Majelis hakim meminta JPU melanjutkan pemeriksaan terhadap Karen dalam kasus dugaan korupsi pembelian LNG PT Pertamina.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menolak eksepsi bekas Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan dalam sidangputusan sela yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/3/2024).
JAKARTA, KOMPAS — Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menolak eksepsi atau nota keberatan bekas Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawandalam kasus dugaan korupsi pembelian gas alam cair atau LNG dari Corpus Christi Liquefaction yang berbasis di Amerika Serikat. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan penolakan karena majelis hakim harus memeriksa saksi-saksi untuk mengetahui apakah Karen menerima uang atau tidak dalam kasus ini.
”Menyatakan keberatan dari terdakwa Karen Agustiawan dan dari penasihat hukum terdakwa tidak diterima,” kata Ketua Majelis Hakim Maryono yang didampingi hakim anggota, Sigit Herman Binaji dan Asmudi, dalam sidang putusan sela yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/3/2024).
Sidang dihadiri oleh jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karen juga hadir di persidangan dengan didampingi oleh penasihat hukumnya, Luhut MP Pangaribuan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan, untuk mengetahui dengan jelas apakah Karen menerima uang atau tidak dalam pembelian gas alam cair dari Corpus Christi Liquefaction yang berbasis di Amerika Serikat, harus diperiksa saksi-saksi dalam pokok perkara.
Majelis hakim juga sependapat dengan JPU KPK, bahwa penetapan tersangka dan penahanan terhadap Karen sah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Majelis hakim mempersilakan kepada penasihat hukum Karen untuk mengajukan ahli dan saksi yang meringankan.
Menyatakan keberatan dari terdakwa Karen Agustiawan dan dari penasihat hukum terdakwa tidak diterima.
Menanggapi eksepsi dari Karen bahwa tindakan yang dilakukannya melalui persetujuan direksi, komisaris, dan dewan komisaris, majelis hakim mempertimbangkan bahwa sebagai perwujudan prinsip perusahaan yang baik, maka pengambilan tindakan perusahaan harus dibuktikan dalam pokok perkara.
Majelis hakim juga mempertimbangkan kerugian keuangan negara yang dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan menolak eksepsi dari Karen, majelis hakim memerintahkan JPU untuk melanjutkan pemeriksaan perkara ini.
Majelis hakim mempertimbangkan bahwa sebagai perwujudan prinsip perusahaan yang baik, maka pengambilan tindakan perusahaan harus dibuktikan dalam pokok perkara.
Sebelumnya, di dalam dakwaannya JPU menyatakan bahwa Karen memberikan persetujuan pembelian LNG PT Pertamina dari Corpus Christi Liqeufaction tanpa melalui pedoman dan dasar yang jelas. Karen didakwa menerima uang dari Blackstone sebagai pemegang saham dari Cheniere Energy melalui Tamarind Energy Management yang merupakan perwakilan dari terdakwa senilai Rp 1,09 miliar dan 104.016,65 dollar AS sejak 28 April-29 Desember 2015.
Karen juga disebut telah diberikan jabatan oleh Blackstone sebagai senior advisor pada Private Equity Group yang merupakan salah satu anak perusahaan yang terafiliasi dengan Blackstone. Pemberian jabatan itu merupakan kompensasi atas tindakan Karen yang telah menjadikan PT Pertamina (Persero) sebagai pembeli LNG dari Corpus Christi LLC.
Akibat pembelian tersebut, PT Pertamina disebut mengalami kelebihan pasokan LNG karena belum menemukan pembelinya. Padahal, produk LNG bukan komoditas yang dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama sehingga PT Pertamina menjual rugi LNG-nya sebanyak 8 kargo dan membayar suspension fee untuk 3 kargo lainnya.
Akibat perbuatan terdakwa, Corpus Christi disebut telah diperkaya sebesar 113,83 juta dollar AS. Sebaliknya, negara mengalami kerugian keuangan negara sebesar 113,83 juta dollar AS. Karen juga disebut telah diuntungkan sebesar Rp 1,09 miliar dan 104.016,65 dollar AS (Kompas.id, 12/2/2024).
Seusai mendengarkan putusan sela dari majelis hakim, Karen tidak bertanya apa pun. Sementara itu, Luhut Pangaribuan mempertanyakan surat laporan hasil pemeriksaan investigatif dari BPK dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara yang belum diterima oleh pihak terdakwa.
Maryono mengatakan bahwa permintaan Luhut tersebut terkait dengan pokok perkara, maka ia meminta JPU untuk membuktikannya di persidangan. Sidang dilanjutkan pada 18 Maret 2024 dengan agenda pemeriksaan saksi.