Eksil Akibat Peristiwa 1965 Diberi Kemudahan Masuk ke Indonesia
Pemerintah memberi kemudahan bagi para eksil akibat peristiwa 1965 untuk kembali ke Tanah Air. Langkah ini bagian dari upaya menembus kebuntuan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai tindak lanjut rekomendasi tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu atau PPHAM, pemerintah mempermudah layanan keimigrasian bagi para eks mahasiswa korban1965 yang ingin kembali ke Indonesia. Pemerintah menggratiskan permohonan visa dan izin tinggal bagi eksil yang selama ini tinggal di luar negeri.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly telah menerbitkan keputusan menteri terkait dengan kemudahan tersebut. Para eksil, baik mantan mahasiswa Indonesia yang tugas belajar di luar negeri maupun pekerja lainnya, bisa mengajukan visa atau izin tinggal tersebut ke konsulat jenderal (konjen) yang ada di luar negeri.
”Yang pasti, saya sudah keluarkan kepmen (keputusan menteri) tentang layanan keimigrasian bagi korban pelanggaran HAM berat khususnya eksil pada 11 Agustus lalu,” ujar Yasonna dalam jumpa pers yang dilakukan secara daring dari Amsterdam, Belanda. Minggu (27/8/2023). Hadir dalam jumpa pers tersebut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Mayerfas, dan perwakilan korban 1965 yang ada di luar negeri.
Para eksil, baik mantan mahasiswa Indonesia yang tugas belajar di luar negeri maupun pekerja lainnya, bisa mengajukan visa atau izin tinggal tersebut ke konsulat jenderal (konjen) yang ada di luar negeri.
Di kesempatan itu, Mahfud MD, Yasonna H Laoly, beserta jajarannya menggelar pertemuan dengan para korban eksil tahun 1965 di Amsterdam, Belanda, selama 2 jam. Puluhan mantan mahasiswa yang tugas belajar pada sekitar tahun 1962-1963 dan tidak bisa kembali ke Indonesia setelah pemerintah Orde Lama tumbang hadir dalam pertemuan tersebut serta menyampaikan keluh kesah dan pendapat mereka. Mereka datang dari berbagai kota di Eropa, seperti Amsterdam, Frankfurt dan Berlin (Jerman), dan Praha (Ceko). Selain itu, pertemuan juga diikuti para eksil yang berada di kota seperti Paris (Perancis) dan Stockholm (Swedia) secara daring.
Tanpa menutup jalur yudisial
Dalam pertemuan tersebut, Mahfud mengungkapkan, pihaknya hadir di Amsterdam dalam rangka untuk melaksanakan kebijakan pemerintah yang ingin menembus kebuntuan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu khususnya melalui jalur nonyudisial. Tanpa menutup upaya penyelesaian kasus melalui jalur yudisial, pemerintah mengambil tindakan yang lebih cepat untuk dapat memberikan hak-hak kepada korban.
Hal itu sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang berat di mana Presiden telah menginstruksikan kepada 19 pejabat menteri, Panglima TNI, dan Kepala Polri untuk melaksanakannya. Adapun salah satu rekomendasi PPHAM yaitu memulihkan hak korban dalam dua kategori, yaitu hak konstitusional sebagai korban dan hak sebagai warga negara.
Di luar negeri, korban pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah para mahasiswa ikatan dinas/tugas belajar yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan mendapatkan stigma melawan pemerintah ketika itu. Selain mahasiswa, ada pula duta besar atau pegawai kedutaan yang tidak bisa pulang karena kebijakan pemerintah Orde Baru yang mencabut paspor mereka. Salah satunya adalah AM Hanafi (mantan menteri zaman Presiden Soekarno, mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang menjadi Dubes di Kuba, waktu itu.
Yasonna mengungkapkan, pihaknya memberikan kemudahan layanan imigrasi bagi para eks mahasiswa Indonesia yang rindu untuk pulang ke kampung halaman. Pemerintah akan menerbitkan izin tinggal lima tahun atau visa untuk melakukan kunjungan berkali-kali (multiple visit) bagi para korban tahun 1965 tersebut. Layanan tersebut diberikan secara gratis.
”Pemerintah mau menyampaikan, mari kita perbaiki, kita sembuhkan luka-luka lama. Kami memahami kepahitan Bapak Ibu. Sekarang, kami mau mendengar, mau minta semua anak bangsa kembali bergandengan tangan memberikan yang terbaik untuk bangsa,” ujar Yasonna yang memberikan visa kunjungan berkali-kali kepada Ibu Ning atau Sri Budiarti Tanruang yang kini bermukim di Jerman.
Kemungkinan dwi kewarganegaraan
Ketua Watch 65, Ratna, dalam pertemuan mengungkapkan, kebijakan tersebut merupakan langkah penting bagi korban pelanggaran HAM berat tahun 1965 di luar negeri. Akan tetapi, masih ada persoalan lain yang tak kalah penting yaitu mengubah stigma PKI atau komunis atau pengkhianat negara yang dilekatkan pada para eksil tersebut. Ia mempersoalkan Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang hingga kini masih berlaku. Ia juga meminta pemerintah untuk meluruskan sejarah tahun 1965.
Hal senada diungkapkan oleh Ibu Ning atau Sri Budiarti Tanruang. Meskipun mengapresiasi langkah pemerintah yang mempermudah layanan keimigrasian bagi eksil yang ingin pulang ke Indonesia, ia tetap memberi perhatian terhadap stigma yang masih lekat pada dirinya. Bahkan, hingga tahun 2015, ia masih mendapatkan cap sebagai anggota Gerwani hanya karena perbedaan pendapat yang terjadi di antara sesama anggota PPI (Perkumpulan Pelajar Indonesia).
Sri Budiarti juga berharap pemerintah untuk memberikan dwi kewarganegaraan bagi para korban ”65 ” di luar negeri.
Selain itu, Sri Budiarti juga berharap pemerintah memberikan dwi kewarganegaraan bagi para korban ”65” di luar negeri. ”Saya jujur, memang dwi kewarganegaraan di Indonesia masih impossible. Tapi, Pak Mahfud, kan, terkenal sebagai tukang menerobos. Justru karena enggak ada (aturannya), kita terobos. Masak ngurus 200 (orang) saja enggak mampu. Saya masih bermimpi (soal ini),” kata Bu Ning.
Namun, Yasonna mengungkapkan, ketentuan dwi kewarganegaraan tidak bisa diberikan oleh pemerintah semata. Kebijakan tersebut harus dilakukan dengan mendasarkan pada undang-undang dan hingga saat ini UU Kewarganegaraan RI tidak mengenal hal tersebut. Pemerintah sudah mengajukan revisi UU Kewarganegaraan, tetapi hingga saat ini belum dapat berjalan.