Tiga Tewas Kecelakaan Per Jam, Polri: Perpanjangan SIM Tetap Relevan
Polri menegaskan, perpanjangan SIM tak hanya diperlukan untuk mengevaluasi kompetensi mengemudi, tetapi efektif untuk menurunkan tingkat kecelakaan.
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak sepakat jika surat izin mengemudi diberlakukan seumur hidup. Pembaruan izin diperlukan untuk mengevaluasi kompetensi berlalu lintas juga kesehatan fisik dan mental para pemilik SIM. Evaluasi dipandang efektif untuk mencegah kecelakaan karena sebagian besar dialami oleh pengemudi yang tak memiliki SIM.
Berdasarkan data Korps Lalu Lintas Polri, tiga nyawa melayang setiap jam akibat kecelakaan. Mayoritas, 71 persen hingga 79 persen, pihak penyebab/pelaku kecelakaan adalah pengemudi yang tidak memiliki SIM. Sedikitnya 60 persen penyebab kecelakaan adalah faktor manusia yang berada di balik kendaraan bermotor.
”Oleh karena itu, evaluasi kompetensi melalui perpanjangan SIM diperlukan untuk menurunkan tingkat kecelakaan dengan memastikan memang masih memiliki kompetensi dan kesehatan untuk mengemudikan kendaraan bermotor,” ujar Kepala Sespim Lemdiklat Polri Inspektur Jenderal Chryshnanda Dwilaksana dalam sidang uji materi Pasal 85 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) di Mahkamah Konstitusi, Selasa (25/7/2023).
Guru Besar Ilmu Kepolisian pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu menjadi kuasa dari Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit, bersama-sama dengan Kepala Korlantas Polri Irjen Firman Santyabudi, Kepala Divisi Hukum Polri Irjen Viktor T Sihombing, dan sejumlah jajaran Korps Bhayangkara lainnya.
Evaluasi kompetensi melalui perpanjangan SIM diperlukan untuk menurunkan tingkat kecelakaan dengan memastikan memang masih memiliki kompetensi dan kesehatan untuk mengemudikan kendaraan bermotor.
Perkara uji materi tersebut bermula dari permohonan yang diajukan seorang advokat, Arifin Purwanto, yang menguji Pasal 85 Ayat (2) UU LLAJ yang mengatur tentang masa berlaku SIM selama lima tahun. Ia meminta agar ketentuan tersebut sehingga masa berlaku SIM menjadi seumur hidup, tanpa perlu perpanjangan.
Dalam keterangannya, Chryshnanda mengatakan, pengaturan masa berlaku SIM selama lima tahun sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan, yaitu pada tahun 1933. Padahal, saat itu jumlah kendaraan bermotor dan mobilitas warga tidak setinggi saat ini. Dengan demikian, menurut dia, tidak logis apabila masa berlaku SIM selama lima tahun dihapus mengingat tingkat risiko berlalu lintas sudah sangat tinggi.
”Bila tahun 1933 sudah memiliki politik hukum yang berorientasi pada keselamatan berlalu lintas dengan pembatasan masa berlaku SIM, apakah hari ini akan terjadi kemunduran politik hukum keselamatan berlalu lintas dengan menghapus masa berlaku SIM?” kata Chryshnanda yang menilai bahwa ketentuan masa berlaku SIM tersebut masih relevan untuk diterapkan.
Dalam enam tahun terakhir, menurut dia, terdapat fakta yang memprihatinkan. ”Keseluruhan korban kecelakaan lalu lintas sebanyak 27.228 orang yang meninggal setiap tahunnya hari ini. Berarti ada 2.252 orang setiap bulan atau 75 orang setiap hari atau 3 orang setiap jam yang meninggal di jalan akibat kecelakaan lalu lintas yang telah menyebabkan kerugian materiil sekitar Rp 235 miliar setiap tahunnya,” ujarnya.
Ada tiga syarat dalam perpanjangan SIM. Selain syarat usia yang relatif mudah dipenuhi oleh pemohon perpanjangan SIM, ada dua syarat lain, yaitu syarat administratif serta syarat kesehatan jasmani dan rohani. Syarat administrasi berupa tanda bukti kepesertaan aktif dalam program jaminan kesehatan nasional dan syarat verifikasi kompetensi mengemudi dari lembaga pelatihan mengemudi.
Berdasarkan data Korlantas, tidak semua pemohon perpanjangan SIM berhasil memeroleh izin mengemudi baru. Sebab, ada 0,03 persen pemohon yang tidak memenuhi syarat rohani dan 0,01 persen tidak memenuhi syarat tes kesehatan jasmani. Padahal, terpenuhinya syarat-syarat tersebut sangat penting karena menunjukkan pemegang SIM memiliki kompetensi, pengetahuan, tata cara, dan etika berlalu lintas sehingga dapat mencegah terjadinya peristiwa kecelakaan yang menyebabkan kematian atau luka berat.
