Kampanye Mendidik, Bukan Sekadar Gimik
Pada masa kampanye ini, sejumlah pihak diwawancara ”Kompas” menyampaikan harapannya agar kampanye yang disampaikan mendidik, alih-alih gimik.
Masa kampanye jadi momentum bagi peserta Pemilu 2024 untuk meyakinkan para pemilih lewat visi, misi, dan program yang ditawarkan. Belum lama ini, sejumlah pihak yang diwawancara Kompas menyampaikan harapan mereka agar kampanye yang disampaikan substantif dan mendidik, alih-alih mengandalkan gimik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, di Jakarta, Sabtu (2/12/2023), mengatakan, kampanye memiliki peran penting untuk menyampaikan gagasan dari calon wakil kepada terwakil dan membangun hubungan konstituensi. Oleh karena itu, desain, fokus, dan substansi kampanye semestinya mengedepankan gagasan dan tawaran solusi atas permasalahan-permasalahan publik. Model kampanye gagasan seperti ini jauh lebih dibutuhkan untuk menjadikan pemilu lebih bermakna.
Namun, ia melihat desain kampanye yang dilakukan para peserta Pemilu 2024 masih mengandalkan pengumpulan massa secara besar-besaran, tetapi minim substansi. Model kampanye seperti ini, katanya, hanya jadi ajang hiburan dan bagi-bagi uang.
Kampanye yang tidak programatik hanya akan menyuburkan praktik pembelian suara, menjauhkan pemilih dengan kontestan dan mendorong kontestan untuk bermain di level psikologi massa. Kondisi ini, menurut dia, disebabkan karena party-id tidak terbangun dalam masyakat. Parpol akhirnya harus mengandalkan metode-metode pengumpulan massa dan pembelian suara sebagai cara menarik suara pemilih.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto mengatakan, ada tiga hal yang semestinya dipaparkan dalam kampanye. Pertama, kontestan harus mampu menunjukkan pengetahuan tentang masalah yang dihadapi warga dalam pemenuhan haknya. Kedua, capres-cawapres dan caleg semestinya mampu menjelaskan akar masalah pemenuhan hak-hak asasi warga negara yang berlangsung. Apakah itu berakar pada sektor struktural berupa masih kuatnya oligarki, institusional berupa sistem hukum atau ada pada faktor agensi yakni kurangnya komitmen politiskus. Ketiga, kontestan pemilu semestinya mampu merumuskan solusi atas berbagai masalah yang ada, termasuk apa saja yang akan mereka lakukan untuk mengeksekusi jalan keluar yang dirumuskan.
Namun, yang terjadi di lapangan, kata Wijayanto, kampanye masih sebatas pertarungan gimik dan drama yang miskin substansi. Materi yang dibawa juga berkutat pada masalah elite, sementara pemilih yang suaranya diperebutkan tidak dilibatkan dalam kampanye mereka.
Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Wahid, atau biasa disapa Alissa Wahid, berharap Pemilu 2024 dapat berlangsung dengan jujur, adil, dan bermartabat. Untuk mewujudkannya, maka penyelenggara, peserta, dan pemerintah, termasuk TNI dan Polri, berperan sebagai pemain utama.
Putri Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid, itu juga berharap, rakyat akan memilih dengan sungguh-sungguh. Artinya, mencari pemimpin yang dalam pandangan mereka bisa membawa rakyat lebih sejahtera, bangsa lebih maju, dan Indonesia lebih baik. Memilih pemimpin nasional tidak bisa hanya dengan mempertimbangkan gimik pada calon. Sebab, hal itu tidak bisa menjadi ukuran kemampuan memimpin Indonesia yang tidak hanya luas, tetapi juga kompleks.
Oleh karena itu, kata Alissa, di tengah masa kampanye yang tengah berlangsung ini, para kandidat yang akan berkontestasi pada Pilpres 2024 harus turut bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Kampanye yang dilakukan tak bisa sekadar mengedepankan aspek hiburan dengan menggunakan beragam gimik.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas melihat, kampanye yang sudah dilaksanakan dalam beberapa waktu terakhir semakin mengindikasikan ketidakjujuran dalam berbagai hal. Kekhawatiran masyarakat akan tidak independennya TNI dan Polri juga semakin masif.
”Jika praktik ini berjalan dan aparat penegak hukum lumpuh perannya, hakikatnya pemilu sudah gagal sejak awal menjadi pemilu yang jurdil (jujur dan adil),” ujar mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Bagi Busyro, perlu dipertanyakan untuk apa negara mengeluarkan anggaran triliunan untuk pemilu jika agenda tersebut digunakan sebatas untuk memaksakan nafsu pemenangan pihak tertentu. Apalagi itu dilakukan dengan cara yang tidak adil. Ditambah, sebelum kampanye terjadi skandal moral di Mahkamah Konstitusi yang kontroversial.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani berharap, kampanye pada Pemilu 2024 ini berjalan dengan aman. Siapa pun pemimpin yang terpilih nanti, pesta demokrasi harus bisa berjalan dengan baik tanpa ada kerusuhan, konflik, atau dampak lain yang mengganggu stabilitas keamanan.
