Hari ini, 58 Tahun Lalu Supersemar: Jangan Sembarang Beri Mandat
58 tahun, keberadaan naskah asli Supersemar masih tak jelas. Namun, peristiwa ini tetap memberi pelajaran bagi sejarah.
Istana Bogor, Jawa Barat, hingga kini, menjadi saksi. 58 tahun lalu, di salah satu paviliun di kompleks Istana Kepresidenan itu, Presiden Soekarno menerima tiga perwira TNI AD, yakni Brigadir Jenderal Basuki Rahmat, Brigadir Jenderal M Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud pada 11 Maret 1966. Pada hari itu, lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Dengan Supersemar, kekuasaan Presiden Soekarno dilucuti satu per satu. Hingga akhirnya Jenderal Soeharto berkuasa.
Pengamat politik Agung Baskoro yang juga Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, saat dimintai tanggapan terkait relevansi Supersemar dalam kondisi politik saat ini, Senin (11/3/2024) ,di Jakarta, mengatakan, Supersemar yang sampai kini tak diketahui keberadaan naskah aslinya itu dinilai memberikan pembelajaran penting bagi publik.
Pembelajarannya, setiap gonjang-ganjing politik di level tingkat tinggi akan menghadirkan beragam ekses politik. ”Utamanya soal legitimasi pemerintah dan pemerintahan. Karena inilah yang menjadi asal-muasal klaim versi Jenderal Soeharto untuk melakukan suksesi kekuasaan dari Presiden Soekarno,” ujar Agung.
Menurut Agung, pelantikan Jenderal Soeharto ke kursi presiden RI setahun setelah Supersemar terbit sekaligus menjadi pelajaran bangsa. ”Artinya, siapa pun presiden yang hari ini, dan kelak berkuasa, harus hati-hati memberikan mandat. Dan parlemen bersama publik punya tanggung jawab besar mengawal jalannya demokrasi,” tambah Agung.
Baca juga: Supersemar, Transisi Kekuasaan Soekarno kepada Soeharto
Kehati-hatian memberikan mandat dibutuhkan agar apa pun mandat yang dititipkan tak disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Untuk menjatuhkan Bung Karno dari tampuk kekuasaan, sejarawan atau sekaligus Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam pernah menyebutkan bahwa pengemban Supersemar melakukan kudeta merangkak atau perlahan-lahan yang membuat Bung Karno terdongkel dari kekuasaan.
Dari pengamatan ini terlihat bahwa proses pengambilan kekuasaan itu dilakukan secara bertahap. ”Yang merupakan paradoksal di sini, lazimnya kudeta merupakan perebutan kekuasaan secara tepat dan tak terduga. Namun, di sini ternyata dilakukan secara berangsur-angsur atau bertahap, seperti pepatah Jawa, alon–alon waton kelakon (biar lambat asal tercapai),” kata Asvi.
Asvi melanjutkan, ternyata kudeta merangkak itu bukan saja dilakukan oleh Soeharto dan kelompoknya, tetapi juga dilaksanakan berbarengan dengan apa yang ia sebut sebagai ”kudeta merangkak” Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). MPRS berperan sangat besar secara yuridis untuk mengalihkan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto (Kompas, 30/9/2011).
Utamanya soal legitimasi pemerintah dan pemerintahan karena inilah yang menjadi asal-muasal klaim versi Jenderal Soeharto untuk melakukan suksesi kekuasaan dari Presiden Soekarno.
Potensi kudeta perlahan-lahan ini, menurut Agung, masih bisa saja terjadi di masa mendatang. ”Di titik ini, peran presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan menjadi krusial. Sebab, apabila ia tak optimal menjalankan tanggung jawabnya atau memiliki problematika konstitusional akut, kekhawatiran sejarawan Prof Asvi bisa terulang lagi,” tambahnya.
Namun, Agung menilai kemungkinan tersebut tergolong kecil di masa sekarang. Hal ini karena demokrasi di Indonesia secara prosedural semakin terkonsolidasi. Peran pers, masyarakat sipil, dan kemajuan teknologi yang menempatkan warga bisa turut berpartisipasi dalam mengawal demokrasi bisa ikut mencegahnya. Belum lagi termasuk negara-negara lain yang turut memantau perkembangan di negara di sekitarnya.
Utamanya soal legitimasi pemerintah dan pemerintahan arena inilah yang menjadi asal-muasal klaim versi Jenderal Soeharto untuk melakukan suksesi kekuasaan dari Soekarno.
Kondisi negara tak menentu
Sebagaimana ditulis dalam berbagai buku sejarah, ketiga perwira Angkatan Darat itu menjadi utusan Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Salah satu sebabnya, kondisi negara yang dianggap tidak menentu setelah pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalangnya.
Selain itu, harga-harga bahan pokok melonjak naik luar biasa sehingga menyebabkan inflasi membubung tinggi. Sejak Januari 1966, unjuk rasa mahasiswa terus bermunculan menjadi gelombang aksi yang memanaskan Ibu Kota.
