Hari Pers, Momentum Media di Indonesia Bertahan dari Disrupsi Digital
Inovasi produk jurnalistik dan model bisnis menjadi strategi perusahaan media untuk menghadapi disrupsi digital.
JAKARTA, KOMPAS — Hari Pers Nasional yang puncaknya diperingati pada Selasa (20/2/2024) sore di Jakarta, menurut rencana, akan ditandai dengan pengumuman Presiden Joko Widodo soal penerbitan peraturan presiden tentang publisher rights atau regulasi yang mengatur kerja sama antara penerbit media dan platform digital. Regulasi tersebut menjadi salah satu strategi media di Indonesia bertahan dari gempuran disrupsi digital.
Disrupsi teknologi informasi dan komunikasi menuntut media massa bersiasat agar terus bertahan menyajikan informasi berkualitas. Sejumlah media beradaptasi dalam lingkaran digitalisasi dan berinovasi produk serta model bisnis. Upaya ini diharapkan mendapat dukungan dari pemerintah.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, belasan media cetak berhenti terbit karena gempuran digital. Media arus utama atau media konvensional lain menerapkan berbagai cara dan strategi agar terus bertahan dan berkelanjutan.
Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Maria Yuliana Benyamin meyakini, kendati disrupsi digital menjadi tantangan besar, industri media tidak akan mati. Sebab, kata Maria, kebutuhan informasi akan tetap ada dan bahkan terus meningkat. Perubahan ada pada medium informasi tersebut.
Baca juga: Adaptasi Saja Tak Cukup, Media Mesti Terus Berinovasi
Bisnis Indonesia tetap mempertahankan koran cetak, tetapi dengan konten yang lebih komprehensif dan analitik. Hal itu diterapkan agar pembaca mendapatkan nilai tambahan, sesuatu yang membedakan dari berita media daring.
Selain tetap mempertahankan koran cetak, Bisnis Indonesia juga bertransformasi secara digital dengan menyediakan e-paper atau surat kabar dalam format elektronik yang dapat diakses dengan berlangganan. Tujuannya agar media ini tetap memenuhi kebutuhan pembaca yang lebih nyaman mengakses informasi secara digital.
Tak hanya itu, Bisnis Indonesia juga menyediakan laman berita daring dan beragam bentuk berita multimedia lain.
”Kami berusaha agar tetap relevan dengan berinovasi dari segi produk jurnalistik. Inovasi produk secara niscaya membuat kami juga harus berinovasi dari segi model bisnis. Kami mengembangkan model bisnis yang kemudian menjadi sumber pendapatan baru, tidak hanya dari iklan dan sirkulasi,” ucap Maria saat dihubungi, Selasa (20/2/2024).
Kami berusaha agar tetap relevan dengan berinovasi dari segi produk jurnalistik. Inovasi produk secara niscaya membuat kami juga harus berinovasi dari segi model bisnis.
Media cetak menghadapi dilema pendapatan iklan yang menurun, sedangkan pendapatan iklan di media digital juga belum dapat diandalkan. Pendapatan iklan di kancah media digital masih didominasi raksasa teknologi Amerika Serikat, Google dan Facebook.
Baca juga: Jalan Panjang Pers Indonesia dari Masa Penjajahan hingga Era Digital
Oleh karena itu, muncul model bisnis baru bagi media cetak, yakni dengan model berlangganan atau subscriber. Model bisnis ini mengharuskan pembaca membayar sejumlah uang agar dapat menikmati layanan informasi di portal media.
Pembaca yang telah membayar akan menikmati berbagai keuntungan, mulai dari berita tanpa gangguan iklan hingga sajian-sajian khusus yang disebut sebagai konten premium.
Model berlangganan ini diterapkan harian Kompas melalui platform digital Kompas.id. Pemimpin Redaksi Kompas (Kompas.id) Sutta Dharmasaputra mengatakan, media arus utama global sekarang umumnya mengembangkan bisnis model digital subscription.
Sebab, model bisnis ini tidak bergantung pada platform digital. Alhasil, media memiliki ekosistem untuk menjaga audiensnya sendiri.
”Jadi, dengan berlangganan, kita bisa punya pelanggan. Kami juga bekerja sama dengan pelanggan karena kita punya data pelanggan,” kata Sutta.
