Pegawai KPK diduga memotong uang perjalanan dinas yang rugikan keuangan negara Rp 550 juta. Kasus ini terjadi pada 2021-2022. Berbagai kasus yang menerpa internal KPK dikhawatirkan memperburuk pemberantasan korupsi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
Integritas pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi kini semakin mengkhawatirkan. Setelah tercoreng oleh etika pimpinannya dan kasus dugaan pungutan liar dan asusila, kasus lain lagi terjadi. Kali ini salah satu pegawai KPK diduga memotong uang perjalanan dinas. Ketiga kasus ini masih didalami KPK dan tidak menutup kemungkinan dilimpahkan ke aparat penegak hukum lain.
Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa mengungkapkan, kasus pemotongan uang perjalanan dinas terjadi di lingkup bidang kerja administrasi. Dugaan tindak pidana korupsi ini awalnya diketahui oleh atasan dan tim kerja pegawai tersebut karena ada proses administrasi yang berlarut-larut dan pemotongan uang dinas. Selanjutnya, atasan dan tim pegawai tersebut melaporkannya ke inspektorat KPK.
”Inspektorat selanjutnya melakukan serangkaian pemeriksaan dan penghitungan dugaan kerugian keuangan negara dengan nilai awal sejumlah Rp 550 juta dalam kurun tahun 2021 dan 2022,” kata Cahya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (27/6/2023).
Atas bukti permulaan tersebut, lanjut Cahya, kasus dugaan korupsi ini dilaporkan ke Kedeputian Bidang Penindakan dan Eksekusi serta Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Pegawai KPK tersebut telah dibebastugaskan untuk memudahkan proses pemeriksaannya.
”Inspektorat selanjutnya melakukan serangkaian pemeriksaan dan penghitungan dugaan kerugian keuangan negara dengan nilai awal sejumlah Rp 550 juta dalam kurun tahun 2021 dan 2022. ”
Cahya menegaskan, pengungkapan dan penanganan kasus ini merupakan bagian dari upaya KPK untuk memastikan pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi di setiap lini dilakukan secara taat asas, prosedur, dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku serta kode etik institusi. KPK terus berinovasi melalui digitalisasi dalam proses administrasi untuk meminimalkan terjadinya kecurangan dalam pengelolaan keuangan dan administrasi di KPK.
Masih didalami
Terkait dengan dugaan pungutan liar di rumah tahanan (rutan) KPK yang mencapai Rp 4 miliar, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, KPK masih mendalami apakah kasus ini masuk dalam kategori suap, gratifikasi, atau pemerasan dalam jabatan yang juga masuk dalam tindak pidana korupsi. Dalam kasus ini, KPK telah memeriksa 15 orang dan membebastugaskan pegawai di Rutan Cabang KPK.
Selain mendalami kasus pidana, etik, dan displin, KPK juga berkirim surat ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk asistensi pengelolaan rutan. Menurut Ali, saat ini KPK terus bersih-bersih dan tidak akan pernah menoleransi perbuatan yang berhubungan dengan pelanggaran etik disiplin, apalagi pidana.
”Selain mendalami kasus pidana, etik, dan displin, KPK juga berkirim surat ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk asistensi pengelolaan rutan. ”
Adapun kasus pungutan liar di Rutan KPK ini terungkap ketika Dewas sedang memproses kasus asusila yang dilakukan Mustarsidin, anggota Staf Cabang Rutan KPK terhadap istri tahanan dalam kasus jual beli jabatan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Berdasarkan Putusan Dewas KPK yang diperoleh Kompas, korban dimintai uang Rp 72,5 juta oleh pihak rutan KPK dengan alasan untuk kelancaran tahanan di rutan.
Dewas telah menghukum Mustarsidin dengan sanksi sedang berupa permintaan maaf secara terbuka dan tidak langsung. Dewas juga telah merekomendasikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian memeriksa Mustarsidin untuk penjatuhan hukuman disiplin. Kompas sudah meminta tanggapan kepada Mustarsidin terkait kasus ini, tetapi tidak direspons.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, kasus dugaan pungutan liar dan pemotongan uang perjalanan dinas ini masih didalami apakah menjadi kewenangan KPK atau tidak. Adapun penanganan kasus asusila akan dilimpahkan ke aparat penegak hukum lain.
Jual beli jabatan
Sementara itu, dalam kasus jual beli jabatan di Pemalang, KPK kembali menahan tiga tersangka, yakni Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman M Ramdon, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Bambang Haryono, serta Kepala Dinas Lingkungan Hidup Raharjo. Sebelumnya, KPK telah menahan 10 tersangka, salah satunya Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo.
Menurut mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, krisis integritas pegawai KPK semakin mengkhawatirkan. Menurut Yudi, harus ada tindakan keras bukan hanya sanksi etik atau disiplin, melainkan pemecatan dan pemidanaan agar pegawai lain tidak meniru.
“Kalau tidak, hanya akan jadi bom waktu sebelum permasalahan krisis integritas dan krisis moral menular ke pegawai lain karena meremehkan sanksi yang didapat.”
“Kalau tidak, hanya akan jadi bom waktu sebelum permasalahan krisis integritas dan krisis moral menular ke pegawai lain karena meremehkan sanksi yang didapat,“ tegas mantan Ketua Wadah Pegawai KPK tersebut.
Ia kecewa dengan putusan Dewas KPK yang tidak berpihak kepada korban pelecehan seksual. Menurut Yudi, oknum pegawai KPK yang bertugas di Rutan KPK tersebut seharusnya dipecat dan dipidana, bukan diberikan sanksi sedang.
Yudi mengatakan, jika merasa putusan Dewas KPK tidak adil, keluarga korban bisa melaporkan kepada kepolisian agar diproses pidananya. Hal ini penting untuk efek jera bagi pegawai KPK lain agar tidak melakukan hal yang sama seperti pelaku.
Jika terus-menerus terjadi kasus sejenis itu, moralitas pegawai dan pimpinan KPK bakal merosot. Dan, akhirnya pemberantasan korupsi yang terkorbankan. KPK sebagai ujung tombak melawan korupsi bakal melempem.