soekarnoputri), dulu SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Begitu akan berakhir, maka (mereka) tidak terlalu jauh melibatkan diri atau tidak suka dalam perpolitikan supaya lebih demokratis,” kata Kalla setelah bertemu Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, di Jakarta, Sabtu (6/5/2023).
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto membantah jika Presiden Joko Widodo disebut telah cawe-cawe proses pemilihan calon presiden. Menurut Hasto, yang dilakukan Presiden Jokowi adalah proses dialog yang tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Sebab, kata Hasto, yang disampaikan Presiden dalam pertemuannya dengan keenam ketua umum parpol adalah mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa ini, seperti dari aspek demografi, hegemoni, serta pencapaian yang telah diraih. ”Sehingga ini menciptakan gambaran bagi ketua umum partai politik terhadap apa tantangan yang dihadapi bangsa ini ke depan dan apa yang sudah dilakukan Presiden Jokowi bisa berkesinambungan ke depan,” kata Hasto saat jumpa pers di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senin (8/5/2023).
Secara terpisah, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera berpandangan, pertemuan Presiden dengan para ketua umum parpol perlu dibedakan antara dia sebagai kepala negara dan pemerintahan, termasuk sebagai pribadi. Sebab, belum lama ini, Presiden juga bertemu dengan beberapa ketua umum parpol di kantor DPP PAN dan hal itu tidak menuai polemik seperti saat ini.
Menurut dia, pertemuan di Istana Merdeka dinilai tidak pas ketika Presiden Jokowi menyatakan alasan tidak diundangnya Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh adalah karena Partai Nasdem dianggap sudah memiliki koalisinya sendiri, yakni Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Koalisi yang terdiri dari Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat itu mengusung Anies Baswedan menjadi bakal capres pada Pilpres 2024.
”Jadi preferensi (koalisi) Presiden dinyatakan secara gamblang dan ini bukan etika yang baik. Kita ingin ada kontestasi yang fair berupa adu gagasan, bukan soal antara kamu dan kami. Ini kontestasi bagi semua anak bangsa,” tutur Mardani, Selasa (9/5/2023).
Dengan kondisi masyarakat yang cenderung feodal, kata Mardani, preferensi Presiden Jokowi akan diikuti masyarakat di bawah, termasuk aparat negara di bawah Presiden. Padahal, jika Presiden ingin agar programnya dilanjutkan presiden berikutnya, hal itu bisa disampaikan kepada presiden terpilih setelah Pilpres 2024. Hal itu, menurut Mardani, berbeda dengan demokrasi di negara barat yang menganut demokrasi, seperti Amerika Serikat.
Di negara yang menjadi kiblat demokrasi, Amerika Serikat, praktik seorang presiden saat mendukung seorang bakal calon presiden memang dilakukan secara terbuka. Barack Obama yang saat itu masih menjabat sebagai Presiden AS secara terbuka menyatakan dukungannya kepada Hillary Clinton.
Dalam sebuah kampanye di Chapel Hill, North Carolina, pada 2016, Obama mengungkapkan alasan dukungannya kepada Clinton adalah untuk meneruskan apa yang telah dia lakukan selama delapan tahun kepemimpinannya. Namun, dukungan bagi mantan menteri luar negeri yang juga pernah menjadi rival Obama dalam perebutan tiket menjadi kandidat presiden dari Partai Demokrat tidak membuat Clinton menang.
Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Presiden AS dari Partai Republik George W Bush Jr kepada kandidat capres dari partai yang sama, John Mccain, menjelang pemilihan presiden AS tahun 2008. Meski demikian, Mccain kalah atas kandidat presiden dari Partai Demokrat, Obama.
Ketika Presiden Jokowi sudah menunjukkan kecondongan terhadap kandidat capres tertentu, menurut Arya, maka hal itu bisa memengaruhi proses pemilu yang adil.
Menurut Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes, sistem demokrasi di AS dengan Indonesia memiliki beberapa titik perbedaan sehingga tidak bisa langsung dibandingkan. Indonesia baru memiliki dua presiden yang memerintah selama dua periode kepemimpinan dengan sistem banyak partai, sementara AS dengan sistem kepartaian yang berbeda dengan tradisi dan budaya politik yang berbeda.
Ketika Presiden Jokowi sudah menunjukkan kecondongan terhadap kandidat capres tertentu, menurut Arya, maka hal itu bisa memengaruhi proses pemilu yang adil. Sebab, Presiden masih memiliki kuasa di segala aspek, termasuk memegang kendali terhadap aparat negara di bawahnya.
Di sisi lain, langkah Presiden tersebut dapat ditiru para kepala daerah yang sudah menjalani dua periode untuk melakukan hal serupa, yakni mendukung secara terbuka terhadap pasangan tertentu pada Pilkada Serentak 2024. Hal itu menimbulkan risiko yang lebih rumit karena pengawasan di daerah lebih lemah dibandingkan di pusat.
”Saya kira mestinya Presiden lebih arif dalam melakukan aktivitas politik, mana yang masih dalam koridor sepatutnya dan mana yang melewati batas. Ini soal pilihan etis sebagai Presiden,” ujar Arya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati berpandangan, presiden memiliki calon yang didukung dalam pilpres merupakan hal yang wajar. Sebab Presiden memiliki kepentingan untuk memastikan program-program yang dijalankannya bisa dilanjutkan oleh presiden berikutnya.
Namun, menurut Khoirunnisa, ketika hal itu dilakukan saat presiden sedang menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dengan memanfaatkan fasilitas negara, maka tindakan tersebut dinilai tidak elok. ”Kalau menurut saya, Presiden harus bisa berdiri di atas semua kepentingan,” kata Khoirunnisa.
Khoirunnisa pun mengingatkan bahwa Pasal 281 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur secara jelas bahwa ketika presiden turut berkampanye untuk mendukung pasangan calon tertentu, maka presiden harus cuti. Oleh karena itu, tindakan Presiden itu tidak hanya menyangkut soal etika, tetapi juga bisa bertabrakan dengan undang-undang.
Terhadap langkah Presiden, sorotan dan kritik sudah dilayangkan. Itulah satu episode di tahun politik jelang Pemilu 2024. Mengingat tahapan Pemilu 2024 masih berlanjut dan pendaftaran capres-cawapres di Komisi Pemilihan Umum baru akan berlangsung jelang akhir 2023, maka siapkah Anda dengan episode selanjutnya?