Menurut Shinta, yang terpenting dalam proses pemilu adalah berlangsung dengan aman, jujur, dan adil. Ia menegaskan, prinsip bertanding tetapi pada akhirnya bisa bersanding perlu menjadi prinsip utama yang dipegang setiap kandidat yang berlaga dalam pemilu, termasuk pada saat kampanye.
”Mungkin pemimpin itu bisa saja berkompetisi, tetapi harapannya nanti mereka juga bisa bekerja sama dalam pemerintahan dengan menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik dan menjadikan tujuan utama membentuk arah Indonesia yang lebih baik sebagai perekat sinergi,” tutur Shinta.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem Willy Aditya berharap kampanye bisa berjalan aman, lancar, dan damai. Seluruh kontestan dapat berkampanye tanpa khawatir adanya intimidasi dan tekanan ketika menyampaikan gagasan serta ide pada calon pemilih. Para kontestan juga perlu bertanding secara adil, sehat, dan mencerdaskan. Tidak perlu saling menjelek-jelekkan kandidat lain.
Bagi pemilih, periode kampanye bisa dimanfaatkan untuk menyeleksi siapa calon yang layak dipilih pada 14 Februari 2024. Pemilih diminta untuk tidak hanya menagih janji para kandidat, tetapi juga kemampuan dan pengetahuan. Bertanyalah, apakah calon yang akan dipilih layak untuk menjadi pemimpin.
”Pilihlah calon yang tidak hanya punya janji, tetapi juga kapasitas. Lihatlah betul-betul, janji bisa dibuat, janji bisa disusun, tetapi rekam jejak tidak bisa direkayasa,” tutur Willy.
Politikus senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, kampanye Pemilu 2024 sebenarnya bisa dipakai untuk mengevaluasi performa parpol dengan menilai hasil kerja para kadernya di DPR sepanjang periode 2019-2024. Para wakil rakyat di DPR yang memiliki kapasitas, pengetahuan, dan integritas bisa lebih dipanggungkan dalam kampanye. Namun, dalam sistem pemilu proposional daftar terbuka, ia justru khawatir calon anggota legislatif yang memiliki modal sosial yang baik seperti kerja-kerja nyata di masyarakat justru akan kalah dengan caleg-caleg bermodal popularitas dan finansial.
Menurut dia, semestinya para caleg dan anggota DPR yang berprestasi semestinya diberi kesempatan untuk dipanggungkan dan disosialisasikan ke masyarakat. Selain itu, ia juga berharap baik caleg maupun capres diberi ruang untuk memaparkan gagasannya mengenai isu-isu tertentu, seperti Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, pemberantasan korupsi, pengentasan rakyat dari kemiskinan dan tengkes, keindonesiaan dan persatuan, dan isu substantif lainnya. Dengan demikian, kampanye bisa benar-benar menjadi adu gagasan yang konstruktif bagi sirkulasi kepemimpinan elite ke depan.
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, Pemilu 2024 agak berbeda karena diselenggarakan di fase menentukan dalam konteks bagian dari perjalanan bangsa menunju Indonesia Emas 2045. Karena itu, jangan sampai kampanye ini hanya jadi kontestasi yang tidak bermuatan substansi.
”Rakyat harus disuguhkan gagasan-gagasan yang menjadi perdebatan publik menuju 2045. Karena kita ingin memastikan, siapa pun yang terpilih nanti itu memahami substansi persoalan,” ujar Bima.
Sebagai kepala daerah, Bima mengaku, menghadapi berbagai persoalan harian di masyarakat yang tidak mudah, seperti menyelesaikan masalah stunting (tengkes), memanfaatkan bonus demografi, mengantisipasi infrastruktur kesehatan ketika menghadapi pandemi, hingga menyediakan pendidikan. Untuk itu, sangat disayangkan apabila susbtansi kampanye dari para kontestan pemilu, termasuk partai politik, tidak masuk ke wilayah itu.
Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) itu mengungkapkan, dirinya bersama para wali kota lain sebenarnya telah mengawali ajang kontestasi gagasan itu ketika para capres diundang dalam Rapat Kerja Nasional XVI Apeksi di Makassar, Sulsel, pertengahan Juli 2023. Kontestasi semacam itulah yang, menurut dia, harus terus berlanjut. (DEA/PDS/WIL)