Meski Haris dan Fatia Lolos, Pasal Karet UU ITE dan KUHP Baru Masih Jadi Ancaman
Meski Fatia dan Haris divonis bebas, ancaman kriminalisasi dari jeratan pasal karet UU ITE dan KUHP baru masih ada.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak hanya rentan menyasar kelompok kritis seperti aktivis. Masyarakat biasa pun terancam karena masih ada pasal-pasal karet di revisi kedua UU ITE dan Kitab Undang-udang Hukum Pidana baru.
Catatan Institut for Criminal Justice Reform (ICJR), hingga akhir 2023, masih ada korban-korban kriminalisasi UU ITE seperti kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (8/1/2024). Para korban kriminalisasi itu, antara lain, Bintatar Sinaga, Septia Dwi Pertiwi, dan Daniel Frits M Tankilisan.
Bintatar Sinaga ditetapkan sebagai tersangka penghinaan atau pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang ITE, Pasal 310, 311, dan 315 KUHP karena kritiknya terhadap mantan pejabat di suatu kampus. Peneliti ICJR Nur Ansar mengatakan, penggunaan pasal karet UU ITE dalam kasus itu menjadi janggal karena korban menyampaikan kritikannya melalui orasi di muka umum, bukan melalui media sosial dalam lingkup digital.
Septia Dwi Pertiwi juga dilaporkan oleh atasannya dan ditetapkan sebagai tersangka karena mengeluhkan pengalaman kerjanya di kantor melalui media sosial. Adapun, Daniel Frits Tankilisan yang merupakan aktivis lingkungan Pulau Karimunjawa ditetapkan sebagai tersangka dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE karena mengkritik kebijakan tambak udang yang merusak lingkungan.
”Kasus-kasus ini hanya menjadi sedikit dari banyaknya kasus kriminalisasi UU ITE lainnya yang kerap kali terjadi dan menyerang ruang kritis masyarakat,” kata Nur Ansar saat dihubungi, Selasa (9/1/2024).
Kasus-kasus ini hanya menjadi sedikit dari banyaknya kasus kriminalisasi UU ITE lainnya yang kerap kali terjadi dan menyerang ruang kritis masyarakat.
Vonis bebas terhadap Fatia-Haris yang dibacakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemarin, menurut Nur Ansar, memang bisa menjadi secercah harapan bagi perlindungan kebebasan sipil, termasuk kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Pertimbangan majelis hakim yang menegaskan bahwa kritik terhadap pejabat publik atau kebijakannya adalah sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi harus menjadi preseden untuk penyelesaian kasus-kasus kriminalisasi pasal karet KUHP baru dan revisi kedua UU ITE.
Kritik terhadap penguasa dilindungi dalam negara demokratis.
”Kritik terhadap penguasa dilindungi dalam negara demokratis,” tegas Nur Ansar.
Masih terus berlanjut
Direktur Eksekutif Safenet Nenden Sekar Arum menambahkan, ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi masih terus berlanjut. Banyak kasus kriminalisasi yang tidak tersorot media dan mendapatkan atensi publik sehingga tekanan publik agar korban kriminalisasi mendapatkan keadilan masih minim.
Ironisnya, revisi kedua UU ITE, yang baru saja disahkan oleh DPR, masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah itu akan memperpanjang ancaman bagi publik untuk mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia.
Safenet menemukan bahwa revisi kedua UU ITE atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo itu, masih mempertahankan masalah lama. Di revisi kedua UU ITE itu masih ada pasal-pasal karet yang digunakan untuk mengkriminalisasi warga sipil, di antaranya Pasal 27 Ayat (1) hingga (4), Pasal 28 Ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik, hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.
Bahkan, DPR dan pemerintah juga masih menambahkan ketentuan baru seperti Pasal 27 A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang dan Pasal 27 B yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis.
”Bahkan, DPR dan pemerintah juga masih menambahkan ketentuan baru seperti Pasal 27 A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang dan Pasal 27 B yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis,” ujar Nenden.
Ia berharap putusan bebas Fatia-Haris kemarin bisa menjadi contoh bagi penegak hukum yang sedang menangani kasus dengan pasal bermasalah UU ITE. Aparat penegak hukum perlu memiliki perspektif yang baik terkait perlindungan kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Polisi, jaksa, dan hakim juga diharapkan lebih bijak ketika menangani laporan dengan pasal karet.
Doktrin kebebasan sipil
Pengajar Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman mengatakan, masyarakat memang patut khawatir dengan KUHP baru dan revisi kedua UU ITE yang masih mengancam kebebasan sipil. Undang-undang diskriminatif yang mengadopsi hukum draconian itu bisa memperburuk situasi demokrasi di Indonesia.
Ke depannya, perlu dipikirkan bagaimana instrumen hukum dibuat sejalan dengan doktrin kebebasan sipil dan berpendapat.
”Ke depannya perlu dipikirkan bagaimana instrumen hukum dibuat sejalan dengan doktrin kebebasan sipil dan berpendapat,” katanya.
Menurut dia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah membuat Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. Hal itu bisa dijadikan pedoman oleh aparat penegak hukum untuk memberikan ruang bagi perlindungan kebebasan sipil. Saat menangani kasus-kasus pasal karet UU ITE, SNP yang dibuat Komnas HAM itu bisa dipedomani sehingga kasus tidak perlu berlarut sampai ke pengadilan. Proses berlarut-larut di pengadilan bisa menimbulkan rasa takut bagi publik untuk bersuara kritis.
Saat ini, Haris dan Fatia juga sedang menggugat norma pasal pencemaran nama baik di Mahkamah Konstitusi. MK diminta untuk menyatakan bahwa pasal pencemaran nama baik inkonstitusional. Namun, menurut Herlambang, gugatan itu tidak akan berdampak begitu signifikan karena yang digugat adalah pasal di Undang-Undang ITE lama. Sementara itu, pembentuk UU saat ini sudah mengesahkan revisi kedua UU ITE.