Dalam kesempatan tersebut, Polri juga mengkritisi perbandingan ketentuan masa berlaku SIM antara RI dan Perancis yang dilakukan pemohon. Disebutkan, membandingkan antara RI dan Perancis tidaklah tepat dan tidak relevan dalam konteks studi perbandingan hukum. Sebab, selain struktur dan substansi hukum yang berbeda, Perancis juga memiliki budaya hukum berlalu lintas yang berbeda dengan Indonesia.
Perbandingan yang lebih relevan adalah dengan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, dan Laos. Merujuk pada Bank Dunia, tingkat fatalitas kecelakaan melibatkan penduduk usia produktif di tiga negara tersebut hampir mirip. Misalnya, tingkat fatalitas kecelakaan di Filipina mencapai 82 persen, Laos 75 persen, dan Indonesia 76 persen. Negara-negara tersebut memiliki karakteristik yang serupa dengan Indonesia serta sama-sama memberlakukan masa berlaku SIM untuk lima tahun dan dapat diperbarui kembali.
Selain itu, Chryshnanda juga mengoreksi dalil pemohon yang menyebutkan Perancis memberlakukan SIM untuk seumur hidup. Menurut dia, negara tersebut tidak memberlakukan SIM untuk seumur hidup, melainkan untuk jangka waktu 15 tahun dan pengemudi maksimal berumur 70 tahun.
Data forensik penegakan hukum
Di samping menjaga budaya tertib berlalu lintas dan keselamatan pengendara, pembaruan SIM juga bermanfaat untuk membantu penegak hukum untuk melakukan penyelidikan tindak pidana. Informasi mengenai identitas nama, alamat, pekerjaan, dan wajah sangat membantu pengungkapan perkara tindak pidana, baik terhadap tersangka maupun korban.
Demikian pula apabila terjadi insiden, petugas kepolisian memerlukan data tersebut baik dalam rangka penanganan terhadap korban yang sangat membutuhkan kerja sama dari keluarga korban. Alamat korban kecelakaan lalu lintas diperoleh dari data SIM yang ada di Korlantas Polri. Apabila rentang waktu pembaruan SIM dibuat untuk kurun lima tahun, para tetangga di alamat/domisili terakhir masih memiliki ingatan terhadap yang bersangkutan apabila ternyata sudah pindah domisili.
”Keberadaan keluarga korban masih memungkinkan untuk ditemukan atau dicari. Inilah salah satu fungsi identitas dan alamat korban yang harus diperbarui setiap lima tahun. Menemukan keluarga korban atau orang terdekatnya untuk dimintai keterangan sangat sulit bagi Polri apabila korban ternyata telah berpindah tempat atau tidak sesuai dengan alamat,” katanya.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menanyakan tentang fungsi merit points system dalam penerbitan SIM. ”Tadi disebutkan bahwa tiga orang meninggal karena kecelakaan per jam. Rata-rata belum memiliki SIM. apakah ada penandaan untuk pelaku kecelakaan, ada sistem tidak untuk tidak diberikan SIM. Apa yang dilakukan Korlantas dengan merit point system?” kata Enny.
Terkait hal tersebut, Chryshnanda mengungkapkan, merit point system dalam perpanjangan SIM dilakukan dengan memberikan kategori untuk tiap-tiap pemegang SIM. Misalnya, apabila pemegang SIM tidak pernah melakukan pelanggaran, perpanjangan akan diberikan tanpa dilakukannya uji ulang. Sementara jika ada pelanggaran dengan total 12 poin, dilakukan uji ulang terhadap pemegang SIM.
Adapun poin-poin itu dikumpulkan dari total pelanggaran yang dilakukan, dengan rincian pelanggaran ringan akan memeroleh poin 1, pelanggaran yang berdampak pada kemacetan akan memeroleh poin 3, sedangkan pelanggaran yang berdampak pada kecelakaan tergolong pelanggaran berat diberi poin 5.
Hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh meminta Polri untuk menambahkan data mengenai pembatasan usia maksimal untuk memperoleh SIM. ”Di negara lain ada pembatasan usia untuk memeroleh SIM, ada negara lain tidak memberi pembatasan. Di Indonesia, usia tertinggi pengajuan SIM berapa. Ini penting untuk dilihat,” katanya.
Sementara hakim konstitusi Arief Hidayat melihat adanya faktor penting mengapa SIM harus diperpanjang tiap lima tahun dan tidak dibuat seumur hidup. Ia menggarisbawahi keterangan Polri terkait pentingnya pembaruan data SIM untuk kepentingan forensik kepolisian dalam rangka mendukung upaya penegakan hukum.
Ia menyinggung putusan MK sebelumnya yang meletakkan kewenangan penerbitan SIM ke kepolisian sebagai lembaga yang penting secara konstitusional (constitutional important). ”Putusan MK mengapa meletakkan kewenangan penerbitan SIM di bawah Polri adalah dalam rangka penegakan hukum sehingga relevan sekali permohonan ini dijawab ke arah sana,” kata Arief.