Politik dan Kartini, Membaca Hasil Pemilu 2024
Jumlah perempuan anggota DPR kemungkinan akan bertambah meski belum mencapai jumlah ideal minimum 30 persen.
Kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem memperlihatkan, jumlah sementara keterwakilan perempuan di DPR hasil Pemilu 2024 naik menjadi 22,1 persen dari 20,5 persen pada Pemilu 2019. Data ini bersifat sementara, menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi dalam sidang gugatan hasil Pemilu 2024.
Secara nominal, jumlah perempuan di DPR bertambah 10 orang, dari 118 orang menjadi 128 orang. Namun, jumlah total kursi DPR juga bertambah dari 575 kursi pada periode 2019-2024 menjadi 580 kursi pada 2024-2029 sehingga memengaruhi proporsi jumlah kursi yang diisi perempuan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hasil menarik lain, ketika jumlah perempuan yang lolos ke DPR bertambah, jumlah laki-laki menurun dari 457 orang pada Pemilu 2019 menjadi 452 orang pada Pemilu 2024. Keterwakilan perempuan di DPR sejak Pemilu 2019, meski perlahan, terus bertambah secara persentase ataupun jumlah kursi.
Kenaikan jumlah perempuan anggota DPR menunjukkan tindakan khusus sementara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan melalui Undang-Undang Pemilu membuahkan hasil meskipun belum seperti yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan pengalaman di sejumlah negara.
Pengawalan oleh organisasi-organisasi masyarakat juga membuahkan hasil. Salah satunya, pembatalan oleh Mahkamah Agung atas Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang membulatkan ke bawah jumlah 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan dalam daftar caleg yang diajukan tiap partai politik. Di daerah pemilihan beralokasi 4, 7, 8, dan 11 kursi, menurut Perludem, peraturan KPU tersebut berpotensi menurunkan keterwakilan perempuan. KPU diharuskan membatalkan peraturan itu dan membulatkan kembali ke atas kuota perempuan dalam daftar caleg.
Baca juga: Pemilu 2024, Pukulan Telak bagi Keterwakilan Perempuan
Transaksional
Di tengah membaiknya capaian perempuan untuk kursi DPR di Pemilu 2024, muncul kegelisahan di antara perempuan caleg. Kontestasi di lapangan semakin jauh dari yang diidealkan, yaitu adu gagasan dan adu program perbaikan kehidupan masyarakat.
Dalam diskusi refleksi Pemilu 2024 yang diadakan Majulah Perempuan Indonesia (MPI) di Jakarta, Rabu, 3 April 2024, sejumlah caleg menyebutkan fakta sikap pragmatis masyarakat. Masyarakat memilih berdasarkan besarnya bantuan yang mereka dapat dari para caleg.
Dua caleg dari dua daerah pemilihan (dapil) yang berbeda memiliki pengalaman lebih kurang sama. Eva Sundari bertarung di dapil Jawa Timur VIII yang meliputi Jombang, Madiun, Nganjuk, dan Mojokerto dengan partai pengusung Partai Nasdem. Edriana Nurdin yang diusung Partai Gerindra bertarung di dapil Sumatera Barat 1, meliputi Padang, Pesisir Selatan, Mentawai, Padang Panjang, Kabupaten Solok, Kota Solok, Solok Selatan, Sawahlunto, Sijunjung, Tanah Datar, dan Dharmasraya. Keduanya gagal meraih kursi DPR.
Eva Sundari yang juga Direktur Institut Sarinah pernah memenangi kursi DPR antara 2005 dan 2014 serta 2016 hingga 2019 ketika masih bergabung dengan PDI-P. Sementara bagi Edriana, Pemilu 2024 adalah yang kedua kali dia ikuti.
Edriana merasa pertarungan pada Pemilu 2024 lebih berat dibandingkan dengan sebelumnya. Dia menyinyalir politik uang justru terjadi pada pemilu legislatif (pileg). Uang yang harus disediakan caleg lebih banyak dibandingkan pada pemilu sebelumnya. Caleg harus menyiapkan dana untuk kampanye dan dana untuk menghadirkan saksi sendiri di tempat pemungutan suara saat pencoblosan karena saksi yang disediakan partai digondol caleg partai lain akibat honor yang lebih besar. Setelah itu, harus menyediakan anggaran untuk anggota tim sukses agar menjaga surat suara. Jika tidak dijaga, menurut Edriana, surat suara berpeluang dirusak pesaing untuk mengurangi jumlah perolehan suara lawan.
