Menyampaikan Kebenaran Jadi Hukum Tertinggi di Bidang Jurnalistik
Ketika naluri jurnalisme digerakkan, akan selalu ada upaya menguak yang tertutup, membongkar yang ingin ditenggelamkan.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pers yang selama ini kerap dikonstruksikan sebagai pilar keempat demokrasi memang berada pada posisi tidak mudah. Bagi sebagian orang, pers saat ini bukan sebagai sarana untuk mendapatkan kebenaran faktual, melainkan sebagai pembenaran keyakinan.
Padahal, kebenaran diungkapkan oleh pers dengan menguji informasi dari mana pun dan disajikan kepada publik. Menyampaikan kebenaran adalah hukum tertinggi di bidang jurnalistik.
Hal itu disampaikan pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Karlina Supelli dalam diskusi bedah buku dan peluncuran buku berjudul Satu Meja Mengawal Kasus Sambo: Menjaga Danyang Jurnalisme dan Merawat Keindonesiaan dan Kemanusiaan karya wartawan Kompas, Budiman Tanuredjo, di Bentara Budaya, Jakarta, Senin (26/2/2024).
Dalam kesempatan itu juga hadir sebagai narasumber yakni mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Periode 2019-2024 Mahfud MD, pemikir kebangsaan Sukidi, serta Pemimpin Redaksi Narasi Zen Rachmat Sugito.
Menurut Karlina, tak ada hukum yang tertinggi dalam bidang jurnalistik kecuali menyampaikan kebenaran. Namun, saat ini kebenaran tidak bisa hanya diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh pihak otoritas resmi.
”Saya menangkap satu napas dari kedua buku itu, yakni mengajak pembaca atau manusia mencari kebenaran. Apalagi di era post truth yang membuat kebenaran itu telah direkayasa dan dihancurkan, maka buku ini dengan metode jurnalistik mengajak agar tidak langsung percaya begitu saja terhadap informasi yang disampaikan secara resmi saja,” ujar Karlina.
Karlina berpandangan, jika kerja jurnalisme hanya menyampaikan apa yang diyakini benar atau apa yang dikatakan benar, institusi media itu akan hancur. Jurnalis harus bisa memenuhi keingintahuan masyarakat dengan berusaha menyajikan informasi yang terbuka. Kebenaran, dari mana pun sumbernya, dapat diuji dan diyakini.
”Pentingnya kemerdekaan pers bagi masyarakat sipil dan teman-teman jurnalis. Dengan kemerdekaan pers, kebenaran sebagai penyikapan kebohongan yang menumpuk saat ini bisa diatasi,” ujar Karlina.
Mahfud MD menambahkan, selama menjabat sebagai menteri, ia selalu dibantu wartawan dalam mendorong kerjanya mengungkap kasus-kasus hukum. Ia mencontohkan sejumlah kasus yang berhasil didorong di pemerintahan atas peran media dan insan pers.
Di era post truth yang membuat kebenaran itu telah direkayasa dan dihancurkan, maka buku ini dengan metode jurnalistik mengajak agar tidak langsung percaya begitu saja terhadap informasi yang disampaikan secara resmi.
Salah satunya, kasus kematian Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (nonaktif) Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang terjadi pada pertengahan 2022.
Menurut Mahfud, kasus ini dapat dibongkar karena ada peran media yang terus mengawal. Dengan peran pers tersebut, telah berhasil membongkar skenario tembak-menembak yang direncanakan sang atasan, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, kepada bawahannya, yakni Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang.
”Kalau tidak ada (media), kasus Duren Tiga ini akan hilang. Maka itu ada jurnalistik dan pers sebagai pilar demokrasi, itu sudah berperan sangat baik. Ketika saya bekerja sebagai pejabat, itu ada kasus kok sulit sekali diungkap, ada yang menghalangi, ada pejabat backing, saya teriak aja ke wartawan dan pers bisa membantu,” ujar Mahfud.
Pemikir kebangsaan Sukidi mengatakan, dua buku karya Budiman Tanuredjo ini ingin menyampaikan kepada publik bahwa tugas jurnalisme bukan untuk menjiplak penguasa, melainkan mengkritik penguasa. Kerja jurnalistik juga difungsikan untuk merawat keindonesiaan dan kemanusiaan.
Ketika saya bekerja sebagai pejabat, itu ada kasus kok sulit sekali diungkap, ada yang menghalangi, ada pejabat backing, saya teriak aja ke wartawan dan pers bisa membantu.
Jurnalisme yang berlandaskan metode dan etika dalam memproses informasi dengan obyektivitas dan kebenaran dapat dijadikan sandaran publik untuk memelihara rasionalitas dalam menghadapi fakta.
Perihal kebenaran pun diutarakan Sukidi. ”Ketika kebenaran sedang dihancurkan, yang bermain adalah perasaan. Ketika pemimpin selalu berbohong, rakyat tidak bisa membedakan mana perasaan dan kebenaran,” ujar Sukidi.
Menurut Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, jurnalisme mempunyai fungsi melakukan kontrol sosial. Fungsi mengawal dan melakukan kontrol sosial itu selalu terasa menonjol untuk memperjuangkan ”danyang” jurnalisme. ”Danyang” itu dalam artian keseharian adalah sebagai spirit sebuah media.
Ketika kebenaran sedang dihancurkan, yang bermain adalah perasaan. Ketika pemimpin selalu berbohong, rakyat tidak bisa membedakan mana perasaan dan kebenaran.
Apalagi, sejarah jurnalisme Kompas adalah terus menggugat pada proses hukum yang kadang timpang. Bagi Kompas, keterbukaan adalah roh keadilan dan untuk melawan ketidakjujuran. ”Naluri jurnalisme ketika digerakkan, maka akan selalu ada upaya untuk menguak yang tertutup, dan selalu ada dorongan untuk membongkar sesuatu yang ingin ditenggelamkan,” kata Budiman.