Menanti Putusan MK yang Tak Lagi ”Mahkamah Kalkulator”
Hakim MK kini memberi ruang keadilan bagi para pihak dan cukup membuktikan MK tak sekadar ”mahkamah kalkulator”.
Sengketa Pemilihan Presiden 2024 segera berakhir. Berbeda dari sidang-sidang sebelumnya, dalam sengketa pemilihan presiden kali ini, Mahkamah Konstitusi beberapa kali menggunakan diskresi yang tidak biasa. Sebut saja, mulai dari memanggil para menteri hingga memberikan kesempatan bagi para pihak untuk menyampaikan kesimpulan atas proses sidang yang berjalan sejak akhir Maret 2024.
Sementara tahapan demi tahapan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diajukan dua pemohon, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sudah dilalui. Mulai dari pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi hingga pemeriksaan saksi-saksi.
Semua kesaksian dari saksi-saksi yang diajukan dua pemohon tersebut pun sudah didengarkan para hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam kesaksiannya, para saksi mencoba memperkuat dalil para pemohon terkait adanya kecurangan dalam Pilpres 2024, termasuk ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) meloloskan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden.
Baca juga: Mahkamah Rakyat Jadi Alternatif Saat Keadilan Pemilu Hadapi Jalan Buntu
Dalam persidangan, KPU dan pihak terkait, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, satu suara telah membantah semua tuduhan para pemohon itu. Kedua pihak menegaskan bahwa tidak ada kecurangan dalam Pilpres 2024. Keduanya pun sepakat meminta para hakim MK untuk menolak gugatan para pemohon. Mereka menilai, permohonan yang diajukan bukan materi yang dapat diputus oleh MK karena tidak jelas mendalilkan perselisihan hasil pemilu.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, memang sudah diatur bahwa pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif merupakan ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dengan begitu, MK hanya mengadili perselisihan hasil akhir.
Harapannya agar MK tidak menjadi "mahkamah kalkulator” yang hanya mengadili hasil penghitungan suara. MK diharapkan mengambil peran lebih esensial dari itu, yakni menangani kecurangan dalam proses atau tahapan pemilihan.
Namun, para pemohon berulang kali menegaskan bahwa PHPU pilpres kali ini bukanlah sekadar masalah perselisihan hasil pemilu, melainkan substansi pemilu itu sendiri yang mana pemilu seharusnya dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
Karena itu, Mahfud MD dalam sidang perdana PHPU ini juga pernah menyampaikan harapannya agar MK tidak menjadi ”mahkamah kalkulator” yang hanya mengadili hasil penghitungan suara. MK diharapkan mengambil peran lebih esensial dari itu, yakni menangani kecurangan dalam proses atau tahapan pemilihan.
Diskresi hakim
Jika melihat sepanjang proses sidang, hakim-hakim MK terlihat serius ingin mendalami dalil para pemohon. Ini terbukti para hakim beberapa kali menggunakan diskresinya yang cukup fenomenal, salah satunya memanggil empat menteri kabinet Presiden Jokowi untuk mendapat penjelasan mengenai berbagai tuduhan yang didalilkan para pemohon, mulai dari politisasi bantuan sosial hingga cawe-cawe Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024.
Keempat menteri Kabinet Indonesia Maju yang dihadirkan di persidangan ialah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Bahkan, baru di persidangan PHPU pilpres kali ini para hakim membuka ruang bagi para pemohon untuk menyampaikan kesimpulannya atas proses sidang, sebelum nantinya para hakim akan membacakan putusan pada 22 April 2024. Biasanya, penyampaian kesimpulan ini hanya diterapkan di sidang perkara uji konstitusionalitas undang-undang.
”Kami, majelis hakim, bersepakat sekiranya ada hal-hal yang masih mau diserahkan, meskipun ini persidangan terakhir, bisa diakomodasi melalui kesimpulan,” kata Ketua MK Suhartoyo pada akhir sidang lanjutan perkara Pilpres 2024 di MK, Jakarta, Jumat (5/4/2024).
Suhartoyo mengatakan, tahapan penyampaian kesimpulan dalam persidangan PHPU pilpres sebelumnya tidak diwajibkan. Namun, pada perkara PHPU Pilpres 2024, ada banyak dinamika yang berbeda dari sebelumnya sehingga MK mengakomodasi penyampaian hal-hal yang bersifat krusial dan penyerahan berkas yang masih tertinggal melalui tahapan tersebut.
Sebagai contoh, ia menyebut pihak terkait, yaitu tim hukum Prabowo-Gibran, belum menyerahkan keterangan saksi dan ahli. Berkas-berkas tersebut bisa diserahkan pada tahapan penyampaian kesimpulan. Selain itu, pada tahap tersebut, para pihak juga boleh menyampaikan respons atas kesaksian empat menteri Kabinet Indonesia Maju serta kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Seluruh pihak menyambut baik atas diskresi para hakim MK tersebut. Tim hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pun menyiapkan berkas kesimpulan itu, yang nantinya berisi sejumlah bukti baru.
Seluruh pihak menyambut baik atas diskresi para hakim MK tersebut. Tim hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pun menyiapkan berkas kesimpulan itu, yang nantinya berisi sejumlah bukti baru.