Itu berbeda dengan model situs gratis yang tidak memiliki data pelanggan. Sebab, data pelanggan ada di Google.
Model digital subscription juga tidak bergantung pada platform global sehingga ekosistemnya menunjang jurnalistik yang lebih baik. Sutta mencontohkan, pelanggan Kompas.id menuntut konten yang lebih baik dan cepat. Mereka tidak ingin konten yang hanya sekadar clickbait.
Kedalaman konten menjadi hal yang penting karena pelanggan sudah berbayar. Beberapa contoh konten yang disukai pelanggan Kompas.id yakni jurnalisme data, investigasi, riset, opini, analisis internasional, analisis terkait dengan perkembangan teknologi, dan lain-lain.
Tinggalkan cara konvensional
Pemimpin Redaksi Detik.com Alfito Deannova mengamini bahwa media tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama untuk bisa hidup. Selama ini, kata Alfito, media bertahan dengan pola konvensional, yakni dengan membuat konten, lalu konten mendatangkan pembaca dan jumlah pembaca ditawarkan untuk konversi eksposure pengiklan.
Media daring tidak berbayar seperti Detik.com pun sempat bertahan dengan cara yang sama.
Namun, Detik.com lantas mengubah pendekatan tersebut. Selain menghitung kembali sumber daya yang dimiliki serta pengeluaran agar operasional berjalan efisien, Detik.com juga mencari alternatif potensi bisnis lain yang dapat dikembangkan.
Dua di antaranya ialah kerja sama dengan pemangku kebijakan dan menyelenggarakan acara-acara tertentu.
”Kami menghadapi tantangan dengan menerapkan pandangan beyond media, tidak bisa lagi dengan pola masa lalu. Dalam pengelolaan platform, kami mengoptimalisasi konvergensi dengan konten multimedia. Dalam mencari iklan, kami menjalin kerja sama yang tanpa mengorbankan obyektivitas, keberimbangan, ataupun independensi kami,” tutur Alfito.
Strategi serupa diterapkan oleh koran Jawa Pos yang kini membentuk Jawa Pos Media. Di dalam Jawa Pos Media terdapat koran Jawa Pos, JawaPos.com, JawaPos TV, dan Event. Pemimpin Redaksi JawaPos.com Dhimas Ginanjar Satria Perdana mengatakan, tiap-tiap platform Jawa Pos bisa hidup karena memiliki strategi dan tidak saling ”memakan” platform.
JawaPos.com tidak hanya mengandalkan pendapatan programmatic atau iklan digital seperti Google Ads. Terlebih, nama besar yang dijaga membuat JawaPos.com tidak dapat mengandalkan traffic dengan artikel bombastis maupun clickbait. Pendapatan datang dari pengiklan langsung.
”Klien yang terus tumbuh itu membuat pendapatan kami dari iklan langsung sangat mendominasi. Hal itu yang membuat kami bisa tumbuh sebagai perusahaan sehat dan bisa menopang perusahaan,” ucapnya.
Adapun model bisnis keanggotaan atau membership ditempuh oleh Project Multatuli agar bertahan di era digital. Pembaca tidak hanya memberikan dana, tetapi juga waktu, keahlian, atau jaringan dengan terlibat dalam proses redaksional.
Kami menghadapi tantangan dengan menerapkan pandangan beyond media, tidak bisa lagi dengan pola masa lalu. Dalam pengelolaan platform, kami mengoptimalisasi konvergensi dengan konten multimedia.
Direktur Eksekutif Project Multatuli Evi Mariani mengatakan, pihaknya melakukan diversifikasi sumber pendapatan. Terdapat pendapatan dari donatur besar, usaha jasa konten dan komunikasi, serta pendapatan dari pembaca melalui keanggotaan.
”Kami mengambil jalan keanggotan dengan program Kawan M karena kami tidak mau paywall seperti model berlangganan. Kami ingin laporan-laporan kami dapat bisa dibaca siapa saja. Kalau melayani yang dipinggirkan, tetapi kalau yang dipinggirkan tidak mudah mengakses, kan jadi tidak konsisten,” tutur Evi.
Evi menambahkan, Project Multatuli memutuskan menjauh dari model bisnis yang disetir pasar dan menawarkan slow journalism. Produk yang ditawarkan ialah laporan mendalam, cerita manusia, dan fokus pada mereka yang dipinggirkan.
