Semula 14 Hari, Sidang Sengketa Pilpres Realisasinya Tinggal 10 Hari Kerja
Peraturan MK mengatur waktu pelaksanaan sengketa pilpres hanya 10 hari kerja. MK pun siap merevisi ketentuannya.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan tahapan, kegiatan, dan jadwal penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU baik pemilu presiden/wakil presiden maupun pemilu legislatif. Berdasarkan jadwal yang dibuat, MK hanya membutuhkan waktu 10 hari kerja untuk menangani perkara PHPU pilpres.
Padahal, Pasal 475 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 74 Ayat (3) Huruf a UU No 7/2020 tentang MK mengatur bahwa waktu penyelesaian sengketa hasil pilpres paling lama 14 hari. Hari yang dimaksud adalah hari kerja.
Mengacu pada Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2023 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pada Lampiran II, MK membuka pendaftaran tiga hari setelah penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden oleh KPU.
Permohonan yang masuk dijadwalkan untuk dicatat dalam e-BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi) pada 25 Maret mendatang, dengan catatan menyesuaikan dengan penetapan hasil pemilu oleh KPU. Batas waktu penyelesaian perkara PHPU selama 14 hari kerja dihitung sejak permohonan sengketa diregistrasi atau dicatat dalam e-BRPK.
Baca juga: Tak Cukup 14 Hari Tangani Sengketa Pilpres, Hakim Perlu Buat Terobosan
Masih dalam Lampiran II PMK 5/2023, MK juga telah menetapkan agenda sidang pemeriksaan pendahuluan guna mengecek kelengkapan serta kejelasan materi permohonan sekaligus memeriksa dan mengesahkan alat bukti dilakukan pada 28 Maret 2024. Sidang selanjutnya adalah mendengarkan jawaban KPU, pihak terkait (pasangan calon yang dinyatakan memperoleh suara terbanyak oleh KPU), pemberi keterangan seperti Bawaslu berlangsung dari 2 April hingga 5 April atau selama empat hari.
MK juga telah menetapkan agenda sidang pemeriksaan pendahuluan guna mengecek kelengkapan serta kejelasan materi permohonan sekaligus memeriksa dan mengesahkan alat bukti dilakukan pada 28 Maret 2024.
Lalu, MK mengagendakan rapat permusyawaratan hakim (RPH) dan pengambilan keputusan pada 8 April hingga 15 April. Adapun pengucapan putusan dijadwalkan pada 16 April.
Jadwal yang ada di lampiran II PMK No 5/2023 belum disesuaikan dengan libur nasional ataupun cuti bersama dalam rangka hari raya Idul Fitri. Sebab, saat PMK dibuat, belum ada kejelasan kapan libur nasional tersebut.
SKB jadi acuan
Mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 855, 3, dan 4 Tahun 2023 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2024, tanggal 8, 9, 12, dan 15 diputuskan sebagai hari cuti bersama.
Artinya, apabila pengucapan putusan tetap dilakukan pada 16 April seperti yang sudah dijadwalkan oleh MK, lembaga tersebut hanya menggunakan waktu 14 hari kerja yang diberikan undang-undang menjadi 10 hari kerja.
Juru bicara MK, Enny Nurbaningsih, saat dikonfirmasi, mengungkapkan, jadwal yang ada di lampiran II PMK No 5/2023 belum disesuaikan dengan libur nasional ataupun cuti bersama dalam rangka hari raya Idul Fitri. Sebab, saat PMK dibuat, belum ada kejelasan kapan libur nasional tersebut.
”(Hal itu) Sudah dibahas, hanya belum diterbitkan revisi lampirannya,” kata Enny.
(Hal itu) Sudah dibahas, hanya belum diterbitkan revisi lampirannya.
Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna mengungkapkan, tidak ada masalah jika lampiran II PMK No 5/2023 yang memuat jadwal penanganan perkara PHPU pilpres direvisi. Apalagi revisi yang dibutuhkan hanya revisi minor.
Menurut Palguna, tanpa revisi pun, PMK itu sebenarnya tidak salah. Sebab, ketentuan 14 hari kerja tersebut merupakan batas waktu maksimal atau paling lama bagi MK untuk menangani perkara PHPU pilpres.
Baca juga: Memahami Perihal Sengketa Pilpres 2024 di MK
Hanya saja, ia juga sepakat bahwa waktu 14 hari untuk menangani sengketa hasil pilpres terlalu cepat. Sebab, meskipun perkaranya hanya satu, misalnya, daerah pemilihan (dapil) pemilu presiden adalah seluruh Tanah Air, bahkan hingga ke luar negeri.
”Khawatirnya, kalau kurang waktunya, tidak seluruh dalil atau bukti bisa dipertimbangkan. Itu bisa jadi persoalan baru lagi,” ujarnya.