Selain itu, harga-harga bahan pokok melonjak naik luar biasa sehingga menyebabkan inflasi membubung tinggi. Sejak Januari 1966, unjuk rasa mahasiswa terus bermunculan menjadi gelombang aksi yang memanaskan Ibu Kota.
Harian Kompas, edisi 14 Maret 1966, mencatat, saat itu harga bahan bakar naik dari Rp 250 menjadi Rp 1.000, tarif pos naik sepuluh kali, dan tarif kereta api naik delapan kali. Hal ini langsung berimbas pada harga kebutuhan sandang pangan.
Unjuk rasa kelompok mahasiswa, seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Pelajar Indonesia (KAPI), dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) terus bergelombang terjadi. Mereka menuntut supaya kenaikan harga ditinjau kembali dan meminta kabinet disusun ulang supaya bersih dari PKI.
Salah satunnya unjuk rasa besar-besaran terjadi pada 10 Januari 1966 di Sekretariat Negara setelah rapat umum KAMI, yang dihadiri Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), mendukung aksi mahasiswa untuk mendongkel Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno sempat mengundang mahasiswa KAMI mengikuti sidang kabinet paripurna di Istana Bogor pada 15 Januari 1966. Namun, hal tersebut tak meredakan amarah mahasiswa. Apalagi, susunan kabinet baru yang diumumkan Presiden Soekarno dinilai masih tidak memuaskan.
Salah satunya, unjuk rasa besar-besaran terjadi pada 10 Januari 1966 di Sekretariat Negara setelah rapat umum KAMI, yang dihadiri Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), mendukung aksi mahasiswa untuk mendongkel Presiden Soekarno.
Kemarahan memuncak ketika salah satu mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, tertembak saat unjuk rasa menuntut Tritura, 24 Februari 1966. Adapun tiga tuntutan rakyat (tTritura) itu adalah pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.
Pada 11 Maret 1966, semestinya Presiden Soekarno melantik Kabinet Dwikora atau Kabinet 100 Menteri. Namun, Panglima Pasukan Pengawal Presiden atau Tjakrabirawa Brigadir Jenderal Sabur melaporkan banyak pasukan tak dikenal yang kemudian diketahui anggota Pasukan Kostrad di bawah Mayor Jenderal Kemal Idris. Sidang pelantikan pun ditutup. Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh menuju Istana Bogor dengan helikopter.
Situasi dilaporkan kepada Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto yang absen dari sidang pelantikan dengan alasan sakit. Soeharto pun mengutus tiga perwira tinggi AD tersebut yang akhirnya mendapatkan Supersemar berisi mandat kepada Soeharto.
Naskah asli yang tak diketahui keberadaannya
Dalam Supersemar yang sampai saat ini tidak diketahui naskah aslinya itu, disebutkan tiga perintah kepada Panglima Angkatan Darat Mayjen Soeharto.
Setelah Supersemar ditandatangani, Soeharto membubarkan PKI dan menangkap lima belas anggota kabinet yang diduga terlibat G30S. Setelah keamanan stabil, MPRS justru mengukuhkan Supersemar melalui Tap No IX/MPRS/1966 dalam sidang 20 Juni sampai 5 Juli 1966. Presiden Soekarno akhirnya tidak bisa mencabutnya.
”Pertama, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketenangan, serta kestabilan pemerintahan, jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS. demi keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Kedua, untuk mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan panglima-panglima angkatan lain. Ketiga, supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnja seperti tersebut di atas”.
Baca juga: Yang Hilang dari Supersemar
Setelah Supersemar ditandatangani, Soeharto membubarkan PKI dan menangkap lima belas anggota Kabinet yang diduga terlibat G30S. Setelah keamanan stabil, MPRS justru mengukuhkan Supersemar melalui Tap No IX/MPRS/1966 dalam sidang 20 Juni sampai 5 Juli 1966. Presiden Soekarno akhirnya tidak bisa mencabutnya.
Setahun kemudian, 7 Maret 1967, Sidang Istimewa MPRS mengeluarkan Tap XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut Soekarno dari jabatan Presiden Indonesia, menarik mandat MPRS kepada Soekarno, dan mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang Supersemar sebagai pejabat presiden hingga terpilih presiden menurut hasil pemilu. Ketua MPRS Jenderal AH Nasution kemudian melantik dan mengambil sumpah Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI pada 12 Maret 1967.
Ironisnya, dalam perkembangan selanjutnya, AH Nasution yang menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno dan korban yang lolos dari pembunuhan Gestapu akhirnya disingkirkan. Nasution pada akhirnya tidak berperan sama sekali dalam kenegaraan ataupun militer pasca-Soekarno jatuh, kecuali Jenderal Soeharto di tampuk kekuasaannya hingga Reformasi 1998.