Anggaran Pemilu Capai Rp 70,5 Triliun, KPK Waspadai Korupsi di Penyelenggara
Dengan anggaran pemilu mencapai Rp 70,5 triliun, KPK melihat ada kerawanan korupsi di penyelenggara dan peserta pemilu. Politik uang juga belum surut sehingga KPK membuka kanal aduan agar masyarakat ikut melaporkannya.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran Pemilihan Umum 2024 yang mencapai Rp 70,5 triliun mempunyai peluang korupsi dari sisi penyelenggara, peserta, dan pemilih. Potensi korupsi lainnya yang diwaspadai selama pemilu adalah politik uang dan jual beli suara untuk memenangkan calon presiden, wakil presiden, atau legislatif tertentu.
Dengan kerawanan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menindak kasus korupsi selama pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ketua KPK sementara Nawawi Pomolango mengatakan, pencegahan korupsi selama pemilu harus menjadi perhatian multipihak. ”Ada anggaran Rp 70,5 triliun yang kita belum tahu apakah ini satu putaran atau dua putaran. Ini harus menjadi perhatian karena tidak sedikit anggaran yang digunakan,” kata Nawawi seusai menghadiri Rakornas Pendidikan Antikorupsi 2023 di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (30/11/2023).
Menurut Nawawi, upaya pencegahan yang dilakukan mulai dari melakukan penelitian dan kajian mengenai potensi korupsi dan politik uang hingga melakukan upaya pendidikan sistem antikorupsi untuk penyelenggaran dan perserta pemilu serta masyarakat untuk menghindari serangan fajar.
Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana mengatakan, ada sejumlah titik potensi korupsi dalam pemilu. Pertama, di tingkat elektoral ada potensi jual beli suara antara penyelenggara dan peserta pemilu.
”Kalau jual beli suara terjadi antara peserta dan peserta, itu tugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kalau jual beli suara terjadi antara penyelenggara dan peserta pemilu, apalagi penyelenggara yang terlibat adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu, berarti itu tugas KPK,” katanya.
Kedua, potensi korupsi terjadi saat penyelenggara negara mengeluarkan anggaran besar untuk mendukung kampanye calon tertentu, dan yang ketiga adalah politik uang yang terjadi di masyarakat. ”Pada 2014 kita sering melihat ada daerah-daerah yang memasang spanduk bertuliskan ‘Kami Siap Menerima Serangan Fajar’. Pada Pemilu 2019, spanduknya berubah menjadi tulisan ‘Kami Siap Menerima Serangan Fajar, tetapi Tidak Janji Memilih. Selanjutnya kami berharap pada Pemilu 2024 ini masyarakat berani mengatakan ‘Kami Menolak Serangan Fajar’,” ujar Wawan.
Di tingkat elektoral ada potensi jual beli suara antara penyelenggara dan peserta pemilu.
Menurut dia, KPK telah membuka kanal aduan, di mana masyarakat bisa melaporkan apabila menemukan politik uang selama pemilu. ”Tentu kami berharap bahwa laporan itu disertai bukti. Kami akan memfasilitasi keluhan dan laporan masyarakat,” katanya.
Politik uang yang terjadi selama pemilu juga diuangkapkan oleh Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Burhanuddin Muhtadi. Dalam riset yang dilakukannya, ia mencatat sekitar 33 persen pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014 dan 2019 terlibat politik uang. Atau, kata dia, 1 dari 3 orang Indonesia terpapar politik uang. Hal itu disampaikan Burhanuddin dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar UIN Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Tomsi Tohir mengatakan, penggunaan anggaran yang sesuai peraturan, prosedur, dan menekankan prinsip efisiensi harus dilakukan oleh setiap aparatur sipil negara (AS), baik itu selama pemilu maupun di luar pemilu. ”Arahan dari Menteri Dalam Negeri terkait hal ini sudah banyak sekali. Beliau menekankan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan anggaran,” katanya.
Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan karena penggunaan anggaran untuk mengatasi masalah stunting tidak efisien karena banyak dipakai untuk perencanaan dan persiapan daripada implementasinya. ”Ke depannya hal ini tidak boleh terjadi lagi. kita harus terus memonitor anggaran, mulai dari perencanaan sampai penggunaannya,” katanya.
Dalam pembukaan Rakornas Pendidikan Antikorupsi 2023, Nawawi mengatakan terpaksa menunda sejumlah kegiatan pendidikan antikorupsi karena bekas Ketua KPK Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
”Dengan musim yang tidak baik-baik saja, saya tanya ke Pak Deputi, ’Masih adakah orang yang datang ke acara kita? Jangan cuma kita teriak-teriak jujur itu hebat, tapi kita tidak jujur dengan situasi yang ada,’,” kata Nawawi.
Setelah ditetapkannya Firli sebagai tersangka, Nawawi mengumpulkan beberapa petinggi KPK untuk mengevaluasi jadwal kegiatan pencegahan dan pendidikan. Ia memutuskan menunda sejumlah kegiatan pendidikan antikorupsi karena situasi tidak kondusif. Menurut dia, saat ini paling penting adalah mengembalikan kepercayaan publik.
Ia juga mengucapkan terima kasih kepada tamu yang hadir dalam Rakornas Pendidikan Antikorupsi 2023 karena ini menunjukkan masih ada masyarakat yang percaya pada KPK. ”Saya tidak tahu harus mengucapkan terima kasihnya dari mana. Terima kasih dan saya mengucapkan apresiasi atas kesediaan Bapak-Ibu untuk hadir dalam giat program Komisi Pemberantasan Korupsi,” tutur Nawawi.