Kejagung Minta Maqdir Ismail Bawa Uang Rp 27 Miliar
Pemanggilan yang dilakukan Kejaksaan Agung kepada Maqdir Ismail, kuasa hukum terdakwa korupsi BTS 4G, Irwan Hermawan, bertujuan untuk meminta keterangan dan klarifikasi terkait adanya informasi soal pengembalian uang.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung meminta Maqdir Ismail, pengacara terdakwa kasus dugaan korupsi pembangunan menara base transceiver station atau BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Irwan Hermawan, untuk membawa uang Rp 27 miliar. Sebelumnya, Maqdir menyebutkan bahwa pihak swasta telah mengembalikan uang sebesar itu dalam bentuk dollar Amerika Serikat.
Menurut rencana, Maqdir akan dipanggil tim penyidik Kejagung pada Senin (10/7/2023) untuk dimintai keterangan dan klarifikasi lebih lanjut terkait dengan adanya informasi soal pengembalian uang itu. Hal itu untuk membuat terangnya perkara dugaan korupsi pada pembangunan BTS 4G Bakti Kemenkominfo.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana, melalui keterangan pers, Jumat (7/7/2023), mengatakan, alasan pemanggilan Maqdir Ismail karena pernyataannya kepada media telah menyita perhatian publik. Maqdir menyatakan, pihak swasta telah mengembalikan uang senilai Rp 27 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat yang perkaranya sedang diusut tim penyidik. Kejagung juga meminta kepada Maqdir untuk membawa uang tersebut saat diperiksa nanti.
”Dalam pemeriksaan nanti, tim penyidik meminta kepada Maqdir Ismail membawa uang Rp 27 miliar sebagaimana pernyataannya di media. (Pemeriksaan) untuk membuat terang perkara yang saat ini sedang dalam proses penyidikan dan bergulir di persidangan terkait dengan aliran dana,” kata Ketut.
Pemanggilan Maqdir Ismail dijadwalkan pada Senin (10/7/2023) pukul 09.00 di Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung.
Secara terpisah, Maqdir mengungkapkan belum menerima surat pemanggilan dari Kejagung untuk memberikan klarifikasi terkait dengan penerimaan pengembalian uang Rp 27 miliar. Sebelumnya, Maqdir menyebutkan bahwa uang itu diberikan oleh Irwan kepada pihak yang menjanjikan untuk mengurus perkara ini. Pihak tersebut berjanji untuk menghentikan proses hukum terhadap kliennya.
”Sampai sekarang saya belum tahu ada surat panggilan untuk saya. Jadi, saya belum bisa berkomentar apa pun,” katanya.
Maqdir mengungkapkan belum menerima surat pemanggilan dari Kejagung untuk memberikan klarifikasi terkait penerimaan pengembalian uang Rp 27 miliar.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpendapat, siapa pun yang mengembalikan uang hasil korupsi, hal itu tidak akan menghapus pidananya. Karena itu, baik penyelenggara negara maupun pihak swasta dapat dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi. ”Jadi, dalam pidana korupsi yang terpenting adalah telah terjadi kerugian negara. Maka, siapa pun orang yang mengembalikan uang Rp 27 miliar bisa dijerat pidana korupsi,” kata Zaenur.
Zaenur menjelaskan, hal ini telah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Karena itu, lanjut Zaenur, Kejagung harus mampu mencari tahu dan menemukan siapa pihak yang dimaksud semula menerima uang Rp 27 miliar dari Irwan, lalu dikembalikan lagi. Selain memanggil Maqdir Ismail untuk diminta keterangannya, tim penyidik juga harus mampu menyimpulkan alasan pemberian uang Rp 27 miliar dari Irwan tersebut. Apalagi, pada berbagai pemberitaan media, uang tersebut dimaksudkan untuk mengamankan perkara.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpendapat, siapa pun yang mengembalikan uang hasil korupsi, hal itu tidak akan menghapus pidananya.
”Ini nanti akan menelaah pengembalian tersebut oleh siapa, yang paling penting adalah ketika ada pemberian kepada yang bersangkutan. Pemberiannya itu dalam rangka apa. Jika memang ternyata uangnya untuk mengurus atau mengamankan perkara seperti yang ramai diberitakan, pihak tertentu tersebut bisa disangka melakukan percobaan penyuapan ataupun menghalangi proses perkara,” ujar Zaenur.