Ketua Perludem Khoirunissa Nur Agustyati, dalam pertemuan di MPI, menyebut peluang perempuan untuk terpilih lebih besar apabila berada pada nomor urut 1 dalam kertas suara.
Baca juga: Tak Semua Partai Penuhi Imbauan KPU soal Jumlah Minimal 30 Persen Caleg Perempuan
Eva Sundari pun mendapati para calon pemilih tak lagi tertarik dengan kerja-kerja pendampingan masyarakat yang sudah dilakukan bertahun-tahun, antara lain untuk mengakses layanan kesehatan. Masyarakat bersikap pragmatis, lebih memilih bantuan tunai atau nontunai yang dapat segera digunakan.
Di tengah persaingan yang semakin keras itu, Ketua Perludem Khoirunissa Nur Agustyati, dalam pertemuan di MPI, menyebut peluang perempuan untuk terpilih lebih besar apabila berada pada nomor urut 1 dalam kertas suara.
Titi Anggraini, pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Indonesia, menengarai, dukungan dari elite partai di pusat dan daerah serta dukungan dari keluarga yang menjadi kepala daerah atau elite politik lokal dan nasional sangat penting. Pendapat tersebut sejalan dengan temuan penelitian oleh visiting fellow Department of Political and Social Change, Australian National University, Stephen Sherlock (Kompas, 10/3/2024, hal 2). Sherlock meneliti data hasil pileg sejak Pemilu 1999. Menurut dia, perempuan yang didukung keluarga dari elite politik di daerah atau pusat berpeluang lebih besar untuk lolos ke DPR.
Surat-surat Kartini
Masih besarnya peran dukungan keluarga dan elite politik yang biasanya laki-laki (ayah, suami, atau kerabat dekat) bagi keberhasilan perempuan di politik menunjukkan perempuan belum dapat sepenuhnya independen dan memiliki pilihan bebas.
Perempuan yang memiliki hak menentukan sendiri jalan hidupnya adalah cita-cita Kartini. Hari kelahiran anak Bupati Jepara itu, 21 April, selalu diperingati untuk menandai semangat perempuan mendapat kesetaraan dalam hak-haknya sebagai warga negara dan manusia. Surat-surat Kartini yang diterbitkan menjadi buku dan diterjemahkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, meskipun dipilih dan disunting oleh Jacques Henrij Abendanon, kemungkinan untuk kepentingan politik etis, tetap menunjukkan pikiran kritis Kartini.
Meskipun dalam banyak bidang perempuan telah mencapai banyak kemajuan, perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan masih panjang, bahkan setelah 120 tahun meninggalnya Kartini. Menurut Global Gender Gap 2023 yang dikeluarkan World Economic Forum untuk mengukur kesenjangan jender di 146 negara, skor Indonesia adalah 0,697 dan berada pada peringkat ke-87.
Baca juga: Angka Semu Keterwakilan Perempuan dalam Daftar Bakal Caleg
Dari empat pengukuran, yaitu partisipasi dan peluang ekonomi, capaian pendidikan, kesehatan dan daya tahan hidup, serta pemberdayaan politik, skor untuk kesenjangan pemberdayaan politik adalah 0,181. Skor antara 0 dan 1 dengan skor 1 adalah situasi optimum atau dalam keseimbangan.
Dari sisi kualitatif, kehadiran perempuan di politik juga memerlukan peningkatan. Koordinator MPI yang menjabat Duta Besar Indonesia untuk Kuwait, Lena Maryana Mukti, mengingatkan, upaya mendorong peningkatan kursi perempuan di DPR harus sejalan dengan peningkatan keberpihakan perempuan anggota DPR pada isu-isu perempuan.
Dalam faktanya, semua aspek kehidupan selalu bersentuhan dengan hak dan akses perempuan pada sumber daya negara. Isu-isu tersebut mulai dari yang khas perempuan, yakni kesehatan reproduksi, seperti ibu hamil dan kematian ibu saat melahirkan; kesempatan pendidikan, terutama di bidang sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (science, technology, engineering, mathematics/STEM); kesempatan kerja dengan memenuhi kebutuhan perempuan atas kesehatan reproduksinya; akses atas hukum yang adil; hingga posisi pengambil keputusan tertinggi di perusahaan, pemerintahan, parlemen, hingga kepala negara.
