Perppu Pilkada Dianggap Upaya Potong Kompas Legislasi
Wacana memajukan jadwal pelaksanaan Pilkada 2024 lewat penerbitan perppu dinilai lahir dari agenda kepentingan, bukan agenda ketatanegaraan. Jika punya rencana demikian semestinya dilaksanakan lewat revisi UU Pilkada.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan informal antara pemerintah dan DPR untuk membahas rencana percepatan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 dengan menerbitkan PerppuPilkada dinilai tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menyebut fenomena itu justru sebagai jalur potong kompas untuk menghindari partisipasi publik bermakna.
Saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (1/9/2023), Zainal mengatakan, wacana percepatan pelaksanaan pilkada dari semula bulan November 2024 menjadi September 2024 lahir dari agenda kepentingan, bukan agenda ketatanegaraan. Sebab, sebelumnya, DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu sepakat bahwa mereka tidak akan mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Saat itu, seolah-olah sudah ada perhitungan yang matang mengenai hal itu.
”Namun, mengapa justru satu tahun menjelang Pilkada (2024), perhitungan matang itu seolah menjadi mentah kembali? Kejadian ini tidak bisa dibaca sebagai kebutuhan hukum ketatanegaraan. Ini dibaca sebagai sebuah kepentingan politik. Bisa jadi kepentingan Presiden, partai politik, atau kepentingan banyak pihak,” ujar Zainal.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah berencana menerbitkan Perppu tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada), yang salah satunya memuat usulan perubahan jadwal pemungutan suara Pilkada 2024 dari 27 November 2024 menjadi bulan September 2024. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut bahwa ide itu justru berasal dari kalangan akademisi dan DPR. Ia juga menyebut bahwa percepatan penyelenggaraan pilkada sejauh ini masih sebatas wacana. Meski demikian, pemerintah siap jika diminta untuk menyampaikan pendapat mengenai perlunya percepatan pilkada di hadapan DPR (Kompas, 1 September 2023).
Menurut Zainal, jika DPR dan pemerintah sudah bertemu secara informal membahas wacana percepatan pelaksanaan pilkada, seharusnya selaku pembentuk undang-undang mereka bisa memilih opsi revisi UU Pilkada. Jika hanya satu atau dua pasal yang ingin diubah, hal itu seharusnya bukan perkara sulit.
Mekanisme revisi UU juga akan melibatkan partisipasi publik. Namun, jika yang dipilih adalah perppu, Zainal melihat justru ada sebuah kepentingan politik kuat yang coba ditukar dengan cepat dengan mengubah UU tanpa melalui partisipasi publik yang bermakna.
”Ada undang-undang yang bisa diubah dalam waktu tiga hari. Jika mau, pembentuk undang-undang bisa mengubah cepat sekali. Jangan sampai yang dipilih justru cara-cara yang merusak demokrasi,” katanya.
Jika yang dipilih adalah perppu, Zainal melihat justru ada sebuah kepentingan politik kuat yang coba ditukar dengan cepat dengan mengubah UU tanpa melalui partisipasi publik yang bermakna.
Mengapa hal itu disebutnya merusak demokrasi? Karena ada kecenderungan pembentuk UU membuat aturan secara sepihak dengan tujuan memperbesar kekuasaan modal dan kekuasaan politik untuk kelompoknya. Walaupun terlihat benar, menurut Zainal, tetapi ini dianggap lebih berbahaya daripada otoritarianisme seperti masa Orde Baru. Fenomena ini kerap disebut sebagai autocratic legalism.
Zainal menilai, jika memang ingin serius merevisi UU, di sisa waktu yang ada sebenarnya masih mencukupi. Sebab, unsur-unsur kegentingan memaksa untuk menerbitkan perppu, seperti keterbatasan waktu, terjadinya krisis, adanya kekosongan hukum, adanya aturan yang tidak memadai sehingga butuh penyempurnaan, serta penundaan pemberlakuan suatu ketentuan undang-undang pun tak terpenuhi.
Subyektivitas Presiden bisa diuji secara politik dan yudisial
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat ditanya mengenai wacana Perppu Pilkada menilai perppu memang dikeluarkan dengan syarat keadaan genting dan memaksa. Sesuai Pasal 22 UUD 1945, keadaan genting dan memaksa itu menjadi hak subyektif dari Presiden untuk memutuskan. Namun, hak subyektif Presiden itu juga bisa diuji secara politik (political review) dan secara yudisial (judicial review).
”Diuji secara politik artinya harus dibahas di DPR pada masa sidang berikutnya. Jika DPR setuju, terus berlaku. Namun, jika DPR tak setuju, itu harus dicabut atau dibatalkan. Diuji secara yudisial artinya dinilai oleh Mahkamah Konstitusi melalui uji materi dan formal. Jika bertentangan dengan konstitusi, MK bisa membatalkannya,” kata Mahfud.
Namun, karena sejak akhir Agustus tengah melaksanakan kunjungan kerja di luar negeri, Mahfud mengaku belum mempelajari apa yang mendasari rencana dikeluarkannya Perppu Pilkada Serentak. Ia mengaku akan mempelajari alasan tersebut setibanya di Tanah Air.