KPU Minta Pemerintah Jamin Anggaran Jika Pilkada 2024 Dipercepat
Ketua KPU Hasyim Asy’ari menegaskan, lembaganya akan melaksanakan seluruh ketentuan yang diatur dalam undang-undang, termasuk apabila hari pemungutan suara Pilkada 2024 dipercepat dari November menjadi September.
Oleh
IQBAL BASYARI, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum menyatakan siap melaksanakan tahapan pemilihan kepala daerah jika disepakati maju dari semula digelar pada bulan November menjadi September. Namun, pemerintah harus memberikan dukungan teknis dan anggaran agar penyelenggara pemilu dapat melaksanakan seluruh tahapan pilkada dengan optimal.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menegaskan, KPU akan melaksanakan seluruh ketentuan yang diatur dalam undang-undang, termasuk apabila hari pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dipercepat dari November menjadi September 2024. ”KPU akan tunduk pada ketentuan undang-undang itu dan melaksanakan pilkada serentak 2024 sesuai perundang-undangan yang berlaku,” ujar Hasyim ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota mengatur, Pilkada 2024 digelar pada November 2024. Pada awal 2022, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan penyelenggara pemilu sepakat pemungutan suara Pilkada 2024 dilaksanakan pada 27 November 2024.
Namun, belakangan, pemerintah merencanakan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada yang salah satunya memuat perubahan jadwal hari pemungutan suara Pilkada 2024. Jadwal pilkada yang telah disepakati akan dilaksanakan pada 27 November 2024 diusulkan maju dua bulan dan diselenggarakan dalam dua tahap, yakni pada 7 September dan 24 September 2024. Menurut rencana, Perppu Pilkada akan diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo pada September 2023.
Anggota KPU, Idham Holik, menambahkan, mempercepat pilkada berdampak pada dimulainya tahapan pilkada lebih awal. Jika pilkada digelar November 2024, tahapan dimulai pada Januari 2024 karena tahapan pilkada diselenggarakan selama 11 bulan. Oleh karena itu, jika pilkada dimajukan menjadi September 2024, tahapan pilkada harus sudah dimulai pada November 2023.
Dengan demikian, irisan tahapan pilkada dengan tahapan pemilu akan terjadi lebih awal, yakni dimulai pada November atau saat tahapan kampanye pemilu dimulai. ”KPU sudah terbiasa menyelenggarakan tahapan yang beririsan,” kata Idham.
Meski demikian, KPU meminta pemerintah memperhitungkan batas akhir penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Sengketa hasil pemilu harus selesai sebelum tahapan pendaftaran bakal calon kepala daerah dimulai karena raihan suara pemilu menjadi syarat bagi partai politik (parpol) dan gabungan parpol untuk mengajukan bakal calon kepala daerah.
”Kalau sekiranya hari pemungutan suara pilkada serentak 2024 maju, batas akhir penyelesaian PHPU harus diperhatikan, dan kita ketahui, hal itu kewenangan penuh dari Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Dukungan anggaran
Secara terpisah, anggota KPU, Yulianto Sudrajat, mengingatkan, dukungan anggaran dari pemerintah daerah (pemda) juga diperlukan agar KPU dapat melaksanakan tahapan pilkada yang dipercepat. Hingga saat ini, baru sekitar 20 persen dari 545 pemda yang sudah menyepakati anggaran pilkada.
KPU berharap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bisa mendorong pemda agar segera menyepakati usulan anggaran pilkada. Dengan demikian, naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) dapat segera ditandatangani.
Menurut Yulianto, idealnya NPHD ditandatangani paling lambat Oktober atau sebulan sebelum tahapan Pilkada 2024 dimulai. ”Prinsipnya KPU siap melaksanakan tahapan pilkada meskipun dimajukan menjadi September,” ujarnya.
Dorongan serupa disampaikan Ketua Kelompok Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Komisi II DPR Arif Wibowo. ”Demi kepentingan nasional, seharusnya Kemendagri turun tangan jika pemerintah menginginkan kelancaran pelaksanaan tahapan pilkada yang maju ke September,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, perubahan jadwal seharusnya mempertimbangkan dampak teknis penyelenggaraan pilkada. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu harus dipastikan bisa melaksanakan seluruh tahapan dan mendapat dukungan optimal dari berbagai pemangku kepentingan.
Peneliti Ahli Utama pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengingatkan pemerintah agar memperhitungkan dampak dari memajukan pilkada. Tak hanya dampak yang dialami penyelenggara pemilu, tetapi juga partai politik dan pemilih di tengah banyaknya tahapan pemilu serta pilkada yang beririsan. Mereka harus menyiapkan diri menghadapi pemungutan suara pilkada dengan jarak yang berdekatan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden yang baru usai.
Menurut dia, perubahan jadwal pilkada bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Maka, pemerintah perlu membuka kajian yang menunjukkan urgensi memajukan pilkada dari November menjadi September. Dengan demikian, publik bisa memahami keuntungan sekaligus mendapatkan gambaran mengenai dampak-dampaknya.