Indeks Integritas Nasional Turun, Risiko Korupsi Meningkat
KPK merilis, Indeks Integritas Nasional tahun 2023 berada di angka 70,97, turun dari capaian tahun-tahun sebelumnya.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Risiko korupsi di Indonesia meningkat menyusul turunnya integritas lembaga pemerintahan, baik pusat maupun daerah, pada 2023. Selain sistem pengadaan barang dan jasa, penyebab fundamental turunnya integritas lembaga pemerintahan di antaranya adalah tingginya ongkos pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serta lemahnya sistem pendanaan partai politik.
Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (26/1/2024), merilis, Indeks Integritas Nasional 2023 berada di angka 70,97 atau dibulatkan menjadi 71. Angka tersebut didapat dari hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2023 terhadap 508 pemerintah kabupaten/kota, 38 pemerintah provinsi, serta 93 kementerian/lembaga.
Angka tersebut tidak hanya di bawah target integritas nasional, yakni 74, tetapi juga turun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2022, Indeks Integritas Nasional berada di angka 71,94 dan 2021 di angka 72,43.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan, hasil SPI 2023 menunjukkan tren penurunan Indeks Integritas Nasional. Hal ini, secara sederhana, bisa diartikan risiko korupsi di lembaga pemerintahan semakin tinggi.
”Fakta bahwa Indeks Integritas Nasional secara umum cenderung turun mengindikasikan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sistem tata kelola, regulasi, dan komitmen yang harus diperbaiki,” kata Johanis saat peluncuran hasil survei SPI di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/1/2024).
Hadir pada kesempatan ini, di antaranya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas dan Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri Tomsi Tohir Balaw.
Ongkos politik tinggi
Johanis mengungkapkan, ada sejumlah persoalan fundamental yang menyebabkan turunnya Indeks Integritas Nasional selama tiga tahun terakhir. Salah satunya adalah tingginya ongkos politik, baik untuk pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Kondisi itu diperparah dengan lemahnya pendanaan partai politik.
Hasil SPI 2023 menunjukkan tren penurunan Indeks Integritas Nasional. Hal ini, secara sederhana, bisa diartikan risiko korupsi di lembaga pemerintahan semakin tinggi.
Tingginya biaya politik mengakibatkan tidak sedikit pejabat hasil pemilu ataupun pilkada berupaya mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk pemenangan. Tidak sedikit pula pejabat yang terpaksa melibatkan sponsor dalam pemenangan dengan janji mendapat kompensasi proyek jika sang pejabat memenangi kontestasi.
Penyebab lainnya adalah pengawasan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang belum optimal. ”Akselerasi implementasi e-catalogue di samping e-procurement dengan fitur e-audit sebagai fungsi pengawasan perlu segera disematkan. Dengan demikian, celah bagi pengaturan barang dan jasa dapat dipersempit,” kata Johanis.
KPK bertekad melakukan pencegahan dan penindakan tegas terhadap kasus-kasus korupsi. Dengan demikian, diharapkan risiko rasuah bisa diturunkan.
Perkuat SPBE
Abdullah Azwar Anas mengungkapkan, Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan untuk memperkuat Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE). Salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional.
Menurut Azwar, perpres itu mengatur cetak biru keterpaduan layanan pemerintahan secara digital (govtech). Aplikasi SPBE prioritas itu akan mengintegrasikan aplikasi-aplikasi layanan publik milik pemerintah pusat dan daerah yang saat ini jumlahnya mencapai puluhan ribu. ”Ke depan, ribuan aplikasi akan diintegrasikan menjadi satu portal layanan,” ujarnya.
Dengan penguatan SPBE itu diharapkan celah penyelewengan atau korupsi di lembaga pemerintahan bisa dipersempit. Selain itu, masyarakat juga akan terlayani dengan lebih baik lagi.
Sementara itu, Tomsi Tohir menyampaikan, Kemendagri akan meminta seluruh kepala daerah menjadikan hasil SPI sebagai bahan evaluasi. Kemendagri juga merencanakan untuk memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang tidak bersedia melakukan perbaikan.