Bila Hakim Konservatif Kuasai Mahkamah Konstitusi...
Putusan MK menolak gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dianggap sebagai kemenangan hakim konservatif.
Pemilihan Presiden 2024 bisa dikatakan sudah usai. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak keberatan dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD terhadap kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merupakan akhir dari berbagai polemik yang mengiringi berbagai tudingan kecurangan selama proses pemilu. Kemenangan Prabowo-Gibran dalam pilpres menjadi sah dan mendapat legitimasi dari MK.
Putusan MK terkait perkara perselisihan hasil juga dinilai sebagai tanda kemenangan para hakim konstitusi aliran konservatif dalam pergulatan antara progresivisme dan konservatisme paradigma berhukum dan berkonstitusi di tubuh lembaga tersebut. Pendekatan legal formal menjadi pilihan mayoritas hakim yang dalam menilai dalil-dalil dan pembuktian mengenai dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif yang dalam bahas tim hukum Ganjar disebut abuse of power yang terkoordinasi pada Pilpres 2024.
Di satu sisi, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva mengamini bahwa kedelapan hakim MK sangat progresif saat memperluas kewenangan MK dalam mengadili sengketa pemilu. Tak mau hanya dibatasi pada sengketa hasil penghitungan suara atau menjadi mahkamah kalkulator, delapan hakim MK sepakat pelanggaran dalam proses/tahapan pemilu bisa diadili MK jika ada indikasi pelanggaran nilai-nilai konstitusi, khususnya Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan pemilu yang bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Namun, pada saat menilai dalil dan pembuktian yang dilakukan para pemohon sengketa pilpres, suara delapan hakim terbelah. Lima hakim yang menolak, oleh Hamdan, dikategorikan sebagai hakim dengan aliran konservatif yang mengedepankan aspek legal formal. Kelima hakim itu adalah Suhartoyo, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, Daniel Yusmic P Foekh, dan Arsul Sani. Mereka seharusnya menggunakan pendekatan pembuktian dalam hukum pidana yang didasarkan pada bukti-bukti yang tidak dapat diragukan sama sekali.
”Ini persoalan pokoknya. Kalau kita mencapai pembuktian seperti itu, beyond reasonable doubt, maka apa yang terjadi? Tidak mungkin (dilakukan) dalam waktu 14 hari. Dalam pemahaman saya, di berbagai MK di mana pun, (sudah) ditinggalkan cara pandang seperti itu. Hakim MK itu memiliki pandangan jauh ke depan, yang lebih besar, yang bisa menyimpulkan dari peristiwa yang ada, dan dari rangkaian peristiwa itu disimpulkan bahwa ini ada pelanggaran konstitusi atau tidak. Inilah yang dipakai oleh tiga hakim MK (yang mengajukan dissenting opinion),” kata Hamdan dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum dengan tema ”Kala Hakim MK Beda Suara” yang ditayangkan di KompasTV, Rabu (24/4/2024).
Dalam acara yang dipandu wartawan senior Budiman Tanuredjo itu, Hamdan hadir sebagai perwakilan dari tim Anies-Muhaimin. Hadir pula Otto Hasibuan, kuasa hukum tim Pembela Prabowo-Gibran, dan Todung Mulya Lubis yang merupakan kuasa hukum Ganjar-Mahfud. Dua pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar dan Maruarar Siahaan yang merupakan mantan hakim konstitusi, juga hadir sebagai narasumber.
Sebelumnya, pada Senin (22/4/2024), MK menolak seluruh permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud yang meminta pembatalan keterpilihan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024. MK menilai, dalil adanya kecurangan dan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif dalam pilpres tak terbukti. Begitu pula tuduhan cawe-cawe Presiden Joko Widodo dalam pencalonan dan pemenangan Prabowo-Gibran melalui penyaluran bantuan sosial, pengerahan aparatur negara dan sumber daya negara lainnya, tidak terbukti.
Baca juga: Dampak Putusan MK, Politisasi Bansos Dikhawatirkan Merajalela di Pilkada
Namun, putusan itu tidak bulat. Tiga hakim konstitusi, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Atas fakta itu, Zainal membagi hakim MK menjadi tiga kategori. Pertama, hakim yang ingin berperan sebagai judicial heroes, yakni hakim yang mencari dan kemudian melakukan upaya-upaya perbaikan. Kedua, hakim yang terpengaruh dengan afiliasi politik, dan ketiga, hakim yang biasa-biasa saja atau business as usual.
Bagi Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM ini, tak semua dari tiga hakim yang mengajukan pendapat berbeda tersebut dapat dikategorikan sebagai judicial heroes. Ia mencurigai adanya alasan lain di balik munculnya pendapat yang berbeda tersebut. ”Bisa jadi juga, dari tiga hakim ini, salah satu atau salah dua di antaranya ada afiliasi politiknya,” katanya.
Hampir senada dengan Hamdan dan Zainal, Todung Mulya Lubis juga membuat pengelompokan terhadap delapan hakim MK. Ia membaginya dalam dua kategori, yaitu judicial heroes atau judicial soldier dan judicial minimalist. Ia melihat, banyak hakim MK yang mau menjadi minimalis.
Masalah etis
Zainal menilai, ada kekeliruan besar di dalam putusan MK terkait sengketa pilpres. Dalam pertimbangannya mengenai penyaluran bantuan sosial, kedelapan hakim sepakat bahwa ada problem ketika presiden melakukan endorsement atau pelekatan citra dirinya terhadap pasangan calon tertentu.
