Kerugian Negara Rp 271 Triliun, dari Mana Asalnya?
Ada banyak biaya yang masuk dalam kerugian Rp 271 triliun. Selain kerugian ekonomi dan lingkungan, juga biaya pemulihan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkara dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk 2015-2022 dinilai merugikan negara Rp 271 triliun. Nilai itu berasal dari berbagai jenis kerugian yang perlu ditanggung, yakni kerugian lingkungan dan ekonomi serta biaya pemulihan.
Kejaksaan Agung selaku penyidik sudah menetapkan 16 tersangka, baik dari pihak swasta maupun PT Timah. Kasus timah ini turut menyeret nama-nama populer, seperti suami dari aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, dan Helena Lim, perempuan yang dikenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK).
Salah satu saksi ahli penyidik, akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, menyebutkan, kasus timah sepanjang 2015-2022 telah menyebabkan kerugian Rp 271.069.688.018.700. Jumlah itu terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025. Selain itu, ada pula kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47.703.441.991.650.
”Ini adalah nilai akibat kerusakan lingkungan dari penambangan timah yang dilakukan tidak sesuai regulasi yang ada,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (1/4/2024).
Sesuai permen LHK
Penghitungan kerugian dilakukan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Artinya, biaya kerugian meliputi dana untuk menghidupkan fungsi tata air, pengaturan tata air, pengendalian erosi dan limpasan, pembentukan tanah, pendaur ulang unsur hara, fungsi pengurai limbah, biodiversitas (keanekaragaman hayati), sumber daya genetik, dan pelepasan karbon.
Sebelum menghitung kerugian lingkungan, aturan mensyaratkan lokasi tambang timah harus dalam kondisi rusak. Saat verifikasi lapangan di daerah pertambangan timah di Bangka, kata Bambang, hasil analisis sampel di laboratorium menunjukkan lokasi tambang telah rusak sehingga penghitungan kerugian bisa dilakukan.
Ini adalah nilai akibat kerusakan lingkungan dari penambangan timah yang dilakukan tidak sesuai dengan regulasi yang ada.
”Kami mengambil sampel pada lokasi yang telah dibuka (tambang timah) yang kemudian dibuatkan berita acara pengambilan sampel oleh penyidik, lalu penyidik membawa sampel tersebut ke laboratorium. Hasilnya baru dibagikan kepada kami sebagai ahli. Hasil analisis laboratorium menyatakan bahwa lokasi tambang yang telah dibuka itu rusak,” tuturnya.
Sementara itu, data berupa letak, luas, hingga koordinat dari lokasi tambang milik perusahaan didapatkan saksi ahli dari penyidik. Dengan bekal itu, tim ahli merekonstruksi kejadian pada tahun 2015-2022 menggunakan bantuan citra satelit untuk memantau luas bukaan tambang serta arah pergerakan lokasi tambangnya.
Untuk memastikan tambang yang dibuka perusahaan masuk dalam kawasan hutan, tim ahli menggunakan data tutupan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hasilnya, ditemukan lokasi tambang yang berada di kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, taman hutan raya, dan taman nasional.
Kami mengambil sampel pada lokasi yang telah dibuka (tambang timah) yang kemudian dibuatkan berita acara pengambilan sampel oleh penyidik, lalu penyidik membawa sampel tersebut ke laboratorium. Hasil analisis laboratorium menyatakan bahwa lokasi tambang yang telah dibuka itu rusak.
Secara spesifik, luas lahan tambang yang berada di berbagai kawasan hutan ialah 75.345,751 hektar, sedangkan yang berada di luar kawasan hutan seluas 95.017,313 hektar. Artinya, tambang membentang seluas 170.363,064 hektar, yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) seluas 88.900,462 hektar dan non-IUP seluas 81.462,602 hektar.
Rantai hubungan antartersangka
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kuntadi menerangkan, terdapat dua kemungkinan dalam kasus timah, yakni pembiaran atau ada permufakatan jahat di dalamnya. Rantai hubungan antartersangka diketahui sudah terbentuk dan dibangun sejak lama.
Tersangka HM (Harvey) mengondisikan agar smelter PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN mengikuti kegiatan tersebut.
Misalnya, Harvey Moeis diketahui dekat dengan bekas Direktur Utama PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) yang juga menjadi tersangka. Harvey meminta MRPT untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
”Tersangka HM (Harvey) mengondisikan agar smelter PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN mengikuti kegiatan tersebut,” ujar Kuntadi.
Harvey, kata Kuntadi, diduga memerintahkan para pemilik smelter untuk menyisihkan sebagian keuntungan dari usahanya. Keuntungan itu kemudian dibagi untuk Harvey dan sejumlah tersangka lainnya. Pembagian disamarkan lewat dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang melibatkan tersangka lainnya, Helena Lim.