Partai Golkar, Impian Mengukir Lagi Kemenangan
Dengan segenap tantangan dan potensi, Pemilu 2024 bisa menjadi momentum bagi Partai Golkar mencapai titik balik.
Sarat pengalaman dalam kontestasi politik menjadikan Partai Golkar mampu bertahan sebagai partai papan atas di Indonesia. Tak heran pada Pemilihan Umum 2024 Golkar menargetkan dapat mengukir kembali sejarah kejayaannya. Namun, impian ini menghadapi tantangan, mengingat tren elektabilitas yang cenderung menurun pascareformasi.
Pengalaman Golkar di ajang pemilu sudah berlangsung sejak Pemilu 1971. Catatan sejarah menunjukkan, Golkar memiliki penguasaan panjang dalam panggung politik Indonesia di era Orde Baru. Suara Golkar dalam pemilu selalu berada di atas angka 60 persen. Bahkan, pada Pemilu 1987 dan 1997, partai ini mampu meraup tiga perempat dari total suara pemilih.
Namun, Reformasi 1998 yang diikuti berakhirnya era pemerintahan Orde Baru menjadi titik balik bagi Golkar. Setahun setelah reformasi, raihan elektoral Partai Golkar turun hingga tersisa sepertiganya saja. Pada Pemilu 1999, dengan jumlah dukungan 23,7 juta suara, partai ini hanya mampu menguasai 22 persen dari total suara yang masuk.
Meski demikian, Golkar masih jadi partai papan atas pada pemilu pertama di era reformasi. Partai ini menduduki posisi kedua setelah PDI-P. Golkar masih mampu meraih 120 kursi DPR. Pada Pemilu 2004, Golkar kembali jadi pemenang pemilu dengan meraih 21,6 persen suara dan mendapat 127 kursi DPR.
Kembalinya kejayaan Golkar saat itu tidak terlepas dari kemampuan partai ini mendayagunakan kelembagaan yang mengakar kuat dan melakukan penyesuaian terhadap lingkungan yang berubah. Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung melalui buku The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi (2007) menyebutkan ada tiga sumber daya yang jadi bekal politik Golkar mengukir kembali kemenangannya.
Ketiga sumber daya itu ialah kemampuan finansial yang kuat, kepemilikan sumber daya manusia berpengalaman, dan jaringan kekuasaan eksekutif serta legislatif. Sementara penyesuaian terhadap lingkungan yang berubah diadaptasi Golkar dengan rumusan ”Paradigma Baru”.
Semangat ”Golkar baru” itu mengusung aspek pembaruan dan kesinambungan. Dalam visi dan misi Partai Golkar, aspek pembaruan tersebut diwujudkan melalui perubahan struktur atau kelembagaan. Adapun aspek kesinambungan tampak pada konsistensi Partai Golkar tetap berpijak pada ideologi Pancasila. Selain bertujuan untuk meluruskan sejumlah kekeliruan lama, pembaruan itu juga diarahkan untuk mewujudkan Golkar yang mandiri, demokratis, berakar, dan responsif.
Baca juga: Bara di Akar Beringin
Melalui paradigma baru ini, Partai Golkar juga berkomitmen tetap sebagai kelanjutan dari Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar yang lahir pada 20 Oktober 1964. Golkar juga tetap berpegang pada doktrin karya kekaryaan yang dinamis sesuai perkembangan zaman.
Doktrin karya kekaryaan ini berorientasi pada program dan atau pemecahan masalah, bukan berorientasi pada aliran atau ideologi. Dengan orientasi ini, Golkar dan masyarakat Indonesia diharapkan tidak akan terjebak dalam pertentangan atau konflik ideologi yang tak perlu, tetapi berorientasi pada karya untuk membangun bangsa.
Target 2024
Konsolidasi dan reposisi dengan paradigma baru membuat Golkar berhasil mengembalikan kemenangan Golkar dalam Pemilu 2004. Tak heran prestasi Golkar di Pemilu 2004 menjadi impian partai ini pada Pemilu 2024.
Dalam syukuran HUT Ke-59 Partai Golkar pada 20 Oktober 2023, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyerukan kepada seluruh kader untuk kembali mengukir kemenangan seperti pada Pemilu 2004. Secara khusus, Golkar menargetkan minimal memperoleh 115 kursi di DPR di Pemilu 2024 (Kompas, 21/10/2023).
