logo Kompas.id
Politik & HukumJelang Pemilu 2024,...
Iklan

Jelang Pemilu 2024, Kemerosotan Demokrasi Jadi Masalah

Pembentukan kebijakan diwarnai benturan kepentingan yang dengan sengaja dibuat untuk menguntungkan sekelompok orang. Oleh karena itu, pemilu harus jadi ajang untuk sarana koreksi sosial.

Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
· 5 menit baca
Wakil Pemimpin Umum <i>Kompas </i>Budiman Tanuredjo memimpin diskusi <i>Satu Meja The Forum Spesial Pemilu </i>episode Membaca Indonesia” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (20/12/2023). Diskusi ini membahas sejumlah masalah serius yang dihadapi Indonesia, seperti kemiskinan, buruknya demokrasi, serta pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang lemah.
TANGKAPAN KAYAR

Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo memimpin diskusi Satu Meja The Forum Spesial Pemilu episode Membaca Indonesia” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (20/12/2023). Diskusi ini membahas sejumlah masalah serius yang dihadapi Indonesia, seperti kemiskinan, buruknya demokrasi, serta pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang lemah.

Jelang Pemilu 2024, Indonesia menghadapi sejumlah masalah serius, seperti kemiskinan, merosotnya demokrasi, serta lemahnya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Untuk itulah sejumlah pengamat mendorong agar masyarakat jeli memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak dan program kerja yang tidak melanggar demokrasi dan keadilan bagi masyarakat.

Pemikir kebinekaan, Sukidi, menuturkan, beberapa tahun terakhir masyarakat dipertontonkan dengan praktik politik kemunafikan. Misalnya, masyarakat dijanjikan pemberantasan korupsi. Tetapi, yang terjadi justru banyaknya kasus korupsi yang merugikan masyarakat. Selain itu, masyarakat juga dijanjikan penegakan hukum, tetapi justru terjadi intervensi lembaga hukum untuk melayani kepentingan politik tertentu.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Ia mengungkapkan hal itu dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum Spesial Pemilu episode ”Membaca Indonesia” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (20/12/2023) malam. Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo tersebut, hadir pula Profesor Riset Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Nurhani; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto; peneliti Imparsial, Al Araf; pakar hukum tata negara Bivitri Susanti; pengamat politik Fachry Ali; Sekjen Transparency Internasional Indonesia Danang Widoyoko; Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Mohamad Ikhsan; dan Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi.

Menurut Sukidi, demokrasi dibunuh secara perlahan, gradual, dan sistematis. ”Pembunuhan demokrasi dilakukan begitu halus sehingga nyaris tidak terdeteksi. Masyarakat baru menyadari sekarang saat ada kemerosotan demokrasi,” ujarnya.

Baca juga: Mahasiswa dan Dosen Serukan Kegelisahan atas Ancaman Demokrasi dan Keadilan

Menurut Sukidi, demokrasi dibunuh secara perlahan, gradual, dan sistematis.

Titik kesadaran muncul setelah masyarakat melihat adanya manipulasi hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai Sukidi sebagai skandal terbesar Indonesia. Keputusan MK terkait batas usia capres dan cawapres itu dinilai memberi karpet merah bagi Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka bisa ikut berkompetisi di Pilpres 2024 mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.

Negara kekuasaan

Guru Besar Fakultas Hukum UI Sulistyowati Irianto menilai, negara hukum di Indonesia telah berubah menjadi negara kekuasaan. ”Ada tiga pilar di dalam negara hukum, yaitu prosedur formal membuat hukum sebagai pilar demokrasi, pilar hak asasi manusia, dan mekanisme independensi lembaga pengadilan. Tiga-tiganya sudah tidak ada. Sekarang, hukum dibuat sesuai keinginan penyelenggara negara,” katanya.

Pemikir kebinekaan Sukidi menjadi pembicara dalam diskusi <i>Satu Meja The Forum Spesial Pemilu </i>episode “Membaca Indonesia” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (20/12/2023). Diskusi ini membahas sejumlah masalah serius yang dihadapi Indonesia, seperti kemiskinan, buruknya demokrasi, serta pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang lemah.
TANGKAPAN KAYAR

Pemikir kebinekaan Sukidi menjadi pembicara dalam diskusi Satu Meja The Forum Spesial Pemilu episode “Membaca Indonesia” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (20/12/2023). Diskusi ini membahas sejumlah masalah serius yang dihadapi Indonesia, seperti kemiskinan, buruknya demokrasi, serta pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang lemah.

Dengan bergesernya negara hukum menjadi negara kekuasaan, terjadi praktik-praktik pelanggaran yang merugikan masyarakat. Misalnya, ada kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Hal ini merugikan masyarakat karena korupsi dan penegakan hukum yang lemah meningkatkan salah satunya kemiskinan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang atau 9,36 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, kecuali pada September 2020 dan 2022. Kenaikan angka kemiskinan pada September 2022 terjadi setelah adanya kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Sementara kenaikan jumlah penduduk miskin pada September 2020 terjadi karena pandemi Covid-19.

