Setelah Kepercayaan Rakyat Diberikan kepada Caleg...
Pileg dijadikan partai sebagai ”ujian promosi” ke ajang pilkada. Padahal, mandat rakyat diberikan untuk legislatif.
Belum lama Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil Pemilu 2024, sejumlah partai politik sudah membuka pintu calon anggota legislatif mereka yang berpeluang besar terpilih pada pemilihan legislatif untuk maju dalam pemilihan kepala daerah serentak nasional 2024. Padahal, mereka telah dipercaya rakyat untuk menjadi wakil mereka di parlemen. Indikasi problem klasik partai politik, yakni kaderisasi dan regenerasi, belum teratasi.
Awal April lalu atau hanya berselang sekitar dua pekan dari rapat pleno KPU soal rekapitulasi hasil Pemilu 2024, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sudah menyuarakan bahwa partainya akan mengusung Airin Rachmi Diany untuk maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Banten.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Airin merupakan Wali Kota Tangerang Selatan, Banten (2011-2021). Pada pemilihan legislatif (pileg) lalu, Airin maju dari daerah pemilihan (dapil) Banten III yang meliputi Kota dan Kabupaten Tangerang serta Kota Tangerang Selatan. Ia pun berhasil meraup hingga 302.878 suara atau tertinggi di antara caleg lain di dapil tersebut sehingga besar peluangnya ditetapkan KPU sebagai salah satu caleg yang bakal merebut kursi di Senayan.
Atas instruksi dari partai itu, Airin pun mengaku siap mengundurkan diri sebagai anggota legislatif apabila ditugaskan Partai Golkar untuk maju dalam Pilgub Banten.
Baca juga: Caleg Terpilih yang Maju Pilkada Dinilai Tak Jalankan Mandat Rakyat
Tak hanya Airin, Airlangga juga mengumumkan caleg Golkar yang moncer performanya. Golkar juga akan mencalonkan Bobby Nasution, Wali Kota Medan, Sumatera Utara, yang juga menantu Presiden Joko Widodo, menjadi bakal calon Gubernur Sumut.
Di dapil Jawa Barat I (Kota Bandung dan Kota Cimahi), Atalia Praratya, akan dimajukan pada Pemilihan Wali Kota Bandung. Istri dari mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil itu pada pileg lalu meraih 234.065 suara atau 63,9 persen capaian suara Golkar di Dapil Jawa Barat I sebesar 366.052 suara.
Di luar Golkar, sejumlah parpol lain pun menyiapkan caleg-nya, terutama yang meraup suara besar dan berpotensi melenggang ke Senayan, untuk maju di pilkada. Sebut saja Partai Nasdem yang telah menyuarakan calegnya di Dapil Jakarta III (Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu), Ahmad Sahroni, sebagai salah satu opsi yang akan dimajukan di Pilgub Jakarta.
Itu hasil hitungan realistis parpol yang memang perlu tokoh dengan elektabilitas tinggi.
Selain calon anggota DPR yang disuarakan untuk maju di pilkada, ada pula calon anggota DPRD provinsi yang meraup suara besar di pileg dan bersiap untuk maju di pemilihan wali kota/bupati. Salah satunya, Parosil Mabsus, calon anggota DPRD Provinsi Lampung yang pada pileg lalu maju dari Dapil Lampung IV (Kabupaten Tanggamus, Pesisir Barat, dan Lampung Barat). Bupati Lampung Barat periode 2017-2022, yang juga Ketua DPC PDI-P Lampung Barat, ini telah mengambil berkas formulir pendaftaran bakal calon kepala daerah di kantor DPC PDI-P setempat.
Atas fenomena itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Dave Laksono mengatakan, partainya menentukan figur yang maju dalam pilkada lewat penilaian atau pembobotan yang mencakup prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela. Golkar juga melihat pengabdian figur potensial calon kepada partai, kinerja, hingga respons masyarakat.
Tak soal caleg jadi cagub/cabup
Partai Amanat Nasional (PAN) pun bersikap serupa. Menurut Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Hari Wibowo, tidak menjadi persoalan jika caleg kemudian maju di pilkada. Pasalnya, caleg dan calon kepala daerah memiliki satu kesamaan, yakni mereka punya basis massa dan elektabilitas yang tinggi. Pemilihan langsung oleh rakyat menuntut parpol untuk mengusung calon yang mempunyai dua aspek tersebut.
