Freddy Budiman ”Terbenam”, ”Terbitlah” Fredy Pratama
Fredy menjadi bandar narkoba terbesar di Indonesia. Ia kendalikan peredaran di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Sepak terjang Fredy Pratama cukup licin. Di tengah persembunyiannya di Thailand, bos besar sindikat narkoba asal Kalimantan tersebut masih bisa menjalankan bisnisnya di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Keberadaan Fredy mengingatkan pada gembong narkoba Freddy Budiman, yang ditangkap karena menyelundupkan 1,4 juta pil ekstaksi ke Indonesia pada 2011. Freddy Budiman akhirnya dijatuhi hukuman mati dan telah dieksekusi di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Nusakambangan, Jawa Tengah, pada 2016.
Kasus Freddy banyak mendapatkan perhatian publik. Selain bisa mengendalikan bisnis narkotika dari penjara, diduga ada keterlibatan oknum TNI, Polri, dan Badan Narkotika Nasional (BNN) di dalam jaringan Freddy Budiman. Informasi itu disampaikan Freddy Budiman sebelum dieksekusi kepada aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar.
Baca juga: BNN Ingatkan Ada 132 Terpidana Mati yang Menunggu Eksekusi
Haris bertemu dengan Freddy Budiman pada Juni 2014 dan disebar ke media sosial pada 28 Juli 2016 atau empat jam sebelum Freddy Budiman dieksekusi mati. Atas unggahan tersebut, Haris dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik.
Ulah Fredy Pratama
Tidak jauh berbeda dengan Freddy, Fredy juga melibatkan aparat penegak hukum di dalam jaringannya. Fredy memiliki suruhan, yakni bekas Kepala Satuan Narkoba Polres Lampung Selatan Ajun Komisaris Andri Gustami. Andri terbukti terlibat dalam jaringan internasional Fredy dan telah divonis mati.
Andri membantu meloloskan ratusan kilogram (kg) sabu dari Sumatera ke Jawa. Sepanjang Mei-Juni 2023, sabu yang diloloskan Andri mencapai 150 kg. Selama Mei saja, ia meloloskan pengiriman melalui Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, sebanyak enam kali. Dalam jaringan ini, Andri jadi “kurir istimewa” dan mendapat imbalan Rp 1,2 miliar.
Fredy yang memiliki nama alias Amang, Aming, Escobar, Miming, The Secret, Cassanova, Air Bag, dan Mojopahit saat ini menjadi bandar narkoba terbesar di Indonesia.
Berbeda dengan Freddy Budiman, Fredy Pratama yang telah menjadi bandar narkoba sejak 2009 belum pernah tertangkap, meskipun sudah masuk daftar pencarian orang sejak 2014. Fredy yang memiliki nama alias Amang, Aming, Escobar, Miming, The Secret, Cassanova, Air Bag, dan Mojopahit saat ini menjadi bandar narkoba terbesar di Indonesia. Ia mengendalikan peredaran narkoba di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Fredy juga mengedarkan narkoba ke Malaysia.
Operasi yang dilakukan Fredy Pratama terstruktur dan rapi. Terdapat pembagian tugas, seperti pengendali operasional, pengendali keuangan, koordinator rekening palsu, koordinator dokumen palsu, koordinator pengumpul uang tunai, dan kurir.
Sindikat Fredy Pratama sulit ditelusuri karena menggunakan Blackberry Messenger (BBM) dalam berkomunikasi. Seperti diketahui, Blackberry Messenger telah berhenti beroperasi sejak 31 Mei 2019. Fredy juga menggunakan aplikasi Threema dan Wire untuk berkomunikasi dengan jaringannya.
Anak buah banyak
Fredy Pratama memiliki anak buah yang tak sedikit. Pada 2020-2023, sebanyak 884 orang yang menjadi bagian dari sindikat Fredy ditangkap dengan total peredaran narkoba mencapai 10,2 ton sabu dan 116.346 butir di Indonesia dan Malaysia.
Terakhir pada 4 April 2024, kepolisian menangkap empat anak buah Freddy di Sunter, Jakarta Utara. Mereka berperan sebagai pembuat ekstasi, penjaga rumah dan pengambil bahan baku, pembeli dan pengantar bahan baku, serta pengantar sampel. Dari keempat orang itu, A alias D (29) yang berperan sebagai pembuat ekstasi merupakan bekas narapidana narkotika atau residivis.
"Red notice" buat Fredy
Menurut Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Mukti Juharsa, Senin (8/4/2024), A alias D dulunya merupakan kurir dari jaringan Fredy.
Adapun rumah yang digunakan untuk memproduksi ekstasi tersebut disewa Fredy setahun yang lalu. Namun, pembuatan ekstasi baru dilakukan empat bulan lalu. Keberadaan pabrik ekstasi itu diketahui karena adanya paket yang dicurigai berisi bahan baku (prekursor) yang dialamatkan ke rumah di kawasan Sunter tersebut.
Dari penggerebekan itu, disita 7.800 butir ekstasi dan ratusan kilogram prekursor. Bahan baku itu bisa menghasilkan 1,3 juta butir ekstasi.
Bareskrim Polri juga akan ke Thailand, tetapi belum ada informasi dari Thailand terkait posisi keberadaan Fredy.
Guna melemahkan gerak operasi Fredy, berbagai asetnya telah disita yang nilainya mencapai Rp 400 miliar. Markas Besar Polri telah meminta Interpol menerbitkan red notice terhadap Fredy. Bareskrim Polri juga akan ke Thailand, tetapi belum ada informasi dari Thailand terkait posisi keberadaan Fredy.
Dia diduga menjalani operasi plastik untuk menyiasati kejaran polisi. Narkoba yang diedarkan Fredy ke Indonesia berasal dari mertuanya yang merupakan gembong kartel di Thailand.
Terus bergerak
Dihubungi di Jakarta, Selasa (9/4/2024), pengamat hukum pidana narkotika Slamet Pribadi mengatakan, kasus Fredy ini menunjukkan bahwa jaringan narkoba itu tidak diam. Mereka terus bergerak mencari mangsa dan korban untuk mendapatkan keuntungan, baik secara internasional maupun nasional.
“Artinya peran seorang Fredy Pratama itu bisa juga dia menjadi bos besar, tetapi dia masih punya bos besar lagi kemungkinannya,” kata Slamet. Selain itu, jaringan Fredy di Indonesia kemungkinan masih banyak. Alhasil, Fredy masih bisa menjalankan bisnisnya, meskipun sedang bersembunyi.
Oleh karena itu, penegak hukum harus mengungkap secara komprehensif sampai ke kaki tangannya. Penegak hukum jangan hanya aktif mengejar Fredy.
Baca juga: Narkoba Fredy Pratama Dipasok Sang Mertua, Gembong Kartel Thailand
Slamet mengatakan, Fredy pasti melibatkan aparat penegak hukum sebagai bagian dari jaringannya. Sebab, aparat penegak hukum dianggap bisa melindungi dan memperlancar peredaran narkotika.
Menurutnya, kaki tangan Fredy masih loyal karena mendapatkan keuntungan dari bisnis haram dan ilegal. Sebab, kebutuhan narkotika itu absolut. Ketika otak sudah kecanduan narkotika, maka harus mendapatkan asupan. Akhirnya, permintaan narkotika banyak dan pasokan pun meningkat.
Untuk mengurangi permintaan, maka pencegahan dan rehabilitasi harus berhasil. Di sisi lain, pasokan harus ditindak secara keras.