Dua Perusahaan BUMN Dibelit Proyek Fiktif, Nilainya Mencapai Rp 200 Miliar
Diduga untuk memperkaya diri, sejumlah petinggi di BUMN membuat dokumen proyek fiktif. Hal itu ditemukan di PT Ghara Telkom Sigma dan PT Amarta Karya. Bahkan, di PT Amarta Karya diduga ada 60 proyek fiktif.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah badan usaha milik negara tengah dibelit kasus proyek fiktif. Para pihak yang terlibat dalam kasus ini menggunakan dokumen pendukung tanpa ada proyek yang dikerjakan. Proyek fiktif itu ditemukan di PT Ghara Telkom Sigma dan PT Amarta Karya yang masing-masing tengah disidik di Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Untuk proyek fiktif di PT Ghara Telkom Sigma, penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung menetapkan enam tersangka. Proyek fiktif itu adalah pembangunan apartemen oleh PT Ghara Telkom Sigma periode 2017-2018 senilai Rp 282,4 miliar. Tiga tersangka di antaranya merupakan mantan pejabat di PT Graha Telkom Sigma, anak perusahaan PT Telkom Indonesia (Persero).
Untuk proyek fiktif di PT Ghara Telkom Sigma, penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung menetapkan enam tersangka.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, dalam keterangan tertulis, Kamis (11/5/2023), mengatakan, para tersangka langsung ditahan seusai ditetapkan sebagai tersangka. Penahanan dilakukan selama 20 hari terhitung sejak 11 Mei hingga 30 Mei.
Keenam tersangka itu adalah mantan Direktur PT Ghara Telkom Sigma Taufik Hidayat, mantan Direktur Operasi PT Graha Telkom Sigma Heri Purnomo, dan Head Of Purchasing PT Graha Telkom Sigma Tejo Suryo Laksono. Kemudian, Komisari PT Mulyo Joyo Abadi Agus Herry Purwanto, Direktur Utama PT Wisata Surya Timur Rusjdi Basamallah, dan mantan Dirut PT Sigma Cipta Caraka Judi Achmadi.
”Keenam tersangka itu telah bersama-sama secara melawan hukum membuat perjanjian kerja sama fiktif. Seolah-olah ada pembangunan apartemen, perumahan, hotel, dan penyediaan batu split dengan beberapa perusahaan pelanggan. Lalu, para tersangka membuat dokumen-dokumen pencairan fiktif untuk mendukung pencairan dana,” tutur Ketut.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Subkontraktor fiktif
Sementara itu, pada Kamis (11/5/2023), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Direktur Utama PT Amarta Karya Catur Prabowo dan Direktur Keuangan PT Amarta Karya Persero Trisna Sutisna sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan proyek di PT Amarta Karya periode 2018-2020.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers yang disiarkan secara virtual, Kamis, mengatakan, akibat perbuatan kedua tersangka itu, diduga kerugian keuangan negara mencapai Rp 46 miliar. Keduanya dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
”Tim penyidik sampai saat ini masih menelusuri penerimaan uang ataupun aliran uang ke berbagai pihak terkait lainnya,” ucap Johanes.
Proyek pembangunan apartemen di kawasan Penjaringan, Jakarta, Minggu (27/12).
Dugaan korupsi ini terjadi sejak 2017. Catur Prabowo memerintahkan Trisna dan para pejabat di PT Amarta Karya untuk mempersiapkan sejumlah uang. Uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi Catur Prabowo.
Lalu, Trisna bersama dengan beberapa staf di PT Amarta Karya mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV (persekutuan komanditer). Badan usaha itu digunakan menerima pembayaran subkontraktor atau penyedia jasa dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan alias fiktif. ”Tahun 2018 dibentuk beberapa badan usaha CV fiktif sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek itu,” kata Johanes.
KPK menduga ada sekitar 60 proyek pengadaan PT Amarta Karya secara fiktif oleh kedua tersangka tersebut.
Sementara itu, buku rekening bank, kartu ATM, dan bongol atau struk cek dari badan usaha CV fiktif dipegang oleh staf bagian akuntansi PT Amarta Karya sekaligus orang kepercayaan Catur dan Trisna untuk memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan Catur. KPK menduga ada sekitar 60 proyek pengadaan PT Amarta Karya secara fiktif oleh kedua tersangka tersebut.
Menurut Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, terus berulangnya modus proyek fiktif dalam tindak pidana korupsi salah satunya dipengaruhi oleh anggapan bahwa penegakan hukum yang diberikan akan ringan atau tidak akan keras. Padahal, modus ini melibatkan persekongkolan sejumlah pihak agar mendapatkan sejumlah uang dari sebuah dokumen pendukung tanpa ada proyek yang dikerjakan.
”Korupsi ini tak hanya menyerang integritas pribadi, korupsi juga dapat menghancurkan nama baik institusi. Marwah dan kehormatan institusi bisa hancur dengan adanya kasus korupsi,” katanya.
Zaenur berpendapat, untuk mencegah modus proyek fiktif itu diperlukan pengawasan internal dan eksternal. Salah satunya memastikan perubahan struktur manajemen yang terjerat korupsi dan membangun kultur perusahaan atau instansi yang mencegah tindakan korupsi dan suap.
”Penegak hukum juga dapat menjerat tersangka dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sebab, jika ada kerugian negara cukup besar, harus segera dilakukan pengusutan TPPU,” tutur Zaenur.