”Jadi, jika terjadi peralihan dari caleg ke kepala daerah atau sebaliknya, itu bukan fenomena kutu loncat atau cerminan parpol kekurangan kader. Itu hasil hitungan realistis parpol yang memang perlu tokoh dengan elektabilitas tinggi,” ujarnya.
Pihak-pihak yang belum pernah berkecimpung mengurus parpol dinilai bakal sulit menerima fakta tersebut. Sebab, popularitas dan kerja keras parpol memenangkan calonnya berjalan beriringan.
Baca juga: Bukan ”Kutu Loncat”, Parpol Sebut Caleg Terpilih Maju Pilkada karena Hitungan Realistis
Oleh karena itu, Dradjad memperkirakan fenomena caleg terpilih yang maju dalam pilkada masih akan marak di pilkada yang akan digelar akhir November mendatang, atau sama seperti pilkada sebelumnya. ”Iya (masih terus fenomenanya), saya rasa akan ada beberapa yang seperti itu. Tergantung pada hitungan realistis parpol mengenai elektabilitasnya,” katanya.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tak menjadikan fenomena tersebut sebagai persoalan. Tak tertutup kemungkinan, caleg PKS yang berhasil meraup suara besar di pileg lalu diajukan parpol untuk maju di pilkada. Bahkan, dengan cara itu, suara yang diperoleh di pileg bisa jadi modal untuk meraih kemenangan di pilkada.
Mungkin suara di pileg bisa jadi basis target suara di pilkada walaupun biasanya beda antara pileg dan pilkada basisnya. Pilkada lebih ke figur dan ketokohan.
”Mungkin suara di pileg bisa jadi basis target suara di pilkada walaupun biasanya beda antara pileg dan pilkada basisnya. Pilkada lebih ke figur dan ketokohan,” tutur Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera. Mardani termasuk yang terpilih kembali di pileg lalu, dan namanya dijadikan salah satu opsi PKS untuk diajukan di Pilkada Jakarta.
Wajib mundur
Mengacu putusan MK No 12/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Februari lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta mensyaratkan caleg terpilih hasil Pemilu 2024 yang maju di pilkada untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik menjadi anggota legislatif.
Caleg terpilih yang maju pilkada ini meninggalkan mandat rakyat sebelum mereka bertugas menjalankan amanat konstituennya.
Konsekuensinya, para caleg terpilih yang sejatinya telah dipercaya rakyat menjadi wakil mereka di parlemen berpotensi harus ramai-ramai mundur dari parlemen setelah dilantik Oktober mendatang, jika mereka memutuskan maju di pilkada. Hal ini akan menjadi kenyataan jika KPU kemudian membuat peraturan teknis soal persyaratan pencalonan di pilkada yang selaras dengan amanat putusan MK.
Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, pun mengkritisi rencana para caleg terpilih maju di pilkada tersebut. ”Caleg terpilih yang maju pilkada ini meninggalkan mandat rakyat sebelum mereka bertugas menjalankan amanat konstituennya,” ujarnya.
Parpol pun dilihatnya bersikap pragmatis. Parpol semata menggunakan figur-figur itu sebagai pendulang suara bagi parpol di pileg agar parpol meraih banyak kursi di Senayan. Tak sebatas itu, partai pun seolah menjadikan pileg sebagai sarana menguji elektabilitas sekaligus pengenalan figur tertentu.
Baca juga: Kursi DPR demi Elite Partai, Siapa Lagi Setelah Ratu Wulla?
Jika target partai tercapai dan figur dimaksud berhasil terpilih di pileg dengan perolehan suara yang besar, parpol lantas ”mempromosikannya” ke ajang pilkada. Lagi-lagi, parpol mengejar kemenangan di pilkada. Kans kemenangan itu besar karena caleg terpilih telah memiliki modal suara. Memori publik atas caleg pun belum lenyap mengingat waktu pergelaran pemilu yang belum lama usai.
Fenomena caleg terpilih maju pilkada juga menjadi gambaran masalah kaderisasi dan regenerasi yang menunjukkan terbatasnya figur mumpuni di kalangan internal partai politik. Kondisi ini mengakibatkan rekrutmen politik akhirnya bertumpu pada sosok politisi tertentu saja.
”Pemilih mestinya jeli dalam mencermati fenomena ini supaya tidak asal-asalan memilih calon kepala daerah yang pragmatis dan sekadar jadi kutu loncat politik,” ucapnya.