logo Kompas.id
Politik & HukumKoalisi Perempuan Serukan...
Iklan

Koalisi Perempuan Serukan Tujuh Catatan Kegentingan Demokrasi

Koalisi perempuan serukan 7 catatan kegentingan situasi demokrasi menjelang Pemilihan Presiden 2024. Visi-misi para capres-cawapres belum sepenuhnya berpihak pada hak kelompok rentan termasuk perempuan.

Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
· 4 menit baca
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah (kiri) berbicara dalam acara Deklarasi Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Deklarasi ini diserukan oleh 33 perempuan yang mewakili berbagai organisasi perempuan dan intelektual. Mereka menyatakan sikap atas lemahnya keberpihakan terhadap perempuan dalam visi, misi, dan agenda yang diusung calon presiden pada Pemilu 2024.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah (kiri) berbicara dalam acara Deklarasi Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Deklarasi ini diserukan oleh 33 perempuan yang mewakili berbagai organisasi perempuan dan intelektual. Mereka menyatakan sikap atas lemahnya keberpihakan terhadap perempuan dalam visi, misi, dan agenda yang diusung calon presiden pada Pemilu 2024.

JAKARTA, KOMPAS - Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan Hak Asasi Manusia serukan tujuh catatan kegentingan situasi demokrasi menjelang Pemilihan Presiden 2024. Mereka menilai visi-misi, dan rencana program para calon presiden dan wakil presiden belum sepenuhnya berpihak pada hak kelompok rentan termasuk perempuan.

Deklarasi Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM itu digaungkan oleh lebih dari 30 organisasi perempuan dan intelektual yang prihatin atas lemahnya keberpihakan dalam visi-misi, serta gagasan yang disampaikan capres dalam debat perdana sebelumnya. Tujuh catatan kegentingan demokrasi dan situasi bangsa itu disampaikan bertepatan dengan 95 tahun Gerakan Perempuan Indonesia, Jumat (22/12/2023).

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Direktur Institut Kapal Perempuan, Budhis Utami, mengatakan, deklarasi itu merupakan bentuk tanggung jawab atas kondisi demokrasi yang genting saat ini. Menurut dia, pembahasan kelompok rentan baik itu kaum perempuan, anak, orang dengan disabilitas, lansia, masyarakat adat, suku minoritas, belum banyak disinggung dalam visi-misi, kampanye, dan rencana program unggulan tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pilpres 2024 ini.

”Deklarasi ini merupakan bentuk tanggung jawab moril kami dalam mengawal demokrasi yang selama beberapa tahun telah terjadi pembiaran dan penyimpangan yang berdampak langsung atau tidak langsung pada terhambatnya pencapaian keadilan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya,” kata Budhis.

Baca Juga: Demokrasi di Persimpangan

Keroposnya demokrasi

Situasi yang memprihatinkan itu, di antaranya terlihat dari keroposnya sendi-sendi demokrasi yang ditandai dengan nepotisme, oligarki korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan melalui hukum dan pelemahan lembaga-lembaga anak kandung demokrasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

”Praktik pelanggaran etika politik, korupsi, dan nepotisme juga berdampak pada buruknya agenda keadilan jender di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa politik tidak berintegritas yang menghasilkan demokrasi cacat. Jika hal ini dibiarkan hasilnya adalah bencana politik bagi kelompok rentan yang tidak setara dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya,” imbuhnya.

Para deklarator menyerukan Deklarasi Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Deklarasi ini diserukan oleh 33 perempuan yang mewakili berbagai organisasi perempuan dan intelektual. Mereka menyatakan sikap atas lemahnya keberpihakan terhadap perempuan dalam visi, misi, dan agenda yang diusung calon presiden pada Pemilu 2024.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Para deklarator menyerukan Deklarasi Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Deklarasi ini diserukan oleh 33 perempuan yang mewakili berbagai organisasi perempuan dan intelektual. Mereka menyatakan sikap atas lemahnya keberpihakan terhadap perempuan dalam visi, misi, dan agenda yang diusung calon presiden pada Pemilu 2024.

Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia menambahkan, pemenuhan hak sipil dan politik perempuan atas representasi perempuan di parlemen juga mengalami kemunduran. Upaya affirmative action yang dijamin oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 sebagai ratifikasi konvensi dari The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) masih terhambat oleh kepentingan partai politik yang masih patriarkis. Mereka meletakkan isu perempuan sebagai isu pelengkap semata. Akibatnya, keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam daftar calon tetap (DCT) calon legislatif Pemilu 2024 tidak terpenuhi.

