Penyitaan lima fasilitas pemurnian timah dalam kasus dugaan korupsi penambangan timah ilegal tak akan merugikan warga.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung memastikan penyitaan terhadap lima fasilitas pemurnian timah yang disita dalam kasus dugaan korupsi penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah Tbk 2015-2022 tidak menghilangkan pekerjaan masyarakat. Kejaksaan Agung bersama pihak terkait akan mencari solusi agar aktivitas penambangan timah masyarakat tidak terdampak.
Kelima smelter atau fasilitas pemurnian timah yang disita oleh penyidik Kejaksaan Agung adalah milik PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) di Kecamatan Bukit Intan, Kota Pangkal Pinang; milik PT Venus Inti Perkasa (VIP) di Kecamatan Bukit Intan, Kota Pangkal Pinang; dan milik PT Tinindo Internusa (Tinindo) di Kecamatan Bukit Intan, Kota Pangkal Pinang. Dua lainnya adalah fasilitas pemurnian biji timah (smelter) milik PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) di Kecamatan Bukit Intan, Kota Pangkal Pinang dan milik PT Refind Bangka Tin (RBT) di Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah pada Selasa (23/4/2024) mengatakan, tindakan penyidik dengan menyita aset-aset tersebut tidak dimaksudkan untuk menghentikan eksplorasi timah yang mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan. Proses penegakan hukum tersebut dilakukan agar tata kelola timah dapat lebih baik ke depan.
”Hal itu hanya bersifat sementara karena tim dari Jampidsus dan Badan Pemulihan Aset dalam rangka mencari solusi agar proses penegakan hukum dapat dijalankan, masyarakat bisa bekerja, dan pendapatan negara tidak terganggu,” ujarnya.
Hal itu hanya bersifat sementara karena tim dari Jampidsus dan Badan Pemulihan Aset dalam rangka mencari solusi agar proses penegakan hukum dapat dijalankan, masyarakat bisa bekerja, dan pendapatan negara tidak terganggu.
Kepentingan pemulihan
Menurut Febrie, penyitaan dalam kasus tersebut terutama untuk kepentingan pemulihan lingkungan meski dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sudah sangat masif. Di sisi lain, penyitaan itu akan diikuti dengan perbaikan tata kelola penambangan timah.
Oleh karena itu, lanjut Febrie, kerugian yang ditimbulkan dari penambangan timah ilegal mesti dibebankan kepada para pelaku, termasuk ke depannya adalah pelaku korporasi. ”Pelaku korporasi yang kita tuntut pada tanggung jawab atas kerusakan yang timbul, termasuk dampak ekologinya kepada masyarakat sekitar,” ujarnya.
Pelaku korporasi yang kita tuntut pada tanggung jawab atas kerusakan yang timbul, termasuk dampak ekologinya kepada masyarakat sekitar.
Secara terpisah, Kepala Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung Amir Yanto, dalam keterangan tertulis, mengatakan, setelah penyidik menyita kelima fasilitas pemurnian smelter, penyidik akan segera menyerahkannya kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara. ”Secepatnya kita koordinasikan karena ini menyangkut banyak smelter. Mudah-mudahan secepatnya, jangan sampai merugikan para pekerja,” kata Amir.
Selain itu, lanjut Amir, fasilitas pemurnian timah itu tetap harus berjalan karena aset tersebut bernilai triliunan. Jika tidak beroperasi dan hanya dibiarkan begitu saja, dikhawatirkan nilai aset tersebut akan turun.
Jadi, dari keterangan para saksi itu pada ujungnya bisa menyebut nama seseorang, yakni pemilik perusahaan. Orang itu bisa jadi tidak tercatat dalam sebuah korporasi, tetapi berperan besar dalam suatu tindak pidana.
Setelah kelima fasilitas pemurnian timah itu diserahkan kepada Kementerian BUMN, kemudian akan ditunjuk BUMN yang berkompeten untuk mengelolanya. Kemungkinan BUMN yang akan mengelola adalah PT Timah Tbk. Untuk itu, akan dibentuk tim kecil antara Badan Pemulihan Aset Kejagung, Kementerian BUMN dan PT Timah Tbk untuk merumuskan pola dan mekanisme pengelolaan fasilitas pemurnian timah tersebut.
Pemilik aset sebenarnya
Secara terpisah, pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, aset perusahaan berupa smelter yang telah disita tersebut bisa dipastikan memiliki pemilik. Sementara pemilik belum tentu tercantum sebagai pengurus perusahaan, entah di jajaran direksi atau komisaris.
Ini adalah nilai akibat kerusakan lingkungan dari penambangan timah yang dilakukan tidak sesuai regulasi yang ada.
Pada praktiknya, kata Fickar, pemilik perusahaan bisa saja diwakili oleh komisaris atau pihak yang diberi kuasa untuk menjalankan perusahaan. Namun, dalam hukum pidana, hal itu bisa dibuktikan melalui keterangan saksi atau surat.
”Jadi, dari keterangan para saksi itu pada ujungnya bisa menyebut nama seseorang, yakni pemilik perusahaan. Orang itu bisa jadi tidak tercatat dalam sebuah korporasi, tetapi berperan besar dalam suatu tindak pidana,” kata Fickar.
Sejauh ini, perkara dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk 2015-2022 dinilai telah merugikan negara sebesar Rp 271 triliun. Nilai itu berasal dari berbagai jenis kerugian yang perlu ditanggung, yakni kerugian lingkungan dan ekonomi serta biaya pemulihan (Kompas.id, 1/4/2024).
Kejaksaan Agung selaku penyidik sudah menetapkan 16 tersangka, baik dari pihak swasta maupun PT Timah. Kasus timah ini turut menyeret nama-nama populer, seperti suami dari aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, dan Helena Lim, perempuan yang dikenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK).
Salah satu saksi ahli penyidik, akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, menyebutkan, kasus timah sepanjang 2015-2022 telah menyebabkan kerugian Rp 271.069.688.018.700. Jumlah itu terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025. Selain itu, ada pula kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47.703.441.991.650.
”Ini adalah nilai akibat kerusakan lingkungan dari penambangan timah yang dilakukan tidak sesuai regulasi yang ada,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (1/4/2024) lalu.