MK Nilai Angka 4 Persen Inkonstitusional, Berapa Ambang Batas Parlemen Ideal?
MK menilai ambang batas parlemen 4 persen inskonstitusional. Lalu, berapa ambang batas parlemen ideal untuk Indonesia?
Mahkamah Konstitusi telah menyatakan ketentuan ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional seperti diatur di dalam Pasal 414 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu inkonstitusional. Selain karena ditentukan tanpa dasar yang jelas, besaran ambang batas tersebut terbukti membuat pemilu yang diselenggarakan dengan menggunakan sistem proporsional justru menjadi tidak proporsional. Tidak sedikit suara rakyat yang terbuang karena partai politik dan calon wakil rakyat yang mereka dukung gagal masuk parlemen lantaran terbentur ambang batas 4 persen suara sah nasional.
Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan agar pembentuk undang-undang merevisi ketentuan ambang batas parlemen 4 persen tersebut untuk diberlakukan pada Pemilu 2029. Ambang batas parlemen 4 persen dari suara sah nasional masih bisa diberlakukan untuk Pemilu 2024 ini.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Putusan MK tersebut tentu menyisakan pekerjaan rumah bagi DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang untuk membahas secara lebih serius dan komprehensif mengenai ketentuan ambang batas parlemen. Termasuk di antaranya menentukan berapa besaran angka atau persentase ideal agar hasil pemilu tetap proporsional dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dengan penerapan ambang batas, yaitu menyederhanakan sistem kepartaian.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditengok beberapa pertimbangan MK hingga sampai pada kesimpulan bahwa angka 4 persen tersebut inkonsitusional.
Pada dasarnya, MK sependapat dengan dalil yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) selaku pemohon uji materi ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold mengenai tidak adanya pijakan yang jelas dalam menentukan angka 4 persen. Begitupun ketika besaran angka atau persentase ambang batas parlemen tersebut berubah dari pemilu ke pemilu, MK tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai yang digunakan pembentuk undang-undang.
Baca juga: MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, tapi Tak Berlaku di Pemilu 2024
Padahal, besaran angka ambang batas itu telah berdampak pada konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Artinya, menurut MK, jika mengacu pada basis argumentasi sistem pemilihan proporsional yang dianut, jumlah suara yang diperoleh partai politik peserta pemilu selaras dengan jumlah kursi yang diraih di parlemen. Ini agar hasil pemilu menjadi proporsional.
Faktanya tidak demikian. Pada Pemilu 2019, misalnya, Partai Golkar yang meraih suara lebih sedikit 17.229.789 suara (12,31 persen) dari Partai Gerindra (12,57 persen) justru mendapat kursi lebih banyak. Golkar berhasil menguasai 85 kursi DPR, sedangkan Gerindra mendapatkan 78 kursi di lembaga legislatif itu.
Begitu pula Partai Nasdem dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai Nasdem yang meraih 9,05 persen suara sah nasional mendapatkan 59 kursi DPR. Sementara PKB yang meraup 9,69 persen suara sah nasional justru mendapatkan 58 kursi DPR. Pun demikian dengan Partai Demokrat dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kursi Partai Demokrat di DPR lebih banyak, yakni 54 kursi, dibandingkan PKS (50 kursi) meskipun perolehan suara PKS 0,44 persen lebih tinggi dari Demokrat.
Selain itu, sistem proporsional semestinya juga meminimalkan suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi disproporsional. Kenyataannya, jumlah suara yang tidak terkonversi dalam Pemilu begitu tinggi. Misalnya, terdapat 19.047.481 suara sah atau 18 persen dari suara sah nasional yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi pada Pemilu 2004.
Pada 2014, jumlah suara sah yang tidak terkonversi lebih sedikit, yakni 2.964.975 suara atau 2,4 persen dari total suara sah nasional. Namun, meski jumlah suara yang tidak terkonversi lebih sedikit, secara faktual jumlah parpol di DPR lebih banyak dibanding hasil Pemilu 2009 dan 2019, yakni 10 partai.
”Bentangan empirik tersebut menegaskan telah terjadi disproporsionalitas antara suara pemilih dan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR. Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan memilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif,” kata Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Melihat hal tersebut, MK menilai ketentuan ambang batas 4 persen secara jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan (Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945). Kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih.
Meski berpandangan demikian, MK tidak bersedia masuk ke ranah pembentuk undang-undang dengan menetapkan besaran angka ambang batas parlemen baru. MK tetap berpandangan bahwa besaran angka/persentase ambang batas parlemen merupakan ranah pembentuk undang-undang. MK hanya memberikan catatan, ambang batas parlemen mesti ditetapkan dengan menggunakan dasar metode dan argumentasi yang memadai sehingga mampu meminimalkan disproporsionalitas antara suara sah dan penentuan jumlah kursi di DPR sekaligus memperkuat penyederhanaan partai politik.
Ambang batas efektif
Mengenai ketentuan ambang batas yang lebih mendekati ideal, Perludem punya perhitungannya.