Meski demikian, impian itu menghadapi sejumlah tantangan. Hal ini mengingat tren elektabilitas Golkar yang cenderung menurun, terutama dalam dua pemilu terakhir. Pada Pemilu 2014, perolehan suara Golkar menurun hingga berada di angka kurang dari 15 persen. Bahkan, suara partai ini makin menipis di Pemilu 2019 dengan perolehan suara sekitar 12,5 persen.
Penurunan ini kian kentara jika melihat raihan kursi DPR. Setelah sempat berjaya dengan meraih 127 kursi pada Pemilu 2004, pada Pemilu 2009 kursi Golkar di DPR berkurang menjadi 106 kursi dan terus menurun hingga 85 kursi pada Pemilu 2019.
Menurunnya performa elektabilitas Golkar dalam pemilu ini tidak terlepas dari persoalan meruncingnya faksionalisme. Perpecahan yang tumbuh dan mengakar hingga tingkat akar rumput ini menjadi faktor yang menggerus perolehan suara Golkar. Problem faksionalisme ini sudah mulai muncul gejalanya sesaat setelah reformasi.
Saat itu, beberapa kader senior keluar dan membentuk partai baru, yaitu Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), yang kemudian berubah nama menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Selain itu, setidaknya terdapat tiga partai politik baru yang merupakan ”pecahan” dari Partai Golkar, yaitu Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Nasdem.
Hal ini diperparah keterbelahan para pendukung elite-elite itu di tingkat daerah yang cenderung lebih setia kepada figur ketimbang partai. Keluarnya kader-kader potensial ini juga diikuti gerbong pendukung di kalangan internal partai dan basis massa. Tentu hal ini turut memengaruhi soliditas suara dan dukungan massa Golkar.
Selain ditilik dari faktor internal partai, penurunan elektoral Golkar juga bisa dicermati dari sisi manajemen suara berbasis wilayah. Di satu sisi, harus diakui, suara Partai Golkar cukup tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pada Pemilu 2019, dari 34 provinsi di Indonesia, Golkar mampu menguasai suara lebih dari 10 persen di 25 provinsi.
Meskipun demikian, luasnya jangkauan Golkar di banyak daerah pemilihan ini belum diimbangi kemampuan mengamankan kantong-kantong suara. Pada pemilu ini terdapat dua provinsi di mana Golkar kehilangan kursinya sama sekali, yaitu Provinsi Sulawesi Barat dan Maluku.
Sumber daya politik
Tren penurunan suara menjadi titik kewaspadaan yang harus dicermati jajaran pengurus dan kader Golkar dalam upaya menghadirkan kembali kejayaan Golkar pada pemilu mendatang. Di sisi lain, Golkar memiliki sejumlah potensi sumber daya politik.
Partai ini mampu terus menempati pos-pos strategis pemerintahan. Mulai dari era Presiden Habibie hingga Presiden Joko Widodo, Golkar selalu menempatkan kadernya dalam kabinet. Bahkan, dua figur saat ini menempati pos menteri strategis dalam pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, yakni Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan politisi senior Golkar, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Hal ini menunjukkan daya tawar politik Golkar masih cukup besar dan kadernya masih berpotensi menjadi sumber-sumber kepemimpinan nasional. Selain itu, faktor loyalitas pemilih juga dapat dicermati mesin partai untuk kembali menguasai daerah-daerah di Indonesia. Potensi loyalitas ini tampak dari hasil pilkada serentak tahun 2017, 2018, dan 2020. Dalam tiga gelombang pilkada tersebut, Golkar memenangi 10 dari 33 pemilihan gubernur, baik sebagai partai utama maupun partai pengusung. Jika dirata-rata, tingkat kemenangan Golkar di tiap pilkada di kisaran 43 persen.
Dengan segenap tantangan dan potensi yang dimiliki, pemilu mendatang bisa menjadi momentum bagi partai ini mencapai titik balik. Tanpa adanya kekuatan elektoral sebagai fondasi, posisi tawar dari partai ini bisa melemah di hadapan partai-partai politik lainnya.
Apalagi, sebagai parpol papan atas, Golkar masih belum mampu menghasilkan kader yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai calon presiden. Di Pilpres 2024, Golkar memutuskan mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Terus menciptakan kader-kader kepemimpinan nasional jadi tantangan baru bagi Golkar selain mengapai impian mengukir lagi sejarah kemenangannya.