Pengunjuk rasa menggelar pertunjukan ”Sinau Matematika Bersama KPU” sebagai satire atas proses rekapitulasi suara.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·3 menit baca
Suasana lengang kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) DI Yogyakarta di Jalan Ipda Tut Harsono, Kota Yogyakarta, berubah riuh, Selasa (20/2/2024). Sekitar 100 orang menyuarakan aspirasinya terkait proses rekapitulasi suara Pemilu 2024, termasuk di antaranya sejumlah ”siswa SD”.
Tentu saja, mereka bukanlah siswa sekolah dasar sungguhan. Mereka adalah peserta aksi yang memakai seragam merah-putih layaknya siswa SD, lengkap dengan topi dan dasinya. Aksi dari Gerakan Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (Garda) ini hendak mengungkapkan satire melalui pertunjukan teaterikal yang dinamakan ”Sinau(belajar) Matematika Bersama KPU”.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Aksi ini sebagai wujud keprihatinan terhadap proses rekapitulasi suara Pemilu 2024 secara nasional yang dinilai banyak kejanggalan. Salah satunya perihal adanya suara yang ”menggelembung” untuk calon tertentu.
Maka, jadilah halaman depan kantor KPU DIY siang itu disulap menjadi ruang kelas. Peserta aksi membawa meja dan kursi, lengkap dengan papan tulis. Tak lupa mereka juga membawa sejumlah buku berhitung untuk tingkat SD.
Di latar belakang, spanduk besar bertuliskan ”SD Negeri Koplak” berdiri. Koplak berarti konyol. Tingkah yang diperankan peserta aksi itu pun dibuat seperti anak-anak SD yang penuh kelucuan dan kekonyolan.
Seorang ”anak” lantas maju ke papan tulis, kemudian menuliskan ”5 + 5 = 200”. ”Anak” yang lain lalu mengikuti, menuliskan ”150 + 150 = 2.100”. ”Pinter toh aku?” ujar ”anak” itu yang disambut tawa peserta aksi lainnya.
Aksi tersebut dimaksudkan menyindir proses rekapitulasi suara pemilu yang saat ini dilakukan KPU. Penghitungan tersebut dinilai banyak kekeliruan, bahkan dituding sebagai kesengajaan untuk memenangkan calon tertentu.
Agus Becak, perwakilan pengunjuk rasa, menyebut aksi itu mewakili rakyat Yogyakarta yang prodemokrasi dan penjaga konstitusi. ”Kami datang ke kantor KPU menyampaikan aspirasi keprihatinan bahwa pemilu kali ini benar-benar pemilu yang sangat gila, di mana kecurangan sangat nyata sekali di depan kita,” ujarnya.
Agus pun menyatakan, pihaknya tidak terima dengan hasil pemilu yang seperti ini. ”Ini bukan masalah pasangan calon 01, 02, atau 03, tetapi ini adalah bagaimana kita menjaga demokrasi Indonesia, menjaga konstitusi. Inilah aspirasi kami,” katanya.
Terkait dengan pertunjukan satire yang dibawakan dalam unjuk rasa itu, Agus menyebut, ini untuk menunjukkan bahwa KPU perlu belajar lagi matematika tingkat SD sebelum melakukan rekapitulasi suara. ”Kami menuntut pemilu jujur dan adil sesuai konstitusi. Kalau terbukti kecurangan-kecurangan ini, maka kami mohon pemilu diulang kembali,” ujar Agus.
Aksi ini menjadi bagian dari aspirasi masyarakat dalam mengawal proses pemilu hingga tuntas.
Ketua KPU DIY Ahmad Shidqi pun menemui para pengunjuk rasa. Perwakilan pengunjuk rasa lalu menyerahkan buku berjudul ”Paling Pintar Matematika Sebelum Usia Sekolah” kepada Ahmad sebagai simbol aspirasi mereka.
Ahmad, saat diwawancarai wartawan, menyatakan, aksi ini menjadi bagian dari aspirasi masyarakat dalam mengawal proses pemilu hingga tuntas. ”Kami justru berterima kasih dan mengapresiasi bahwa proses pemilu ini dikawal tidak hanya sampai 14 Februari, tetapi sampai proses rekapitulasi juga,” ucapnya.
Terkait tudingan kecurangan, Ahmad menjelaskan, asumsi ini muncul karena adanya kekeliruan sistem Sirekap membaca plano hasil rekapitulasi di tempat pemungutan suara (TPS). Sirekap merupakan sistem informasi rekapitulasi yang dipakai KPU dalam Pemilu 2024.
Kondisi itulah yang memunculkan anomali pada sejumlah hasil rekapitulasi yang ditayangkan di situs KPU. Ahmad mencontohkan, anomali itu tampak jelas, di antaranya dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di satu TPS yang tertulis mencapai 800 orang. Padahal, satu TPS hanya melayani maksimal 300 pemilih.
”Inilah yang kemudian dalam beberapa hari ini dikoreksi oleh KPU melalui Sirekap sekaligus ini dikoreksi melalui rapat pleno berjenjang di tingkat kecamatan. Jadi, begitu ada angka yang tak sesuai plano, operator Sirekap langsung memperbaikinya,” ujarnya.
Meski begitu, Ahmad mengatakan, pada prinsipnya Sirekap ini justru menunjukkan transparansi yang diterapkan KPU karena semua proses rekapitulasi suara bisa diketahui oleh publik.
”Publik bisa mengoreksi, plano juga bisa diketahui publik. Kalau tidak ada publikasi itu, malah ’gelap’ semua,” katanya.