”Keterwakilan perempuan tidak benar-benar mampu menyuarakan kepentingan perempuan secara substantif. Sebaliknya, pembatasan berbasis diskriminasi jender yang tak kentara telah menghambat pencalonan perempuan secara sistematis,” jelasnya.

Iklan

Lebih jauh, Mutiara Ika dari Ketua Perempuan Mahardhikka menyebut ada pemiskinan berbasis jender yang berlangsung secara sistematis yang berangkat dari asumsi yang bias jender seperti pendataan keluarga berbasis kepala keluarga atau lelaki. Akibatnya, banyak perempuan kehilangan akses mereka pada bantuan yang menjadi hak mereka.

Ada pemiskinan berbasis jender yang berlangsung secara sistematis yang berangkat dari asumsi yang bias jender seperti pendataan keluarga berbasis kepala keluarga atau lelaki.

Komisioner Komnas HAM Anies Hidayah juga menyoroti soal masih minimnya data yang dimiliki negara tentang jumlah perempuan yang mengalami tindak kekerasan pada peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Data terkait jumlah perempuan yang mengalami tindak kekerasan pada Peristiwa 1965, misalnya, masih minim. Padahal, kekerasan yang mereka alami telah menghilangkan martabat mereka sebagai manusia dan perempuan.

Banyak di antara mereka yang sudah wafat dan usianya sangat lanjut. Mereka hidup sendiri, terkucil, dan mendapatkan stigma sebagai anggota Partai Komuinis Indonesia (PKI) yang terus menjadi momok. Demikian pula para korban kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998, sampai saat ini juga belum tertangani secara hukum.

”Banyak korban belum menerima haknya dan isu pelanggaran HAM berat masa lalu ini masih menjadi isu yang terus-menerus digulirkan. Kami berharap impunitas tidak terus-menerus terjadi dalam pergantian kepemimpinan ini,” kata Anies.

Kerusuhan di Jakarta 1998
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Kerusuhan di Jakarta 1998

Adapun, terhadap situasi tersebut, Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM juga menuntut tujuh hal terhadap pemangku kepentingan. Di antaranya adalah penegakan demokrasi dan supremasi hukum sehingga pemilu bisa berlangsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta menjamin netralitas TNI, Polri, aparatur sipil negara (ASN). Penyelenggara pemilu juga dituntut untuk melaksanakan pemilu yang berkompeten, berintegritas, dan melindungi hak perempuan.

Untuk mewujudkan cita-cita keadilan itu, para calon presiden dan calon wakil presiden diharapkan menjamin pemenuhan hak sipil, dan politik perempuan serta representasi perempuan di parlemen dengan pemenuhan HAM sebagai agenda prioritas.

Baca Juga: Rasa Keadilan dan Stabilitas Politik

Tuntutan untuk capres

Calon presiden dan calon wakil presiden juga diminta untuk menempatkan penghapusan praktik pemiskinan perempuan dan memastikan pemenuhan hak ekonomi, sosial budaya. Selain itu, memberi dukungan terhadap pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM), perlindungan bagi pekerja informal baik pekerja rumahan, memastikan adanya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, pekerja migran, pekerja perawatan dan pengasuhan tak berbayar serta memberikan perlindungan sosial yang komprehensif.

Para kandidat juga diminta menindaklanjuti implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan membuat peraturan turunan serta memperkuat layanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi semua perempuan dan perempuan korban kekerasan seksual.

Lebih lanjut, calon presiden dan calon wakil presiden juga diminta berjanji untuk menerbitkan kebijakan tentang keadilan iklim, penghapusan praktik pengelolaan yang eksploitatif, serta menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) perubahan iklim yang responsif jender, inklusi disabilitas, dan inklusi sosial.

Tak kalah penting, para calon diminta menghapuskan segala bentuk dan praktik diskriminasi terhadap perempuan, anak, perempuan lanjut usia, kepala keluarga, dan perempuan marjinal lainnya. Terakhir, mereka diminta untuk menuntaskan penyelesaian 12 pelanggaran HAM berat yang telah diakui oleh negara termasuk kekerasan seksual pada perempuan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Editor:
MADINA NUSRAT
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000