Raih Gelar Doktor di Leiden, Jakob Tobing Tekankan UUD 1945 Konstitusi Hidup
Menjelang ulang tahun ke-80, Jakob Tobing meraih gelar doktor dari Universitas Leiden, Belanda. Ia menulis disertasi tentang esensi reformasi konstitusi Indonesia.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mantan Ketua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Jakob Tobing meraih gelar doktor dari Universitas Leiden, Belanda. Mengusung disertasi terkait proses amendemen UUD 1945 dari Oktober 1999 hingga Agustus 2002, Jakob menegaskan bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang hidup. Namun, Pembukaan UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dipertahankan.
”Tetapi, isinya itu harus kita terapkan dengan sebaik-baiknya dan kalau diterapkan sebaik-baiknya ternyata ada kekeliruan, ya, harus kita perbaiki. Kalau perlu, perbaikannya itu bukan hanya sekadar dalam undang-undangnya, peraturan pelaksanaannya, tapi pada inti sari undang-undang dasar itu sendiri,” tutur Jakob dihubungi sesaat seusai menerima gelar doktor pada Rabu (28/6/2023) malam.
Jakob mengingatkan bahwa reformasi UUD 1945 harus dilakukan dengan dasar pertimbangan yang sangat obyektif dengan dasar ilmu pengetahuan serta kecukupan informasi. ”Saya berharap generasi muda khususnya dan para intelektual kita tetaplah memberi perhatian kepada perkembangan kita ke depan. Tapi juga selain itu, tetaplah membangun dasar-dasar pengetahuan yang kuat supaya perhatian itu dapat membuahkan hal-hal yang positif ke depan,” lanjutnya.
Jakob, yang juga Ketua Komisi A pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2000, 2001, 2002, dan 2003 yang berhasil mereformasi UUD 1945, menulis disertasi setebal 600 halaman dengan judul ”Remaking the ’Negara Hukum’: The Essence of the 1999-2002 Constitutional Reform in Indonesia”. Saat ini, UUD 1945 disebutnya telah memuat semua prinsip demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, supremasi hukum, checks and balances, peradilan yang mandiri, hak asasi manusia, dan sirkulasi kekuasaan yang teratur dan adil.
Disertasi yang nantinya akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Buku Kompas ini diharapkan bisa memperkaya khazanah tulisan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Buku ini juga diharapkan bisa menjadi rujukan generasi muda dalam mengawal perkembangan reformasi ke depan.
”Banyak juga yang salah tangkap karena kurang informasi karena lain dasar bertolaknya. Melalui buku ini, saya juga ingin mengembangkan perbendaharaan yang bisa dijadikan rujukan,” ucap Jakob.
Dalam proses pengujian disertasi, beberapa penguji di Leiden menyebut karya Jakob itu penting dan mengesankan. Salah satu penguji mengajukan pertanyaan terkait peran ganda yang dijalani oleh Jakob sebagai peneliti sekaligus pelaku dalam proses amendemen UUD 1945. Penguji tersebut bahkan menyebutnya sebagai pahlawan reformasi sejati. Tanpa proses reformasi konstitusi, reformasi di Indonesia dianggap akan kehilangan maknanya. Agar disertasi tersebut tidak menjadi subyektif, Jakob menegaskan menulis dengan pendekatan ilmu dan literatur.
Pertanyaan lain yang diajukan oleh penguji tesis Jakob adalah terkait dukungan Presiden Megawati pada Jakob ketika banyak pihak meminta Jakob untuk tak lagi menjadi Ketua Komisi A pada Sidang Tahunan MPR. Penguji juga bertanya tentang apa yang mengubah pikiran Megawati sehingga kemudian menyatakan mendukung amendemen UUD 1945.
Rahasia
Jakob menegaskan, isi perbincangannya dengan Megawati tergolong rahasia. Namun, ia mengakui bahwa Megawati-lah yang memintanya untuk memimpin proses amendemen UUD 1945 di MPR. Kala itu, ia menegaskan, UUD 1945 perlu direformasi karena memiliki kelemahan yang harus diperbaiki.
”Saya berbincang secara pribadi dengan salah satu pimpinan PDI Perjuangan dan Megawati. Pimpinan ini melaporkan bahwa yang terjadi sudah terlalu jauh dan meninggalkan roh asli dari UUD 1945. Tapi Mega mengatakan, ’Tidak, itu tidak benar. Anda harus mengikuti Pak Tobing sebagai pemimpinnya’. Pimpinan PDI-P itu lantas bilang oke dan semua selesai,” ucap Jakob tentang peristiwa 20 tahun lalu itu.
Salah satu penguji, Dr Irene Hadiprayitno, meminta Jakob untuk menguraikan tentang sistem indigenous demokrasi yang dimiliki Indonesia dan bagaimana pengaturan hak asasi manusia termuat dalam sistem demokrasi tersebut. Salah satu praktik indigeneous demokrasi yang dikemukakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta tersebut adalah prinsip musyawarah.
Jakob menegaskan, musyawarah mengusung konsep saling menghargai tanpa adanya tirani dari mayoritas. ”Kami berusaha agar proses demokrasi ini adalah demokrasi yang memfasilitasi dan digerakkan oleh konstitusi. Yang juga mempertimbangkan harga diri dan sisi terang lain dari manusia. Kita ini bukan sekadar angka,” tutur Jakob.
Ketika menerima gelar doktor, para penguji mengucapkan selamat kepada Jakob yang diibaratkan sebagai pelari maraton yang memiliki daya tahan tinggi. Jakob meraih gelar doktor menjelang ulang tahun ke-80. ”Di sini, di Universitas Leiden, siapa yang dapat membayangkan bahwa pada musim panas 1947, ketika Jakob sebagai anak laki-laki berusia 4 tahun harus melarikan diri bersama keluarganya dari agresi militer Belanda di Sumatera. Kami bersyukur Anda memilih Leiden,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, penulis buku biografi Jakob Tobing, Bernada Rurit, menyebut Jakob menyelesaikan gelar doktor dalam kurun waktu lebih dari lima tahun karena tertunda oleh pandemi Covid-19. Jakob menyelesaikan S-1 dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) dan S-2 di John F Kennedy School of Government, Harvard University, Amerika Serikat.
Di sidang doktor tersebut, Jakob didampingi istrinya, Adriana Tobing, dan tiga anak, yakni Ronald Ruhut Toga Martua Lumbantobing, Sarah Ruth Debora boru Tobing, dan Erika Esther Tiominar boru Tobing. Selain itu, hadir pula seorang menantu yang mewakili almarhum putranya, Sondang Tumpal Tua Lumbantobing.