Dari pertimbangan putusan MK Nomor 1/PHPU.XXII/2024 halaman 917 poin 3.15.8, dapat disimpulkan pelekatan citra diri Presiden terhadap kandidat tertentu bukan tindakan yang melanggar hukum. Namun, ada persoalan etika manakala hal tersebut dilakukan oleh seorang presiden yang notabene mewakili entitas negara. Sebab, semestinya Presiden berpikir, bersikap, dan bertindak netral dalam ajang kontestasi memilih pasangan presiden dan wakil presiden yang akan menggantikan dirinya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
”Lima hakim MK mengatakan bahwa Jokowi melakukan tindakan tidak etis. Itu jelas. Clear,” kata Zainal. Namun, tidak ada kualifikasi atau standardisasi hukum yang dilanggar.
Pada masalah tersebut, Zainal mempertanyakan sikap lima hakim yang menolak gugatan sengketa hasil pilpres. Kelimanya dinilai melupakan teori bahwa etika merupakan fondasi hukum. ”Bagaimana mungkin pelanggaran etik dibiarkan sebagai pelanggaran biasa yang tidak bisa dihukum? Ini kekeliruan besar dalam putusan ini,” katanya.
Bagaimana mungkin pelanggaran etik dibiarkan sebagai pelanggaran biasa yang tidak bisa dihukum? Ini kekeliruan besar dalam putusan ini.
Hamdan juga menilai, kelima hakim tersebut terlalu sederhana dalam memandang persoalan. Ia mencontohkan tentang sikap hakim dalam menilai pencalonan Gibran. Baginya, seluruh hakim tidak mempertimbangkan secara mendalam intensi awal yang sebenarnya dapat dilihat dari lahirnya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Setelah putusan itu terbit, proses pencalonan Gibran kemudian dipermudah, hanya karena alasan/masalah constraint waktu, prosedur diabaikan.
Majelis hakim sebenarnya bisa melihat dalam sebuah satu kesatuan, baru kemudian diambil kesimpulan. ”Namun, hakim punya standar sederhana sehingga tidak mempertimbangkan mendalam,” kata Hamdan yang mengaku sangat tidak puas dengan putusan MK tersebut.
Dampak putusan ini, menurut Hamdan, adalah bangsa ini menjadi terlalu permisif terhadap keadaban pemilu yang lebih baik. Standar demokrasi bangsa ini dinilainya terlalu permisif terhadap pelanggaran. ”Ini bisa terjadi pada pemilu lain yang akan datang. Kalau aturan tidak diperbaiki atau pandangan hakim tetap sama, ini menjadi masalah,” katanya.
RUU Lembaga Kepresidenan
Selain menolak permohonan tim Anies-Muhaimin dan tim Ganjar-Mahfud, putusan MK juga memberikan sejumlah rekomendasi perbaikan baik terhadap penyelenggaraan pemilu, pembatasan kekuasaan presiden, maupun masalah etika nasional. Salah satu yang mendesak dan perlu segera dibahas adalah pentingnya pembuatan Undang-Undang tentang Lembaga Kepresidenan.
Todung pun menilai UU Lembaga Kepresidenan penting untuk mengatur secara rinci batasan-batasan untuk Presiden dalam melaksanakan tugasnya. Sebab, harus diakui, meskipun saat ini bangsa ini tidak hidup di zaman Orde Baru, kekuasaan tertumpuk dan terpusat pada pemerintah.
”Kekuasaan presiden sangat dominan. Dia bisa melakukan banyak hal, praktis tanpa kontrol. Apalagi dalam konstelasi politik di mana koalisi sangat gemuk tersebut ada. Jadi, tidak ada DPR yang bisa mengawasi,” katanya.
Perlu pula diatur tindakan-tindakan atau kebijakan yang dapat diambil oleh Presiden petahana ketika capres terpilih sudah ditetapkan tetapi belum dilantik seperti saat ini. ”Menurut saya, sudah tidak bisa presiden membuat kebijakan-kebijakan strategis saat capres terpilih sudah ditetapkan. Dia harus tahu diri dan membantu mempersiapkan pemerintahan baru,” ujar Todung.
Baca juga: MK Tolak Permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, Tiga Hakim ”Dissenting Opinion”
Zainal berharap, DPR segera memutuskan RUU Lembaga Kepresidenan sebagai RUU inisiatif DPR. Dalam praktik legislasi yang terjadi selama ini, regulasi yang mengatur tentang Presiden maka inisiatif pengusulnya seharusnya DPR dan sebaliknya.
”Saya kira memang yang paling bermasalah yang akan menghalangi (terwujudnya) UU Lembaga Kepresidenan ini kan... mana ada Presiden yang mau diawasi dengan ketat. Ini soal pilihan, rational choice di kepala politisi bahwa yang paling menguntungkan dan rasional buat dia, itulah yang akan dilakukan,” kata Zainal.
Terlepas dari itu semua, Otto Hasibuan mengingatkan bahwa putusan hakim juga menimbang asas kepastian hukum, kemanfaatan, dan sebuah perkara harus ada akhirnya. Dengan sudah diputusnya sengketa pilpres, persoalan-persoalan yang didalilkan oleh para pemohon sudah dijawab. Tuduhan-tuduhan tidak terbukti. Adanya dissenting opinion dari tiga hakim konstitusi justru menunjukkan bahwa peradilan telah dilakukan secara fair dan hakim sudah bertindak secara independen.
Akhir dari permasalahan pilpres 2024 sudah dinyatakan melalui putusan MK. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah melaksanakan sejumlah rekomendasi MK yang disebut dalam putusannya, termasuk di dalamnya menambah lubang-lubang hukum yang dapat dimanfaatkan penguasa bertindak tidak fair dalam proses pemilihan.