”Jadi, dari sisi itu kami berusaha bersaing, membuat produk yang berbeda. Kami juga meliput mereka yang tak diliput media lain. Misalnya, kurir shoppingonline dan bagaimana mereka bekerja sehari-hari. Serial #SekrupKecil kami, tentang kurir, salah satu yang paling banyak dibaca. Kami tidak menyangka, tulisan sepanjang 11 ribu kata bisa viral,” ujarnya.
Regulasi
Seperti media lainnya, majalah mingguan Gatra yang juga memiliki platform digital Gatra.com beradaptasi dalam lingkaran digitalisasi dan berinovasi produk serta model bisnis. Pemimpin Redaksi Gatra.com Mukhlison S Widodo mengatakan, Gatra.com membuka sumber pendapatan baru seperti menggelar seminar dan pelatihan.
Ada pula kerja sama dalam bentuk penyebaran informasi untuk konter kabar bohong. Upaya-upaya ini dilakukan sembari membentuk budaya berlangganan berita.
Namun, media juga butuh dukungan dari pemerintah melalui kehadiran regulasi seperti peraturan presiden mengenai hak penerbit atau publisher rights.
Senada dengan Mukhlison, Maria mengatakan, industri media sudah berkembang menjadi ekosistem yang besar dengan kehadiran banyak media baru dan media sosial. Adaptasi dan inovasi yang diterapkan media-media arus utama juga perlu dibarengi regulasi agar mewujudkan jurnalisme sehat dan berkualitas.
Regulasi dari pemerintah akan menjadi bentuk dukungan untuk tujuan besar tersebut.
Untuk itu, Maria menanti ”angin segar” dari pengesahan. Menurut Maria, regulasi ini akan menaikkan posisi tawar media arus utama di tengah serbuan media sosial dan platform asing. Regulasi tersebut direncanakan akan diumumkan oleh Presiden Joko Widodo dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional yang akan digelar di Jakarta, Selasa (20/2/2024) sore.
Media harus mandiri
Dalam menghadapi disrupsi digital, menurut Ketua Dewan Pakar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI Agus Sudibyo, media massa harus memiliki posisi tawar yang baik. Perusahaan media bisa berkolaborasi dengan platform media secara teknologi dan bisnis, tetapi harus memiliki kemandirian.
Sebagai contoh, lalu lintas pendistribusian konten tidak bergantung pada platform digital.
”(Kalau bergantung pada platform digital) itu akan mudah sekali mengalami krisis, jika tiba-tiba plaform (digital) mengubah teknologinya, mengubah algoritmanya. (Media massa) harus memiliki kemandirian terhadap teknologi yang disuplai oleh platform (digital),” kata Agus.
Selain itu, perusahaan media perlu menggunakan semua opsi untuk meningkatkan pendapatan seperti mekanisme berlangganan (subscription). Dalam rangka memiliki daya tawar yang baik, ujar Agus, negara perlu hadir untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat yakni melalui publisher rights.
Agus mengatakan, gelombang perubahan tidak spesifik hanya dilakukan media massa konvensional. Akibatnya, sampai sekarang belum ada kepastian apakah nanti akan berujung dengan disrupsi digital secara total.
Ia mengungkapkan, di Uni Eropa terjadi titik keseimbangan baru, yakni media lama berdampingan dengan media baru. ”Yang artinya media cetak itu tidak akan hilang sepenuhnya nanti karena masing-masing memiliki spesialisasi sendiri-sendiri,” kata Agus.
Baca juga: Tantangan Pers Bebas di Era Disrupsi
Dari sisi wartawan, kata Agus, mereka harus familier dengan teknologi dalam memproduksi konten. Namun, ia mengingatkan bahwa teknologi tidak sepenuhnya menggantikan fungsi manusia dalam mencari, mengolah, dan menyajikan informasi. Adaptasi teknologi tidak sama dengan menyerahkan sepenuhnya pada teknologi.
Sebagai contoh, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) tidak bisa menggantikan sepenuhnya fungsi manusia. AI tidak bisa menghasilkan teks, gambar, dan video yang sepenuhnya tepat karena data yang dipakai tidak universal.