Jumlah Perkara Sengketa Hasil Pemilu 2024 Diprediksi Lebih Banyak
MK diharapkan dapat mengatur penanganan perkara sehingga bisa memenuhi rasa keadilan yang diharapkan para pemohon.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diprediksi akan menangani perkara perselisihan suara pemilu legislatif DPR, DPD, dan DPRD dengan jumlah lebih banyak dibandingkan dengan saat Pemilu 2019. Ruang bagi subyek hukum yang bisa mengajukan permohonan cukup luas. Masalah di Pemilu 2024 pun lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 2019.
Berdasarkan data di situs resmi Mahkamah Konstitusi, pada Pemilu 2019, MK menangani 260 perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) legislatif DPR, DPRD, dan DPD. Dari 260 perkara itu, MK hanya mengabulkan 12 perkara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi, saat dihubungi, Jumat (22/3/2024), mengatakan, gugatan sengketa hasil pemilihan legislatif berpeluang bertambah karena ruang bagi subyek hukum yang bisa mengajukan permohonan cukup luas.
Bukan hanya partai politik, calon anggota legislatif juga berpeluang mengajukan sengketa selama mendapatkan surat persetujuan dari pengurus parpolnya. Di samping itu, masalah-masalah di pemilu kali ini lebih banyak dibandingkan dengan Pemilu 2019.
Banyak keluhan dalam proses penegakan hukum yang dianggap tak tertangani dengan baik. ”Dengan demikian, bisa saja masalah-masalah itu akan bermuara ke MK,” ujar Khairul.
Ia menambahkan, terkait dengan manajemen perkara karena tidak seluruh hakim konstitusi boleh menangani sengketa hasil pileg karena adanya konflik kepentingan dan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, menurut dia, hal itu tidak terlalu menjadi persoalan serius.
Sebab, Anwar Usman yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, misalnya, masih bisa menangani perkara di luar itu. Demikian juga dengan Arsul Sani, yang pernah menjadi kader Partai Persatuan Pembangunan, juga masih bisa menangani perkara yang lain di luar sengketa hasil pileg PPP.
”Komposisi pembagian hakim di setiap panel pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilu itu tetap sembilan. Yang terpenting memisahkan perkara yang ada potensi konflik kepentingan agar tidak ditangani hakim yang bersangkutan,” kata Khairul.
Menurut Khairul, hakim memiliki hak ingkar. Ada hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. Hakim yang punya konflik kepentingan terhadap suatu perkara harus menyatakan dirinya bisa menggunakan hak ingkar itu sehingga memudahkan pemilahan atau pembagian tugas penanganan perkara antarhakim.
”Saya termasuk yang tidak khawatir karena tidak semua memiliki konflik kepentingan. Saya yakin sembilan hakim konstitusi masih bisa bersidang dan membagi tugasnya dengan memperhatikan relasi antarhakim dengan pihak yang beperkara,” ujar Khairul.
Terkait dengan harapan para pencari keadilan agar MK tidak menjadi ”Mahkamah Kalkulator” dalam menangani PHPU, Khairul menyampaikan, selama ini MK juga tidak memosisikan lembaganya sebagai ”Mahkamah Kalkulator”. Namun, memang ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon.
Misalnya, apakah perkara itu sudah dilaporkan dan ditangani di Badan Pengawas Pemilu. MK selalu menanyakan kepada pemohon apakah dalil kecurangan itu sudah diproses secara hukum pemilu di Bawaslu.
”MK harus mendalami itu dulu. Jika seandainya dijawab sudah (ditangani) tetapi tidak efektif, ada masalah dalam penegakan hukum, atau tidak berjalan dengan baik, MK akan masuk ke situ. Itu batasan yang selama ini digunakan MK untuk masuk memeriksa sampai substansi perkara,” kata Khairul.
Ia yakin MK tidak akan terpaku pada perselisihan angka-angka selisih hasil perolehan suara, tetapi lebih berfokus pada pelanggaran pemilu yang memengaruhi proses pemilu dan berdampak mengubah hasil pemilu. Selama ini yang banyak dikeluhkan adalah pelanggaran proses pemilu di mana ada banyak dugaan pelanggaran politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan sehingga proses pemilu tercederai.
”Dengan alasan itu, bisa saja dijadikan orang sebagai dalil untuk mengajukan perselisihan hasil pemilu tergantung dari rasionalitas dalil yang dibangun dan ketepatan serta kekuatan bukti untuk membuktikan yang didalilkan,” kata Khairul.
Ia berharap MK bisa mengoreksi proses pemilu yang curang itu. Sebab, ruang yang dimiliki MK besar dalam memeriksa dan mengadili sengketa hasil pemilu.
MK tidak dibatasi dengan selisih perolehan hasil suara tertentu seperti saat menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Saat menangani sengketa hasil pilpres dan pileg, hakim bisa memeriksa sampai ke pokok permohonan karena tidak ada syarat formil seperti di sengketa hasil pilkada.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra pada Kamis (21/3/2024) malam menuturkan, MK telah mempersiapkan penanganan perkara sengketa hasil pileg dengan membagi tiga panel. Ketua panel masing-masing adalah Ketua MK Suhartoyo, Arief Hidayat, dan Saldi sendiri. Mereka dipilih berdasarkan representasi lembaga yang menunjuk, yaitu Mahkamah Agung, Presiden, dan DPR.
Suhartoyo menambahkan, terkait dengan posisi Arsul Sani apakah bisa ikut menangani perkara sengketa hasil pemilu, hal itu belum diputuskan melalui rapat hakim. Hak ingkar juga belum disampaikan oleh Arsul karena harus menunggu saat persidangan dimulai.
Suhartoyo menyebut bahwa MK siap bekerja dua kali lipat lebih keras untuk penanganan perkara PHPU. Sebab, jika sebelumnya hanya ada satu gugatan sengketa pilpres, kali ini diprediksi ada dua gugatan dari pihak yang kalah.
Dengan demikian, rentang waktu dari proses Buku Registrasi Perkara Konstitusi sampai dengan pemanggilan dan pengajuan pihak terkait akan memakan waktu dua hari. Lalu, sidang untuk penyampaian dan perbaikan permohonan selama dua hari.
Mendengarkan jawaban dan keterangan jawaban KPU serta pihak terkait Bawaslu, jawaban tergugat, pembuktian untuk masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden selama empat hari. Putusan sengketa hasil pilpres harus selesai selama 14 hari, tepatnya pada 22 April 2024. ”Nah iya, itu pasti, bekerja dua kali lipat daripada saat Pemilu 2019,” kata Suhartoyo.