Perempuan di parlemen telah membangun kaukus lintas partai dengan memakai pendekatan kesamaan isu, yaitu memperjuangkan kesetaraan dan hak-hak perempuan yang tertinggal jauh dibandingkan dengan laki-laki. Kaukus ini juga berjejaring dengan perempuan di luar parlemen. Ke depan, kualitas jejaring perlu ditingkatkan mengingat tantangan dari pengalaman lapangan dalam Pemilu 2024.
Secara regional, nasional, dan global, semakin banyak persoalan yang membuat perempuan berada pada situasi rentan. Perubahan iklim dan konflik, misalnya, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih berdampak negatif bagi perempuan dan juga anak.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang seluruhnya langsung dan tidak langsung bertujuan meningkatkan kesejahteraan perempuan, kurang mendapat perhatian. Sementara pemerintah gencar berkampanye menurunkan jumlah anak balita tengkes (stunting), kampanye penurunan angka kematian ibu melahirkan kurang terdengar. Diperlukan keputusan politik di DPR untuk meningkatkan perlindungan bagi perempuan dan anak mengingat ada kebutuhan khas perempuan.
Meski Kartini telah 120 tahun lebih berpulang, sikap kritis yang tidak terbatas untuk perempuan masih tetap relevan dan diperlukan saat ini.
Baca juga: Perempuan Semakin Tertatih Menuju Parlemen
Analisis kritis
Meningkatnya masalah politik uang dalam pemilu di Indonesia ditengarai Profesor Saskia Wieringa dari University of Amsterdam berhubungan dengan defisit demokrasi yang menurut sejumlah analis politik meningkat.
Meski Kartini telah 120 tahun lebih berpulang, sikap kritis yang tidak terbatas untuk perempuan masih tetap relevan dan diperlukan saat ini. Kartini secara jujur berani menganalisis masalah utama yang mendasar pada masanya: feodalisme, penafsiran agama yang bersifat patriarkis, dan ketidakadilan kolonialisme. Kartini secara cerdas, demikian Saskia, berhasil menemukan, terbatasnya akses perempuan pada pendidikan adalah akibat ketiga masalah utama tersebut yang beririsan.
Kartini juga menunjukkan sikap misoginis para laki-laki pemimpin, termasuk kakak tertuanya, dan interpretasi agama yang patriarkis. Bagi Kartini, agama adalah jalan untuk memberikan kedamaian dan toleransi bagi semua orang, politik sebagai pembuka pendidikan dan kesejahteraan bagi semua orang, termasuk kelompok masyarakat paling miskin secara kelas dan budaya.
Dalam pertemuan MPI disepakati, harus ada perubahan mendasar untuk menjaga demokrasi substansial. Perubahan itu dapat dilakukan melalui perjuangan politik di DPR, dimulai dari mendorong parpol melakukan kaderisasi lebih baik bagi anggota perempuan hingga mengubah peraturan untuk mencegah terjadinya politik uang dan interpretasi peraturan yang merugikan perempuan.
Wujud subordinasi perempuan saat ini sudah berbeda dari saat Kartini masih ada, meski tetap ada kaitan dengan yang terjadi pada masa awal abad lalu. Dari sisi politik, laki-laki tetap memiliki keleluasaan finansial karena posisi yang mereka miliki. Posisi tersebut termasuk jejaring patriarki yang mendukung laki-laki, militer yang didominasi laki-laki, dan gagasan tentang kepemimpinan bahwa laki-laki adalah yang sanggup memimpin.
Dalam pengaruh sistem yang dipengaruhi nilai-nilai patriarki, hampir sebagian besar perempuan, kecuali Megawati Soekarnoputri, dianggap tidak cocok menjadi pemimpin karena alasan agama atau posisi perempuan di rumah tangga.
Pemosisian jender atas suatu peran tertentu (gender stereotyping) menjadi masalah besar. Perempuan kerap tidak dihargai kemampuan memimpinnya, tetapi lebih dilihat dari fisiknya. Itu menjelaskan mengapa sejumlah parpol merekrut para artis sebagai caleg untuk menggaet suara pemilih meskipun kepemimpinan politiknya belum teruji. Fenomena berbagai persoalan yang beririsan ini harus dijawab secara kritis oleh perempuan.