Begitu pula tim hukum Prabowo-Gibran. Dalam berkas kesimpulannya, mereka akan menegaskan bahwa para pemohon tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya selama sidang pemeriksaan, dan akan menyimpulkan gugatan perkara tersebut tidak seharusnya dilayangkan para pemohon ke MK.
Semua kembali ke hakim
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Umbu Rauta berpandangan, jika memperhatikan Pasal 6 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana diubah dengan PMK No 4/2024, memang tahapan penyampaian kesimpulan tidak diatur secara eksplisit.
Meski demikian, tiadanya pengaturan dimaksud tidak serta-merta dimaknai tidak diperkenankan. Menurut dia, tahapan penyampaian kesimpulan diperkenankan sejauh disepakati bersama oleh pleno hakim dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) dan tidak mengganggu batas waktu penyelesaian persidangan selama 14 hari kerja.
”Pemberian kesempatan penyampaian kesimpulan justru memberi kesempatan bagi para pihak untuk menyampaikan dan menegaskan kembali standing-nya terhadap perselisihan terkait hasil Pilpres 2024,” ucap Umbu Rauta.
Penegasan kembali poin-poin tersebut juga harus memperhatikan fakta-fakta persidangan saat tahapan pembuktian maupun dengan kehadiran beberapa pejabat negara setingkat kementerian dan DKPP.
Para pihak, lanjutnya, juga tidak bisa menyampaikan alat bukti baru. Sebab, penyampaian alat bukti dari para pihak telah selesai saat tahapan pembuktian. ”Prinsipnya, penyampaian kesimpulan, yaitu penegasan kembali standing para pihak, setelah melewati tahapan pembuktian," ujarnya.
Di sisi lain, lanjutnya, meskipun tahapan penyampaian kesimpulan diperkenankan, itu tidak dapat diartikan bahwa para hakim MK akan serta-merta mengakomodasi dalam penyusunan pendapat hukum untuk kepentingan penyusunan putusan MK.
Setiap hakim memiliki independensi dalam menyusun pendapat hukum dan diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan berdasarkan kadar relevansinya.
Perihal bobot kesimpulan sangat bergantung pada penilaian setiap hakim, begitu pula terkait relevansinya dengan pendapat hukumnya untuk menjadi bahan dalam penyusunan putusan dalam RPH bersama hakim lainnya.
”Setiap hakim memiliki independensi dalam menyusun pendapat hukum dan diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan berdasarkan kadar relevansinya,” ucap Umbu Rauta.
Umbu Rauta menuturkan, penilaian publik terhadap MK sebagai mahkamah kalkulator terkait penyelesaian PHPU nantinya akan sangat bergantung pada aliran atau mazhab ilmu hukum yang dianut setiap hakim, juga menganut prinsipjudicial activism ataujudicial restraint.
”Saya memperkirakan para hakim akan benar-benar menempatkan diri sebagai mahkamah yang menjaga konstitusi, baik proses dan hasil pemilu. Pengalaman penyelesaian perselisihan pemilihan kepala daerah membuktikan hal demikian, di mana MK mengadili aspek proses dan hasil,” ungkap Umbu Rauta.
Ruang keadilan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto sependapat dengan Umbu Rauta. Kesimpulan ini hanya sebatas untuk memperjelas standing point dan petitum para pihak setelah proses pemeriksaan persidangan sehingga tidak ada bukti-bukti baru yang diserahkan.
Dalam pengujian undang-undang juga sama, kesimpulan tidak bisa menambahkan bukti baru. Hanya menyampaikan dan mengargumentasikan fakta-fakta persidangan saja. Apabila ada hal baru, misalnya dari kesaksian empat menteri yang dihadirkan, bentuknya bukan bukti, melainkan fakta persidangan.
”Dibandingkan dengan saksi dan bukti lainnya, bobot kesimpulan tidak lebih berbobot dari saksi dan bukti lainnya karena kesimpulan bukan alat bukti,” ucap Aan.
Baca juga: MK yang Mulai, MK yang Mengakhiri
Terlepas dari itu, ia menilai, adanya tahapan penyampaian kesimpulan ini menunjukkan para hakim MK telah memberi ruang keadilan bagi para pihak dan sudah cukup membuktikan MK tidak sekadar mahkamah kalkulator. ”MK sepertinya ingin sedalam-dalamnya menggali keadilan substantif,” lanjutnya.
Namun, itu bukan berarti menjadi sinyal bahwa MK bakal mengabulkan gugatan pemohon. Menurut dia, tidak ada hubungannya sama sekali. Sebab, ada atau tidak adanya kesimpulan, MK akan tetap mengadili sengketa berdasarkan UUD 1945 dan keyakinan hakim, tidak hanya mendasarkan pada kesimpulan para pihak.
Apa pun itu, putusan sengketa pilpres tinggal menghitung hari. Terepas dari berbagai dinamika yang ada, para hakim nyatanya beberapa kali membuat diskresi yang tidak biasa dan mencoba melepaskan diri dari stigma mahkamah kalkulator. Bagaimana hasilnya? Kita lihat nanti....