Baca juga: Pembahasan Revisi UU ITE Belum Tuntas, Bisa Ancam Keseimbangan Demokrasi

Disebabkan masalah hukum

Sulistyowati mengatakan, tingginya angka kemiskinan terjadi bukan hanya karena masalah ekonomi, melainkan juga hukum, yaitu adanya kelompok masyarakat yang terlempar dari akses keadilan. Dalam perspektif hukum dan hak asasi manusia, masyarakat seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Iklan

”Seharusnya ditanyakan ’kamu mengalami apa, butuh apa?’. Termasuk dalam alokasi APBN dan APBD. Namun, (masyarakat) terlempar dari akses keadilan,” katanya.

Buruknya sistem hukum dan praktik-praktik korupsi membuat ketimpangan terjadi yang berujung pada pemiskinan masyarakat. Ia menyebutkan, hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.

Dikutip dari independent.co.uk, Selasa (23/1/2018), sembilan miliarder terkaya menguasai kekayaan sama dengan yang dimiliki oleh 4 miliar orang termiskin dunia.

Guru Besar Fakultas Hukum UI Sulistyowati Irianto menjadi pembicara diskusi <i>Satu Meja The Forum Spesial Pemilu </i>episode “Membaca Indonesia” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (20/12/2023).
TANGKAPAN KAYAR

Guru Besar Fakultas Hukum UI Sulistyowati Irianto menjadi pembicara diskusi Satu Meja The Forum Spesial Pemilu episode “Membaca Indonesia” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (20/12/2023).

Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi menjelaskan, kemiskinan di Indonesia terjadi karena masyarakat dipindahkan dari sumber kehidupan mereka. Hadirnya perusahaan-perusahaan tambang yang masif, misalnya, telah menciptakan kantong-kantong kemiskinan baru.

”Selama ini masyarakat tidak butuh uang karena ada air, udara, dan tumbuhan di sekitar mereka. Ketika alam hancur, mereka jadi butuh uang. Bekerja di (perusahaan) tambang memang meningkatkan pendapatan, tetapi tidak meningkatkan kesejahteraan,” ujarnya.

Berdasarkan penelitian Walhi sejak 1999 sampai sekarang, setiap tahun politik, penerbitan izin pendirian perusahaan tambang meningkat sebanyak 300 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Pendirian perusahaan tambang ini dinilai menguntungkan sejumlah elite politik dan merugikan masyarakat.

Dugaan mengenai eksploitasi alam berlebihan untuk kepentingan politik senada dengan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menyebut transaksi mencurigakan menjelang Pemilu 2024 disinyalir bersumber, antara lain, dari kejahatan di bidang pertambangan, lingkungan hidup, dan judi (Kompas, 20/12/2023).

Hadirnya perusahaan-perusahaan tambang yang masif, misalnya, telah menciptakan kantong-kantong kemiskinan baru.

Bantuan sosial

Zenzi menilai, program bantuan sosial dari negara tidak menyelesaikan persoalan. Keberadaan bantuan sosial justru merawat kemiskinan. ”Apa yang diinginkan masyarakat adalah berproduksi. Tidak ada yang mau mendapat bansos. Jadi, mau membuat masyarakat sejahtera, kembalikan ruang produksi rakyat,” katanya.

Pengamat politik Fachry Ali mengatakan, ada perbedaan kepentingan antara masyarakat dan elite politik. ”Di tingkat elite (politik), partai berbeda-beda, tetapi kepentingannya sama, yaitu ekonomi. Kepentingan elite ini tidak identik dengan kepentingan rakyat,” ujarnya.

Deretan bendera partai politik peserta Pemilu 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Deretan bendera partai politik peserta Pemilu 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).

Situasi semakin rumit ketika partai-partai oposisi bekerja sama dengan pemerintah. Pada akhirnya, dua kekuatan besar ini, yaitu partai politik dan pemerintah, bekerja sama menguasai sumber daya alam demi kepentingan kelompoknya. Hal ini membuat distribusi ekonomi tidak merata dan merugikan kepentingan masyarakat.

Sama seperti Zenzi, Fachry mengkritik program bansos. Menurut dia, bansos dikeluarkan oleh negara dengan sudut pandang rasa kasihan kepada masyarakat. ”Ini seperti penyuapan (bribery) yang terjadi di negara-negara Eropa, yaitu memberikan bantuan sosial agar masyarakat patuh,” ujarnya.

Peneliti Imparsial, Al Araf, mengatakan, pemilu harus jadi ajang untuk sarana koreksi sosial. Ia mengajak masyarakat jeli memimpin yang tidak melanggar hukum dan demokrasi. ”Kita harus berani bilang tidak terhadap pemimpin yang mengacak-ngacak konstitusi,” katanya.

Baca juga: Biaya Politik Tinggi Sumbang Kemunduran Demokrasi

Sementara itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, pembentukan kebijakan diwarnai benturan kepentingan yang dengan sengaja dibuat untuk menguntungkan sekelompok orang. Yang pegang kekuasaan menyalahgunakan (hukum) untuk ambil uang rakyat. Bagaimana masyarakat bisa mematuhi hukum pada saat orang yang punya kekuasaan menggunakan hukum untuk kepentingan dia dan kelompoknya,” kata Bivitri.

Ia mengajak masyarakat berani membongkar praktik-praktik hukum yang tidak adil dan mengungkap kepada publik. ”Partisipasi politik masyarakat terjadi tidak lima tahun sekali, tetapi setiap hari,” katanya.

Editor:
MADINA NUSRAT
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000