Memang, seperti diakui oleh Perludem dalam berkas permohonan yang diajukan ke MK, sejak 2015, lembaga ini sudah meneliti dan mendorong agar ketentuan ambang batas parlemen dirumuskan di dalam proses legislasi dengan basis penghitungan yang betul-betul rasional. Mereka juga menekankan pentingnya meminimalkan terbuangnya suara pemilih.
Hasil penelitian itu diwujudkan dalam Kodifikasi UU Pemilu usulan koalisi masyarakat sipil tahun 2016 yang diajukan sebagai usulan kelompok masyarakat sipil ke Badan Legislasi (Baleg) DPR saat membahas draf UU No 7/2017. Namun, dari enam kali rapat kerja Pansus UU Pemilu yang membahas mengenai ambang batas parlemen, Perludem mencatat sama sekali tidak ditemukan pembahasan mengenai basis penghitungan angka dengan mempertimbangkan suara terbuang dan proporsionalitas pemilu.
Baca juga: 15,6 Juta Suara Bakal ”Terbuang”, Pemilih Terpaksa Berpaling ke Partai Lain
Tak ada perdebatan mengenai pijakan akademis yang jelas dalam merumuskan ambang batas parlemen. Perdebatan yang ada mengacu pada risalah pembahasan draf UU No 7/2017, hanya berkisar pada besaran angka, tanpa menghitung dampaknya terhadap prinsip pemilu proporsional dan suara pemilih yang terbuang.
Lantas, seperti apa tawaran yang diajukan oleh Perludem? Fadli Ramadhanil dari Perludem mengusulkan agar penentuan ambang batas parlemen menggunakan rumus Taagepera yang menjadikan besaran daerah pemilihan dan kursi legislatif sebagai basis penghitungan. Ambang batas parlemen efektif dihitung dengan cara membagikan 75 persen dengan rata-rata daerah pemilihan ditambah satu yang dikalikan dengan akar dari jumlah daerah pemilihan. Dengan menggunakan rumus tersebut, kata Fadli Ramadhanil, ambang batas parlemen efektif di Indonesia adalah 1 persen dari suara sah nasional.
Perludem meyakini angka 1 persen tersebut mampu menyaring partai politik yang tidak mendapatkan dukungan signifikan dari pemilih untuk masuk ke DPR sekaligus mampu menjaga hasil pemilu proporsional tetap proporsional. Perludem pun sudah menyimulasikan jika ambang batas parlemen efektif diterapkan.
Pada Pemilu 2009, misalnya, dengan ambang batas parlemen 2,5 persen suara sah nasional, ada sembilan dari 38 partai politik peserta pemilu yang lolos dan mendapatkan kursi di DPR. Sementara jika menggunakan ambang batas 1 persen, Perludem menghitung, akan ada 15 partai politik yang lolos ke DPR.
Dengan menggunakan rumus tersebut, ambang batas parlemen efektif di Indonesia adalah 1 persen dari suara sah nasional.
Sementara itu, jumlah suara terbuang jika dengan menggunakan ambang batas 2,5 persen adalah 19.047.841 suara. Namun, apabila ambang batas parlemen efektif 1 persen diterapkan, suara terbuang berkurang menjadi 10.146.823 suara.
Adapun pada Pemilu 2014, dengan ambang batas parlemen 3,5 persen, 10 dari 12 partai politik peserta pemilu berhasil melenggang ke Senayan dan suara terbuang mencapai 2.964.975 suara. Sementara jika menggunakan ambang batas parlemen efektif 1 persen, partai yang lolos ke DPR diperkirakan berjumlah 10 partai dengan suara terbuang 1.142.067. Artinya, apabila saat itu ambang batas yang digunakan adalah 1 persen, akan ada 1.822.908 suara yang terselamatkan karena terkonversi menjadi kursi.
Sementara itu, pada Pemilu 2019, dari 16 partai peserta pemilu, 13 di antaranya diperkirakan lolos ke DPR jika saat itu menggunakan ambang batas parlemen efektif 1 persen. Jumlah suara terbuang pun hanya 2.115.159. Sementara itu, dengan ambang batas 4 persen, hanya sembilan partai yang lolos ke parlemen dan suara terbuang mencapai 13.595.845.
”Penerapan ambang batas parlemen efektif seperti diuraikan di atas tidak hanya mampu menjaga proporsionalitas hasil sistem pemilu proporsional, tetapi juga mampu menghindarkan dari pelanggaran konstitusi akibat hilangnya hak partai politik meraih kursi di daerah pemilihan dan hak pemilih di satu daerah pemilihan memiliki wakil sendiri di DPR,” kata Fadli.
Namun, seluruh penhhitungan tersebut masih berupa tawaran. Angka ambang batas parlemen masih perlu dibahas lebih mendalam dengan menggunakan basis penghitungan yang jelas, mampu mengurangi jumlah suara pemilih yang tidak terkonversi, dan proporsional. Setidaknya demikian pesan dari MK.